Thursday, 7 August 2014

Sebaiknya Rekrutmen Menteri Diserahkan Penuh Kepada yang Berhak

(AMS, opini)
URUSAN PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di Mahkamah Konstitusi (MK) belumlah tuntas, namun kubu pasangan Capres Jkw-JK beberapa terakhir ini sudah mulai “merakit” dan menggodok nama-nama yang akan mengisi posisi menteri dalam kabinet di pemerintahan baru periode 2014-2019.

Sepintas, pola yang dilakukan oleh kubu pasangan capres nomor 2 sebagai pihak yang ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 oleh KPU itu, nampaknya cukup bagus, karena bernilai aspiratif. Yakni dengan mengajukan dan memunculkan polling yang berisi nama-nama yang dianggap layak menduduki posisi menteri di setiap departemen.

Sayangnya, cara seperti itu justru hanya akan mengundang masalah baru dan sangat berpotensi memunculkan tekanan-tekanan dari internal maupun eksternal kubu pasangan capres bersangkutan.

Dan tekanan-tekanan tersebut tidak hanya bisa timbul di saat proses penggodokannya, tetapi juga bisa berkelanjutan hingga berjalannya pemerintahan yang baru.

Misalnya di saat penggodokan, dari tiap-tiap nama (calon menteri) yang masuk dalam polling tersebut boleh jadi secara sengaja sudah membentuk “tim sukses” masing-masing yang berasal dari internal mereka sendiri. Sehingga dari situ bisa dibayangkan akan terjadi gontok-gontokkan dan sikut-menyikut satu sama lain antar-timses di internal kubu pemenang pilpres itu sendiri.

Akibatnya, bisa dipastikan akan terjadi perpecahan internal karena masing-masing akan melakukan “apa saja” demi mendapatkan “hadiah” atas kerja keras dan keringat (andil) yang telah mereka curahkan sebelumnya demi memenangkan pasangan capres mereka tersebut.

Karena ini menyangkut “berburu” jabatan strategis dan terhormat, maka bisa dibayangkan siapa pun akan berusaha semaksimal mungkin demi meraih jabatan tersebut. Dan bisa ditebak, secara psikologis, bagaimana “sakitnya” jika ada pihak yang merasa “layak” tetapi ternyata tidak berhasil meraih impiannya tersebut. Boleh jadi ia merasa dikhianati oleh teman se-timsesnya sendiri.

Andai saja seseorang calon menteri tidak berhasil meraih jabatannya tersebut bukan melalui hasil polling, maka mungkin tidaklah terlalu merisaukan hati yang bersangkutan. Sebab, prosesnya tentu sangat memerlukan pendekatan “energi” yang tidak sedikit dibanding jika hanya menunggu keputusan penuh dari hak prerogatif sang presiden terpilih.

Jangan lupa, bahwa selain memang merupakan hak prerogatif presiden, rekrutmen menteri tidaklah pantas dilakukan secara polling seperti lazimnya bisa dilakukan dalam momen pemilihan umum (pilkada, pileg dan pilpres).

Sebab, tak bisa dibayangkan betapa galaunya seorang presiden jika harus menerima seorang untuk jadi menteri karena menang dalam perolehan suara melalui polling, sementara orang tersebut di mata presiden dinilai tak pantas. Begitu pun sebaliknya, betapa “tersakitinya” seseorang yang berhasil memenangi polling namun tidak direstui oleh presiden untuk menduduki jabatan tersebut.

Sehingga itu, sangat tepat jika urusan rekrutmen menteri ini (tanpa neko-neko dari pihak luar) sebaiknya diserahkan saja sepenuhnya kepada pemegang hak prerogatif, yakni presiden. Sebab, tanpa polling pun seorang presiden tahu siapa-siapa yang lebih layak mengurusi sebuah kementerian sesuai bidang dan keahliannya masing-masing, tentu saja sangat patut memprioritaskan orang-orang yang memiliki karakter yang identik dengan ajaran Trisakti, dan bukan berdasar dari polling atau tekanan dari pihak manapun.