Friday 29 July 2011

Jika Malinkundang Memimpin Negeri Ini

SEBELUMNYA, mari membuka dengan doa: “Tuhan, jauhkan kami dari pemimpin yang durhaka kepada kami sebagai rakyatnya. Yakni pemimpin yang bermata, bertelinga dan berhati batu. Dan dekatkanlah kepada kami pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan rakyatnya, bukan pemimpin yang menghabiskan waktu dan umurnya untuk kepentingan keluarga dan partainya sendiri.

Memahami arti durhaka, dapat dikisahkan pada seorang anak bernama Malinkuanaz yang telah dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu dan bapaknya dalam kehidupan yang serba berkekurangan di pesisir Partai (maaf, maksudnya: Pantai) nan biru.


Malinkuanaz yang tumbuh besar dengan penuh belaian kasih sayang dari kedua orangtuanya itu, membuat Malinkuanaz membentuk tekadnya untuk menjadi orang yang sukses dalam kemapanan.

Bahkan Malinkuanaz berjanji di hadapan kedua orangtuanya, bahwa ketika kesuksesan itu telah berada di genggamannya, maka pengabdian kepada kedua orangtuanya adalah hal yang paling utama. Kedua orangtuanya pun “mendukungnya” lahir batin dengan segala upaya serta doa yang mengalir siang dan malam demi kesuksesan sang anak, meski harus berpisah jarak dan tempat yang amat jauh.

Singkat cerita, Malinkuanaz pun berhasil meraih dunia dengan segala kenikmatan di dalamnya. Namun sungguh di luar dugaan, jangankan untuk bersua, untuk mengakui orangtuanya yang miskin itu bahkan tega “dibohonginya”:

“Hei, sampaikan kepada kedua orangtua yang mengaku sebagai ibu bapakku itu, bahwa pengakuannya itu adalah bohong dan Penuh Dusta, karena aku tak pernah memiliki orangtua seperti mereka,” lontar Malinkuanaz kepada polisi-polisi yang jadi “pagar” penjaga keamanan rumah dan kekuasaannya.

Polisi-polisi itu pun bergegas dengan wajah galak menemui lalu menghardik dan menyeret kedua orangtua Malinkuanaz keluar dari pagar, hingga pakaian yang penuh tambalan di tubuh keduanya itu pun sobek bersama luka yang menganga di hatinya. Dan kedua orangtua Malinkuanaz tak sanggup lagi menangis, sebab air mata keduanya telah lama habis terkuras dalam dekapan rindunya kepada Malinkuanaz dengan bersimpuh dan berdoa memohon kepada Sang Maha Kuasa agar anaknya bisa meraih sukses.

Akhir ceritanya, Malinkuanaz mendapat laknat. Bagian-bagian tubuhnya “membatu”. Matanya tak mampu melihat kebenaran karena biji matanya menjadi batu hitam, telinganya pun menjadi beku hingga tak lagi mampu mendengar tangis dari bayi dan anak-anak yang merintih kelaparan, tangannya bahkan tak mampu digerakkan untuk menandatangani transaksi bisnisnya karena membeku menjadi batu, dan hatinya pun tak lagi tergerak dan sensitif karena telah berubah menjadi batu yang sangat kaku.

Kisah tersebut di atas hanyalah sebuah dongeng yang sempat saya kisahkan kepada putraku (balita) yang sedang berbaring di pangkuanku. Setidaknya, dongeng tersebut dapat menjadi cerminan kondisi pemimpin di negeri ini yang telah banyak mengingkari janji-janjinya dan lupa kepada rakyat yang telah “melahirkannya” sebagai seorang pemimpin besar. Sehingga jangan heran, jika kondisi pemimpin seperti ini menyerupai kondisi akhir yang dialami Malinkuanaz.

Olehnya itu kelak, berhati-hatilah terhadap calon pemimpin seperti Malinkuanaz, saudara kembar si Malinkundang itu!! Tetapi jika terlanjur dipimpin oleh pemimpin yang memiliki sikap dan mental seperti Malinkundang, maka tentulah hanya kekacauan dan masalah yang selalu timbul. Selanjutnya, tunggulah himpitan laknat dari Sang Maha Penguasa Langit dan Bumi beserta isinya!!!