Friday, 11 April 2014

Memprihatinkan Jika “Janda” SBY Ingin Dipersunting PDIP

(AMS, opini)
KEPERCAYAAN Rakyat kepada PDIP dalam Pileg 2014 yang baru saja diberikan pada 9 April 2014 lalu dengan menempatkan PDIP sebagai pemenang, nampaknya sangat besar kemungkinan hanya akan berusia “seumur jagung” apabila hanya menunjuk seorang cawapres seperti Jusuf Kalla (JK) untuk dimajukan pada Pilpres 2014.


Artinya, pemilih akan lebih cenderung memilih pasangan Capres lainnya dalam Pilpres pada Juli 2014 mendatang apabila PDIP ternyata hanya memajukan cawapres yang tidak sesuai dengan selera rakyat, seperti JK. Sebab, JK di mata pemilih sesungguhnya adalah sudah termasuk sosok yang tidak lagi menjadi selera rakyat. Atau dengan kata lain, JK bukanlah kini sosok yang didambakan apalagi diunggulkan oleh rakyat guna mengatasi persoalan bangsa dan negara yang sudah sangat rumit, saat ini dan masa mendatang.

Dengan melihat kondisi permasalahan bangsa ke depan, rakyat Indonesia sangat butuh pasangan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang tidak hanya sekadar didasari oleh perhitungan koalisi kepentingan partai, tetapi jauh lebih dari itu rakyat sangat membutuhkan pasangan presiden yang diyakini memiliki kemampuan mengatasi persoalan bangsa. Dan JK bukan lagi sosok yang tepat untuk itu.

Sangat banyak logika dan analisa yang bisa dijadikan pertimbangan atau alasan mengapa JK dinilai tak pantas lagi untuk dimajukan dalam pilpres 2014, baik sebagai cawapres apalagi sebagai capres.

Misalnya, secara logika, pada Pilpres 2009 Partai Demokrat saja sudah “tak sudi” lagi memakai JK sebagai pasangan pada periode kedua SBY. Lalu masa iya PDIP ingin “mempersunting” JK sebagai cawapres 2014…??? Itu logika pertama.

Logika kedua, perolehan suara pasangan Megawati-Prabowo 26,79% pada Pilpres 2009 masih jauh lebih tinggi dibanding pasangan JK-Win yang hanya berada pada posisi ke-3 dengan hanya mengantongi suara 12,41%. Dan itu dapat dipandang sebagai salah satu bukti, bahwa SBY ketika itu sama sekali memang tidak keliru “menceraikan” JK. Lalu apa iya PDIP ingin “mempersunting” JK sebagai cawapres 2014…???

Lalu apa alasan SBY ketika itu sampai harus “menceraikan” JK untuk tidak lagi dipakai pada periode kedua? Beberapa sumber mengungkapkan, yakni salah satunya disebutkan oleh seorang aktivis 98, Lukman Hakim, bahwa ketika JK masih menjabat Wapres SBY dengan tugas utama mengurus ekonomi, ketika itu terjadi penguasaan ekonomi untuk kepentingan perusahaan bisnisnya (JK) secara gila-gilaan.

Lukman mencontohkan, yakni di antaranya pembangunan airport Ujungpadang, airport Medan dan dua airport di Kalimantan. Selain itu, JK juga berhasil membersihkan utang-utangnya di Mandiri dan di BNI, saham kosong di Semen Gresik, proyek-proyek listrik, dan tabung gas, serta lain sebagainya.

Menurut informasi, keinginan menjadikan JK sebagai cawapres bagi PDIP adalah berasal dari Nasdem. Dan jika informasi ini benar, maka kita memang tak perlu heran. Sebab kita semua tahu siapa JK dan siapa Surya Paloh, yang kedua-duanya memang adalah tokoh yang sama-sama “dilahirkan serta dibesarkan” di bawah lindungan dan naungan “pohon beringin”.

“Sayang sekali kalau partai Nadem sebagai partai baru yang mengaku sebagai pelopor gerakan perubahan (ingin) mengusung Cawapres yang jauh dari cita-cita perubahan Indonesia yang lebih baik dan terwujudnya kesejahteraan rakyat,” sambung Lukman Hakim yang juga sebagai akademisi di Universitas Mustopo Beragama itu.

Sehingga itu, sebagai penulis sekaligus pengamat politik, saya sangat prihatin dengan PDIP jika sampai terbius dan terlena ingin mempersunting JK “si Janda SBY” tersebut untuk dijadikan cawapres. Sebab, pertanyaannya: apakah memang sudah tidak ada lagi “perawan” yang bisa dijadikan cawapres buat PDIP? Yakni sosok yang belum pernah maju bertarung dalam pilpres, namun dianggap lebih layak dijadikan cawapres karena memang dinilai memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara ke depan.

Menurut saya, jika memang PDIP serius ingin salah satunya menegakkan dan menjalankan kembali ajaran Trisakti, maka sebaiknya PDIP mematok syarat bagi parpol yang ingin berkoalisi. Yakni misalnya, cukup dengan diberikan “jatah” dalam kursi kabinet, bukan sebagai wapres.

Sebab, PDIP harus bisa memunculkan pertimbangan utama, misalnya tentang resiko-resiko yang kemungkinan besar akan terjadi ketika menjalankan roda pemerintahan nantinya. Yakni, resiko dualisme pemerintahan akan sangat berpotensi terjadi karena wapresnya berasal dari parpol lain, apalagi jika memang parpol tersebut adalah parpol yang pernah berseberangan dengan PDIP secara serius, baik di masa lalu maupun di masa kini.

Olehnya itu, PDIP harus benar-benar cermat menentukan capres dan cawapres untuk diduetkan pada Pilpres 2014. Keseleo sedikit, bisa fatal jadinya. Sebab, pemilih kita saat ini sebetulnya tak hanya sudah jenuh dengan kelakuan buruk dari banyak parpol, tetapi juga sudah sangat gerah dengan tokoh 4L: “Lu..Lagi, Lu..Lagi”

Sehingga itu, sebelum menetapkan Capres dan Cawapres, ada baiknya seluruh parpol merenungi dengan sungguh-sungguh apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, bahwa: “Otak yang sama, yang sudah menimbulkan berbagai masalah, tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu (apalagi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan datang).”
———————
SALAM PERUBAHAN 2014…!!!