Thursday, 10 October 2013

Bandar Politik Rp 2 Triliun: Asalkan Majukan dan Menangkan JK Sebagai Wapres?

(AMS, opini)
SEPERTI dilansir rimanews.com dan rmol serta media online lainnya, bahwa sejumlah analisis kini melihat adanya manuver dari kelompok Sofyan Wanandi-Mari Elka Pangestu dari kubu CSIS dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonsia) untuk ‘’meloloskan Jusuf Kalla (JK),’’ agar dapat berduet dengan Megawati atau Jokowi pada Pilpres 2014. 

Keduanya (Sofyan dan Mari) bahkan dikabarkan akan menjadi bandar politik untuk “HANYA” memajukan JK sebagai cawapres, yakni dengan menyiapkan Rp.2 Triliun sebagai cost-politik dalam pertarungan Pilpres 2014 tersebut.


Sebelumnya, Prof. M. Amien Rais beberapa waktu lalu memang sudah memberikan sinyalemen, bahwa akan ada cukong atau bandar/pemodal kakap di balik pencapresan Jokowi dari PDIP.

Dan boleh jadi itu ada benarnya, yakni jika dikaitkan dengan niatan kubu Sofyan Wanandi-Mari Pangestu mewakili asosaisi pedagang Tionghoa, sebagai kelompok yang memberi prioritas kepada JK untuk dijadikan pendamping Megawati atau Jokowi.

Disuguhkan Rp.2 Triliun, tentu saja bisa membuat Megawati atau Jokowi “tergiur dan klepek-klepek” agar segera menerima JK sebagai cawapres dari PDIP. Dan, “tawaran” ini tentu saja dinilai akan ada  “sesuatu” di baliknya.

Tetapi, berbagai kalangan menyerukan agar Megawati dan PDIP sebaiknya lebih mengutamakan merekrut  tokoh nasional yang mewakili civil society  dan kaum oposisi yang berjuang melawan kebebalan dan kezaliman rezim sekarang demi memperluas basis sosial bagi dukungan memenangkan pemilihan presiden 2014.

‘’Sosok seperti Rizal Ramli PhD,  Prof Mahfud MD,   memiliki basis sosial yang kuat  di kalangan civil society dan kaum nahdliyin yang kritis dan kecewa kepada elite penguasa sekarang.  Tokoh-tokoh itu bisa jadi  pasangan Megawati untuk maju ke pilpres 2014,  guna memperluas basis sosial  dukungan  untuk PDIP,’’ kata  pengamat politik Unair Airlangga Pribadi  MA, yang kini kandidat PhD di Murdoch University, Australia. Seperti dilansir oleh rimanews.

Selain almarhum Taufiq Kiemas, berbagai kalangan juga menilai, JK sudah terlalu sepuh untuk mendampingi Megawati apalagi Jokowi. Belum lagi yang patut dipertimbangkan tentang  bisnis JK di Indonesia Timur makin menggurita ketika JK jadi wapresnya SBY, sehingga SBY pun “menendangnya” keluar istana, karena SBY mendapat masukan dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri.

‘’Bisnis JK makin menggurita ketika jadi wapresnya SBY, semua orang tahu itu. Banyak proyek triliunan rupiah dikeruk JK ketika jadi wapres 2004-2009 dan kini sudah waktunya dibuka ke publik biar orang tahu sejauh mana konglomerasi bisnis JK sebenarnya,’’ kata sumber dari istana  era SBY-JK yang kini sudah di luar pagar kekuasaan.

Tapi yang jelas, JK dekat sekali dengan Sofyan Wanandi dan Mari. Kedua konglomerat ini sepakat agar JK maju ke pilpres 2014, di mana Jokowi diincar sebgai duetnya. ‘’Kalau Jokowi berduet dengan JK, maka yang untung besar  JK, sebab kalau menang, bisnis JK kian menggurita dan oligarkinya kian kuat,’’ kata sumber itu.

Para pengamat politik juga melihat, bisnis JK jadi beban bagi JK untuk maju pilpres  karena gerbong bisnis itu akan menggerus kepercayaan publik pada JK dan Jokowi jika mereka berduet nanti. ‘’Banyak mudharat dan ruginya bagi Jokowi jika berduet dengan JK atau Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa, sebab para pedagang itu akan ‘’berdagang’’ ekonomi-politik sebagai konsekuensi oligarkisme tanpa bisa dielakkan lagi,’’ kata para aktivis prodemokrasi.

Adalah aktivis senior A Rahman Tolleng yang selalu mengingatkan bahaya oligarkisme dalam demokrasi Indonesia, karena bisnis sudah terlalu dalam mencaplok dan menjarah politik sehingga negara dikuasai plutokrat.

Aktivis M.Fadjroel Rachman bahkan pernah  menilai, era SBY-JK  2004-2009 adalah fenomena ‘’Negara Pedagang’’ dimana JK dan Aburizal Bakrie waktu itu merajalela bisnisnya, dan kaum  pedagang menggurita secara  politik dan ekonomi dalam bentuk oligarki.

Prof Williaml Liddle dari Ohio Stata University, AS mengingatkan bahwa oligarkisme telah menguasai ekonomi-politik di Indonesia dan itu berbahaya bagi masa depan demokrasi di negara seperti Indonesia. 

Terlepas dari semua itu, sebagian kalangan juga menilai, dengan adanya kubu Sofyan Wanandi-Mari Pangestu yang siap memajukan JK sebagai cawapres adalah bisa saja merupakan “skenario politik” untuk menjatuhkan “animo” masyarakat terhadap Jokowi ataupun Megawati dengan PDIP-nya.

Sebab, bagi sebagian masyarakat menilai, JK tak cocok lagi untuk maju pilpres, karena masanya sudah lewat. JK sudah pernah duduk sebagai wakil presiden, dan sudah pernah gagal dan kalah sebagai capres dalam pertarungan pilpres 2009 lalu.

Sangat jelas orientasi JK mendapatkan kekuasaan itu boleh jadi hanya untuk membesarkan bisnis di lingkarannya, sehingga meski hanya berposisi sebagai RI-2 pun ia siap. Dan orientasi JK ini sangat mudah ditebak oleh siapa saja.