(AMS, opini)
PADA ajang Pemilihan Walikota Makassar (Pilwako), Rabu (18 September 2013) yang baru lalu, pasangan Muhammad Ramdhan Pomanto-Syamsu Rizal MI (DIA) memperoleh suara terbanyak. Pleno KPUD Kota Makassar, Rabu (25 September 2013) lalu pun sudah menetapkan DIA sebagai pasangan Walikota terpilih dengan mengantongi 31,18 persen suara.
Baik Muhammad Ramdhan Pomanto yang biasa disapa Danny, maupun Syamsu Rizal MI yang akrab dipanggil Ical itu, adalah orang yang tidak asing lagi bagi saya.
Danny dan Ical adalah orang yang pernah saya kenal. Keduanya bahkan dulu menjadi teman saya. Danny adalah putra yang lahir di Makassar, namun kedua orangtuanya adalah asli berasal dari Gorontalo. Meski begitu, Danny acapkali mengaku adalah orang Gorontalo. Itulah sehingga di tahun-tahun lalu Danny selalu coba untuk ikut bertarung dalam beberapa Pilkada di Gorontalo.
Apalagi memang, sebagian besar orang-Gorontalo juga mengakui Danny adalah benar-benar “asli” orang Gorontalo. Suatu ketika, saya pernah beberapa kali berdebat dengan sejumlah warga Gorontalo yang tak mau mengalah menyebut Danny adalah orang asli “Gorontalo” karena, katanya, faktor dominan adalah darah sang ayah, sampai itu fam (nama belakang) Danny adalah Pomanto, yakni salah satu kelompok marga yang ada di Gorontalo.
Bahkan, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, sebelum Pilwako dilaksanakan, pernah sengaja berkunjung ke Makassar hanya untuk menyatakan ikut mendukung Danny agar dapat menjadi Walikota Makassar. Saat itu, Rusli Habibie malah sempat mengeluarkan statement dalam acara silaturahmi di Makassar sebagai penegasan yang berbau “ajakan”. “Sebagai putra terbaik Gorontalo, Danny wajib di dukung,”kata Rusli Habibie, dalam keterangan persnya di Hotel Aryaduta, Makassar, Minggu (28/7/2013). Seperti dilansir Tribun Timur.
Kembali ke tentang Danny yang dulu pernah saya kenal. Yakni, di awali saat Danny mengikuti sayembara Desain Kawasan Perkantoran Gubernur Gorontalo (sekitar tahun 2004 saat periode pertama Fadel Muhammad sebagai Gubernur Gorontalo). Kala itu, Danny menerima tawaran saya selaku pemimpin redaksi di Tabloid Pariwara (PArtner pemeRIntah, kaWAn RAkyat) yang ketika itu saya kelola di Gorontalo, yakni memasang advertorial setengah halaman mengenai karya econic-nya tersebut. Saat itu, saya dan Danny aktif berhubungan, paling banyak via telepon-seluler.
Alhasil, Danny pun berhasil memenangkan sayembara itu, karena memang Danny nampaknya memang “ahli” di bidang itu dengan dibuktikan berjejernya prestasi sebagai pemenang dalam setiap perlombaan yang berkaitan dengan desain econic.
Gaya komunikasi Danny juga terbilang bagus. Hanya saja, Danny memang punya ambisi yang sangat tinggi untuk mendapatkan kekuasaan. Ini terbukti dengan tiga kali Danny mengikuti tahapan Pemilukada di Gorontalo, tapi semuanya gagal sebelum bertarung karena KPU memberinya TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Yakni berturut-turut saat Pilbup Kabupaten Gorontalo Utara, Pilgub Provinsi Gorontalo, dan Pilwako Gorontalo.
Sedangkan Ical, adalah teman seangkatan saya saat di SMA Negeri 9 Makassar. Lokasi sekolah ini amat terpencil, namanya daerah Karunrung, sebuah daerah di pinggiran Kota Makassar. Hujan sedikit saja, sekolah ini pasti banjir. Mungkin itu salah satu alasan, mengapa guru-guru di sana mewajibkan semua siswa laki-laki harus bercelana panjang nan lebar di bawah, supaya mungkin jika banjir, gampang melipat-gulung celana masing-masing. (Hahahaa.... tapi biar pun banjir, ternyata ada-ada juga siswa yang nekat bolos, meski harus “menyelam” keluar dari pintu sekolah)
Kendati pun begitu, sekolah ini memiliki banyak siswa yang punya semangat “juang” tinggi untuk maju. Hal itu terlihat ketika setiap kali diselenggarakan Porseni di SMA ini, pasti persaingannya sangat ketat. Ical adalah salah satu siswa yang menjadi andalan di pertandingan Sepak Bola, juga Tarik Tambang. Dan saya adalah siswa yang ketika itu sering menjadi lawannya. Sebab, jurusan kelas kami berbeda. Ical anak kelas Sos, dan saya adalah anak Fisika. Dan anak Fisika-lah yang sering menjadi juara umumnya. Tetapi ada “olahraga” yang hampir setiap hari kami lakukan di masa itu selain bermain sepak bola, yakni bertarung ponco dari kelas ke kelas ketika jam keluar main tiba.
Saya dan Ical juga kalau tak salah adalah satu angkatan dalam program penggemblengan siswa, yakni Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS). Hanya memang, Ical saya kenal sebagai siswa yang pendiam, tetapi cukup menghanyutkan. Ia terbilang siswa yang sukses dalam urusan menggaet hati sejumlah siswi idola, sebab Ical memang termasuk siswa yang ganteng. Sementara saya, lebih tertarik menjadi “pelindung” bagi siswa-siswi yang kerap mendapat teror dari anak-anak preman kampung di sekitar sekolah. Yakni, ketika dalam keadaan terpaksa, saya juga harus maju layaknya sebagai preman pula untuk adu jotos dengan kelompok anak muda yang mengganggu kenyamanan teman sekolah, terutama teman sekelas.
Suatu ketika, gara-gara cewek, Ridwan teman sekelas saya (sekarang ia sudah jadi seorang anggota TNI) sempat memberitahu ke saya, bahwa dirinya sepulang sekolah akan dicegat untuk dikeroyok oleh sejumlah anak muda yang sudah menunggu di luar halaman sekolah. Apa boleh buat, hari itu sepulang sekolah, permintaan Ridwan untuk saya bonceng dengan memakai vespa miliknya saya setujui. Benar saja, ketika tahu itu motor Ridwan, sekelompok anak muda itu langsung mencegat dengan parang dan badik yang sudah terhunus. Hampir mendekat, saya berteriak agar Ridwan melengkungkan tubuhnya 90 derajat ke belakang, dan saya menancap gas (hampir penuh) lalu membungkuk ke bawah batang setir motor Vespa tersebut dengan kedua kaki terkangkang di jalan. Motor sempat sempoyongan terkena tendangan dari seseorang, tetapi berhasil saya kuasai.
Kembali mengenai Ical, yang saya tahu ia juga sebagai siswa yang aktif sebagai pengurus Osis. Sayangnya, ia tidak sempat menjadi Ketua Osis. Dan saya yakin, dari Osis-lah, Ical kemudian terobsesi untuk bisa terus maju dan berada dalam organisasi. Benar saja, Ical saat menjadi Calon Wakil Walikota berpasangan dengan Danny itu masih berstatus sebagai Ketua PMI Cabang Makassar, organisasi binaan Jusuf Kalla (JK) itu.
Sehingga, bukan tidak mungkin, intervensi JK boleh jadi sangat dominan untuk meng-gol-kan pasangan DIA menjadi Walikota dan Wakil Walikota Makassar itu. Namun disinyalir, Pilwako Makassar September kemarin itu adalah sesungguhnya adalah pertarungan “para Gajah”. Artinya, di balik 10 kandidat yang ikut dalam Pilwako tersebut sangat besar kemungkinan disokong oleh para tokoh dan elit-elit berpengaruh di Kota Anging-Mammiri itu.
Terlepas dari itu. Yang menarik buat saya hingga harus menulis artikel ini, adalah adanya sebuah status seorang alumni SMA 9 Makassar yang diposting di Facebook Grup IKA SMAN 9 Makassar, yakni sekaitan dengan rencana pelaksanaan Reuni SMAN 9 pada Ahad (10 Nopember 2013) mendatang. Ini statusnya: “.. masukan saja buat ket.Ika dan panitia Reuni,,Klo tdk mendesakk ji sebaiknya Acara Reuni AKBAR smu 9 Di undur tahun depan biar lebih meriah karena di hadiri oleh wakil walikota makassar yang telah di lantik. apalagi wkl wlikota ta alumni smu 9 pasti seru dan z yakin banyak pejabat pemkot yg hadir nantinya ,zp dulu dong yg hadir 02 mks. ok kwn sekian!!..”
Menurut saya, sarannya bagus...cuma terlalu polos, seakan-akan reuni adalah cuma sebuah “PESTA” yg hanya ingin menonjolkan SOSOK dan KEMERIAHAN. Jika penonjolannya cuma itu, maka dipastikan hanya memunculkan pengultusan, dan euforia di alam politik.
Ada baiknya tujuan reuni itu adalah untuk “memperkuat” kesepakatan moral sesama alumni agar dapat lebih memiliki kepedulian terhadap kemajuan daerah dan negara ini. Yakni, misalnya dengan mencanangkan (membudayakan) sebuah “Gerakan Kasih-Sayang kepada Guru-guru di Sekolah”, baik yang masih aktif, atau yang sudah pensiun, maupun yang telah lebih dulu wafat. Bukan untuk atau dengan cara membudayakan “Pesta” seru-seruan dan bermeriah-meriahan dengan menghadirkan Ical dalam reuni tersebut. Ical boleh diundang dan menghadiri reuni, asalkan bukan sebagai Wakil Walikota. Wakil walikota juga adalah jabatan politik. Jadi undanglah Ical sebagai individu, dan tantang DIA berempati untuk melakukan gerakan moral, ajak DIA hadir dalam reuni lalu bersumpah untuk tidak Korupsi.
Jika hanya ingin suasana meriah dan seru, maka itu hanya reuni tak berkualitas yang tak lebih hanya sebatas ajang gengsi-gengsian, pamer kedudukan sosial, yang ujung-ujungnya seakan hanya ingin masing-masing mendapatkan “sepotong” pengakuan kehormatan. Jangan lupa, bahwa tidak semua alumni di sekolah sudah meraih kesuksesan atau bisa mendapat tempat yang terhormat. Masih banyak alumni (atau mungkin guru-guru kita) yang karena faktor X + Y hingga belum bisa memecahkan persoalan hidupnya. Padahal mereka juga terbilang punya potensi untuk maju, tetapi peluang dan keberuntungan selalu tidak berpihak kepada mereka.
Selanjutnya, pertimbangan lain dari saya, apabila Ical diundang kapasitas sebagai Wakil Walikota (entah itu sekarang atau tahun depan) bisa mengundang kontroversi. Bahwa (dalam reuni) di SMAN 9 itu, selain guru-guru yang masih aktif maupun yang pernah mengajar Ical, juga dengan semua siswa ataupun yang sudah alumni (bersama keluarganya), itu bisa dipastikan belum tentu semuanya menjatuhkan pilihannya kepada Ical dalam Pilwako kemarin, tentunya dengan alasan dan pertimbangan masing-masing. Sehingganya, tak salah jika ada yang takut akan munculnya “pahlawan kesiangan” ketika menghadirkan Ical sebagai Wakil Walikota.
Berikutnya, Danny, dan terutama Ical, memang adalah pernah jadi teman saya. Tetapi DIA kini di mata saya sudah berbeda dengan DIA yang dulu. DIA sekarang boleh jadi akan menjadi “budak” Partai Demokrat (PD) yang kini mendapat julukan sebagai partai SARANG KORUPTOR. Dalam Pemilu 2014 sebentar, bohong kalau DIA tidak mendukung PD untuk kembali berkuasa di negeri ini, dan Kota Makassar akan pasti diupayakan semaksimal mungkin untuk menjadi daerah “jajahan” PD pada Pemilu 2014 mendatang.
Sehingga itu, sekali lagi, Ical memang teman sekolah saya dulu, tetapi saya tidak setuju kalau IKA SMAN 9 Makassar pada reuni kali ini dan reuni-reuni hingga lima tahun ke depan larut dalam euforia, hingga tak sadar ternyata telah terseret dalam kepentingan politik dari kelompok tertentu.
Saya memang bangga punya teman bisa menjadi kepala daerah, tetapi saya tidak akan pernah bangga dan bahkan saya PASTI akan melawan Danny dan Ical jika setelah resmi menjadi pasangan Walikota Makassar ternyata hanya lebih nampak menghidupkan parpol yang telah “berjasa” menjadikannya sebagai kepala daerah. Jika hal ini terjadi, maka hasil pertumbuhan ekonomi hanya akan tetap dirasakan oleh orang-orang kaya saja.
Sehingga tak keliru jika mantan Menko Perekonomian, DR Rizal Ramli selalu menyoroti pemerintah untuk jangan pura-pura bangga dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini tumbuh sekitar 5 persen. Karena maaf, kata Rizal, yang 5 persen lebih itu adalah hanya dinikmati oleh kalangan kelas atas.
Juga jangan lupa, bahwa sejauh ini kita sudah pernah berkali-kali digiring dalam mimpi-mimpi indah, tetapi begitu banyak yang berakhir dengan kenyataan “Buruk”. Yakni, dari setiap pemilihan kepala negara maupun kepala daerah, rakyat selalu saja terlelap dengan “angin surga” yang ditiupkan dari para kandidat melalui parpolnya masing-masing, tetapi kenyataannya surga itu hanya dinikmati oleh mereka, dan neraka tetap untuk rakyat.
Hahahaaa... bicara soal Surga dan Neraka, saya jadi teringat dulu ada plesetan pertanyaan guyon dari teman-teman di SMA. Katanya, mau masuk kelas IPA, IPS Sos, atau Budaya? Dulu jurusan IPA hanya terbagi dua kelas, itupun kelas IPA Fisika hanya satu ruangan, dan kelas IPA Biologi juga cuma satu ruangan. Sehingga itu banyak yang menganggap kelas IPA adalah “momok” buat banyak siswa. Sementara kelas IPS lebih dari dua ruangan ditambah kelas Budaya. Ternyata jawabnya adalah IPA= adalah Ikut Perintah Allah, IPS= Ikut Perintah Setan, dan Sos= So-Sial (sudah Sial), serta Budaya= adalah Bukan Darah Yahudi.
Akhirnya, terlepas dari semua itu, semoga kita semua selalu mengikuti perintah Allah, dan agar tidak menjadi orang sial, maka berusahalah untuk tidak mengikuti perintah setan... ! Amin..!!!
SALAM PERUBAHAN untuk negeri tercinta ini.