Wednesday, 10 September 2014

Ini Cara Rizal Ramli Agar Subsidi BBM Aman dan Tepat Sasaran


SEJAK diberlakukannya kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), memang semua kalangan atas dan bawah ramai-ramai “meneguk” BBM. Tapi tahukah kita, siapa yang lebih banyak meneguk BBM bersubsidi itu?

Menurut mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (yang kini jadi tersangka kasus pemerasan oleh KPK), setidaknya pemerintah menghabiskan sekitar Rp.350 hingga Rp.400 Triliun setiap tahunnya untuk subsidi energi yang di dalamnya ada subsidi BBM dan subsidi listrik.


Dari dana subsidi energi sebesar itu, Jero Wacik menyebut ada 77 persen subsidi yang digelontorkan negara dinikmati masyarakat menengah ke atas.

“Subsidi energi seperti BBM itu kami teliti sebanyak 77 persen dinikmati masyarakat menengah ke atas dan kaya. Mereka tidak berhak mendapat subsidi. Orang punya mobil itu sudah mulai masuk kelas menengah. Kalau baru sepeda motor itu belum mampu dan hampir mampu, wajib disubsidi. Mobil itu kategori mampu walaupun cicilan juga,” ujar Jero.

Padahal, semua orang tahu, bahwa subsidi BBM itu harusnya ditujukan dan diberikan kepada golongan yang tidak mampu. Namun sayangnya, orang mampu (kaya) malah menjadi pihak yang lebih banyak menikmati subsidi tersebut, meski harus ikut mengantri berjam-berjam bersama kalangan bawah (masyarakat kurang mampu) di saat terjadi kelangkaan BBM.

Akibatnya, anggaran subsidi yang amat besar namun tidak tepat sasaran itu pun membuat pembangunan infrastruktur menjadi sangat sulit dimaksimalkan. Sehingga alokasi subsidi energi (BBM) dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu saja menyandera setiap pemerintahan.

Lalu cara seperti apa yang bisa ditempuh sebagai solusi agar subsidi BBM bisa aman dan tepat sasaran?

Sebetulnya ada cara sederhana dan cerdas dari Dr. Rizal Ramli guna mengatasi rumitnya masalah subsidi BBM. Yakni dengan melakukan subsidi silang. “‘Paksa” kalangan menengah atas membayar lebih mahal daripada rakyat kelompok bawah. Maka, bukan saja problem subsidi silang, pemerintah justru meraih keuntungan dari pos anggaran ini,” tegas Rizal Ramli kepada wartawan di kantornya, Selasa siang  (9/9/2014), di Tebet-Jakarta.

Seperti diketahui, di ujung kekuasaannya, Presiden SBY dalam RAPBN 2015 mencantumkan anggaran subsidi energi sebesar Rp.363,5 Triliun. Angka inilah yang disebut-sebut membahayakan APBN, sebab ini bisa membuat APBN jebol.

Olehnya itu, banyak kalangan mendesak agar subsidi BBM dikurangi. Dan sejumlah ekonom yang bernaung di Rumah Transisi Jokowi-JK justru mendesak pemerintah agar menaikkan harga BBM sekitar Rp 3.000 per-liter.  Tetapi, dengan mengurangi subsidi maupun menaikkan harga BBM, kedua-duanya tentu bukanlah kebijakan yang populis.

Sebab, menurut Rizal Ramli, jika usulan tersebut disetujui, maka akibatnya lebih dari 10 juta rakyat Indonesia yang selama ini berstatus near poor alias hampir miskin, tiba-tiba saja bisa jadi benar-benar miskin. Angka ini muncul dari patokan Bank Dunia, bahwa orang miskin adalah yang berbelanja kurang dari US$2 per-hari.

Saat ini, menurut data Korlantas tahun 2014 Mabes Polri menyebutkan, ada sekitar 86,33 juta pengguna sepeda motor. Jumlah ini ditambah dengan 2,2 juta nelayan (Kiara, 2012), dan terdapat 3 juta angkutan umum (organda, 2013). Jumlah yang termasuk dalam kelompok ini sekitar 91,5 juta. Dan semuanya mengonsumsi BBM jenis premium dengan harga Rp6.500 per-liter. Di luar mereka adalah masyarakat menengah ke atas yang berjumlah 10,5 juta orang yang menggunakan mobil pribadi.

Mengetahui angka-angka di atas itulah, Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur ini menawarkan solusi guna mengatasi masalah subsidi BBM, yakni mengusulkan agar BBM yang beredar di pasar dibagi jadi dua jenis.

Jenis pertama, adalah BBM rakyat yang beroktan 80-83 (premium saat ini oktannya 88). Sebagai pembanding, di Amerika, oktan general gasoline 86 dan di negara bagian Colorado 83.

Jenis kedua, adalah BBM super dengan oktan 92 untuk jenis pertamax dan 94 Pertamax Plus.

Untuk diketahui, nilai oktan berhubungan dengan “ketukan” (knocking) yang mempengaruhi sistem kinerja mesin. Semakin rendah nilai oktan yang bekerja dalam mesin akan lebih sering mengalami ketukan, demikian sebaliknya.

Dari perbedaan oktan tersebut tentunya akan membuat pengendara (pemilik) mobil menengah atas takut menggunakan BBM rakyat. Sebab mereka tidak ingin mesin mobilnya digerogoti aus yang dapat mempercepat kerusakan mesin hingga memaksa harus mengeluarkan biaya perbaikan mesin mobil yang lebih mahal.

Mantan Menteri Keuangan ini juga mengemukakan, dari data BPH Migas tahun 2013, kelompok menengah bawah mengkonsumsi sekitar 55 persen. Dengan kuota BBM tahun 2015 yang 50 juta kilo liter (kl), maka jatah mereka mencapai 27,5 juta kl. Sedangkan sisanya yang 45 persen atau sekitar 22,5 juta kl dikonsumsi kalangan menengah atas. BBM super ini dijual seharga Rp 12.500 per liter.

Rizal Ramli menegaskan, guna meringankan beban rakyat, harga BBM rakyat hendaknya tidak dinaikkan atau tetap Rp 6.500 per liter. “Ini menyangkut nasib sekitar 100 juta penduduk miskin yang terdiri atas para pengguna sepeda motor, nelayan, dan pengemudi angkutan umum. Pada 2013 Kementerian ESDM menyatakan harga keekonomian BBM Rp 8.400 per liter. Itu artinya pemerintah harus mensubsidi Rp 1.900 per liter. Tapi dari hasil penjualan BBM super, pemerintah untung Rp 4.100 per liter,” jelas Rizal Ramli.

Dari simulasi di atas, menurut Rizal Ramli, pemerintah memang harus menyubsidi BBM rakyat sebesar 27,5 juta kl x Rp1.900 = Rp52,25 Triliun. Namun pada saat yang sama, pemerintah meraih laba dari penjualan BBM super yang 22,5 juta kl x Rp4.100 = Rp92,25 Triliun. “Dengan begitu, pemerintah masih mengantongi selisih positif sebesar Rp40 Triliun per tahun,” katanya.

Sebelumnya, RAPBN 2015 dibayang-bayangi jebol karena subsidi BBM yang mencapai Rp363,5 Triliun. Namun dengan solusi yang ditawarkan Rizal Ramli ini bisa menyulap subsidi BBM yang selama ini sebagai momok bagi APBN menjadi keuntungan yang menggiurkan. Yakni, cukup dengan cara sederhana yang dikemukakan Rizal Ramli, pemerintah pun (bisa) mengantongi surplus sebesar Rp40 Triliun.

Ekonom senior ini memastikan gagasannya berupa pembagian dua jenis BBM ini bisa diterapkan di lapangan. Termasuk, katanya, untuk menangkal kelompok menengah atas yang bandel dengan tetap membeli BBM rakyat harus ditempuh beberapa langkah penerapannya.

Pertama, harus diberi tanda warna pembeda yang mencolok terhadap kedua jenis BBM tersebut. Misalnya, warna biru untuk BBM rakyat, dan BBM super berwarna merah.  Dan cara ini bisa dilakukan pada tangki dan dispenser di setiap SPBU, serta diikuti perbedaan harga dan spesifikasi produk sebagai petunjuk pelaksanaan dari prinsip subsidi silang.

Kedua, pemerintah wajib melakukan razia secara rutin terhadap kendaraan kelas menengah atas dengan melibatkan unsur aparat Dishub, Polantas, dan jika perlu mengikutkan LSM. Juga, katanya, perlu disiapkan sanksi berupa denda untuk setiap pelanggaran penggunaan BBM rakyat.

“Solusi ini juga sekaligus menghapus praktik subsidi BBM yang tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas yang tidak berhak. Solusi berupa subsidi silang memungkinkan subsisi BBM betul-betul tepat sasaran, betul-betul untuk rakyat,” lontar Rizal Ramli.