Wednesday 5 September 2012

Aku Punya “Bahasa Indonesia” untuk Nafkahi Keluarga, Meski Bank Tak Bisa Membantu


AKU tak pernah menduga, ketika awalnya hanya berprofesi wartawan, kini aku “menjelma” sebagai  penulis sekaligus penerbit. Ya, sejak tahun 2001 hingga saat ini aku menggeluti usaha jasa pembuatan dan penerbitan media cetak, seperti buletin, majalah, tabloid dan buku.


Sejumlah media cetak dan buku kini telah kuterbitkan, baik inisiatif sendiri, maupun atas permintaan atau pesanan dari instansi pemerintah maupun lembaga swasta tertentu lainnya. Dan aku bertindak sebagai Pemimpin Redaksi dari seluruh media cetak yang kuterbitkan.

Dulu aku tak pernah membayangkan menjadi seorang wartawan atau penulis, apalagi berkecimpung di dunia penerbitan media cetak. Harapanku sejak kecil sebetulnya bercita-cita dapat menjadi seorang tentara atau polisi sebagai abdi sekaligus alat negara, namun tentu tak ingin “diperalat”. Tetapi apalah daya, jalan hidup menghendaki diriku menjadi seperti yang sekarang, yakni menjalankan usaha jasa penerbitan media cetak, di kampung halaman istriku, Provinsi Gorontalo.

Sejak pertama menekuni profesi sebagai seorang jurnalis, “latihan” tiap hari yang wajib aku lakukan adalah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, yakni secara lisan maupun tulisan. Terutama adalah bagaimana merangkai dan menyusun kalimat dalam Bahasa Indonesia menurut ejaan yang disempurnakan.
Hingga saat ini, “latihan” itu pun terus aku dalami. Sebab, menguasai Bahasa Indonesia secara teori saja belum tentu dapat diaplikasikan dan diterapkan dalam dunia kewartawanan, apalagi dalam menggeluti usaha jasa penerbitan media cetak. Mengapa?

Inilah faktanya, bahwa orang Indonesia, pasti bisa berbahasa Indonesia secara lisan (meski itu hanya dasar-dasarnya). Tetapi tidak semua orang Indonesia bisa menulis dan menyusun kalimat dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Demikian pula sebaliknya. Dan hal ini pun berlaku secara universal di seluruh negara.

Namun aku tak ingin mengurus negara lain, yang aku fokuskan adalah bagaimana usaha yang sebetulnya kugeluti sejak tahun 2000 hingga saat ini bisa tetap hidup dan berkembang guna menghidupi keluargaku.
Jujur, pada awal perjalanan usaha jasa penerbitan ini, aku tak mengandalkan uang sebagai penggerak utama.  Sebab, pada awal tahun 2001 aku ke Gorontalo saja hanya membawa ongkos perjalanan transpor darat yang pas-pasan dengan bus umum, lalu menumpang seminggu di rumah tante istriku. Selanjutnya, menetap untuk pertama kalinya di sebuah rumah kontrakan di bilangan Perumahan Nasional, Kota Gorontalo, itu pun adalah hasil patungan dengan keluarga istriku yang juga turut menghuni rumah kontrakan tersebut. Rumah orangtua istriku memang ada, tetapi letaknya di pedalaman, aku pasti tak bisa berbuat apa-apa di sana selain hanya menghitung bintang.

Tak lebih tiga bulan beradaptasi, aku pun melihat ada harapan yang mulai terbuka, hingga kemudian aku mendirikan perusahaan penerbitan sendiri, dari sisa tabunganku Rp.1.275.000, sebagai biaya pengurusan surat-suratnya. Langkah ini berani kutempuh, karena aku sudah sedikit memahami kondisi dan strategi apa yang mesti diterapkan dalam menjalankan usaha jasa penerbitan di daerah yang masih perawan seperti di Gorontalo.

Tentu saja pengalamanku sebagai wartawan di Makassar sangat membantu pergerakanku. Dan yang bertindak sebagai “mesin” utamanya adalah “elemen” Bahasa Indonesia, yang harus digunakan sebagaimana mestinya, baik secara lisan maupun tulisan. Secara teknis, elemen ini kemudian aku padukan dengan seni desain grafis sebagai kegemaran yang kini juga menjadi keahlianku.

Artinya, dalam menerbitkan media cetak, aku selalu berusaha meramu resep penyajian tulisan dengan menggunakan Bahasa Indonesia secara maksimal menurut selera pembaca, yang gampang diserap serta dimengerti, dan tentu saja ditulis secara runtut. Ini kemudian diikuti dengan penempatan foto atau gambar-gambar secara selaras yang diolah melalui seni desain grafis yang aku kerjakan sendiri.

Aku memang pernah menerima hingga 20 orang sebagai tenaga wartawan sekaligus bertindak sebagai pencari iklan, tetapi ini tidak bertahan lama karena tidak banyak membantu. Persoalannya, mereka rata-rata bagai orang yang hanya datang ke pasar membeli bahan-bahan mentah, namun setelah itu mereka tak bisa mengolah dan memasak bahan-bahan tersebut agar dapat disajikan dan dinikmati sebagaimana yang diharapkan.

Umumnya, mereka menilai, bahwa mencari dan menjemput informasi memang sulit, tetapi itu tidak sesulit ketika informasi tersebut ingin dijadikan berita. Artinya, mereka mengakui sangat kesulitan, harus merangkai dari mana agar kalimat-kalimat dapat mengalir dan tersusun dengan baik hingga dapat membentuk bacaan menarik.

Sehingga itu, sejak awal dan sampai sekarang, aku masih selalu (95%) harus mengerjakan dan merampungkan sendiri proses pembuatan media cetak, baik itu majalah maupun buku. Sementara selebihnya (5%) adalah kinerja dari enam orang wartawan merangkap tenaga iklan yang masih setia membantuku.

Selama ini, mengerjakan satu edisi media cetak (majalah minimal 32 halaman hingga maksimal 56 halaman) boleh dikata mampu aku selesaikan sendiri, yakni kurang dari sebulan. Tetapi itu memerlukan tenaga ekstra, karena harus mengatur waktu kerja. Mulai pukul 21.00 hingga 07.00 adalah jam aktif bekerja di hadapan komputer membuat dan menyusun tulisan, mendesain foto dan gambar, menata tulisan serta gambar di halaman majalah. Selanjutnya istirahat (tidur) dari pukul 07.00 sampai 13.00. Lalu pukul 14.00 hingga 18.00 turun ke lapangan mencari berita sekaligus mengajukan penawaran advertorial ke berbagai pihak. Waktu berkumpul dengan istri dan anak-anakku hanya tersedia dari pukul 18.00 sampai 21.00.

Setelah halaman majalah rampung terisi, berkas (file-nya) pun aku kirim ke Jakarta via email untuk dicetak sesuai hasil diharapkan. Sebelumnya, sekitar 8 tahun majalah aku cetak di Manado, tetapi saat kuketahui harga cetak di Jakarta sedikit lebih murah dan juga kualitas cetak masih lebih memadai, maka aku pun lebih memilih cetak di Jakarta.

Begitulah hidup yang harus aku lakoni secara berulang-ulang sepanjang tahun di Gorontalo (2001 hingga kini). Dan sekali lagi, bisnis yang aku geluti ini bisa kujalani sekaligus mampu menafkahi keluargaku, yakni hanya dengan modal utama “bermain” kata-kata Bahasa Indonesia melalui penulisan dan penyusunan kalimat-kalimat, dipadu dengan keahlian menata halaman Program Pagemaker7 ataupun InDesign, serta mengolah foto serta gambar-gambar melalui program desain grafis seperti Photoshop, CorerDraw dan lain sebagainya.

Sudah pasti aku butuh modal segar untuk membeli mesin cetak dan kantor sendiri, serta tenaga kerja yang dapat aku latih bekerja sebagai staf profesional dengan gaji yang layak. Tetapi sungguh sayang sejuta sayang, itu cuma sebatas mimpi. Dua kali aku mengajukan permohonan bantuan modal dari bank (satu bank pemerintah, dan satu bank swasta), kedua-duanya ternyata tidak “punya hati” untuk mendukung dan menunjang langkah usahaku agar bisa lebih maju. Pihak bank hanya melihat besaran agunan berupa sertifikat kepemilikan tanah dari pemohon pinjaman, bukan besaran daya potensi dan bobot pengalaman riil yang dimiliki oleh orang sepertiku.

Sehingga aku pun berandai-andai. Kalau saja nyawa ini bisa jadi agunan, maka pasti aku sudah melakukannya sejak tahun 2001. Dan jika memang itu terjadi, maka tulisan yang aku posting di Kompasiana ini tentulah akan berjudul: “Bank Berhasil Membantu Pengguna Bahasa Indonesia Menjadi Pengusaha Media”. Tetapi judul ini mungkin cuma khayalan tingkat tinggi!

Tetapi, meski begitu, aku tak pernah merasa lelah apalagi untuk menyerah. Aku bahkan harus selalu tegar menjalankan usaha yang kutekuni ini hingga akhir hayatku demi keluarga.

Inilah nama-nama media cetak maupun buku yang telah maupun yang sedang aku kerjakan “sendiri”:
1. Surat Kabar Umum Mingguan “Pakarena”  (Pakar Pena)– Tahun 2000, di Makassar. (Independen inisiatif sendiri)
2.  Buletin “SeRGaP” (Seruan Rakyat Gorontalo adakan Pembangunan)– Awal tahun 2001-akhir 2001, di Gorontalo. (Inisiatif sendiri)
3.  Tabloid “Pariwara” (Partner Pemerintah Kawan Rakyat) — Tahun 2001-2005. (Inisiatif sendiri)
4.  Buku: “Menabur Anggaran, Menuai Kinerja” — Tahun 2004. (Kerjasama Biro Keuangan Pemprov. Gorontalo)
5.  Buku: “Katalog Penduduk Miskin (Hasil Investigasi Lapangan)– Tahun 2005. (Kerjasama Pemprov. Gorontalo)
6.  Majalah “Bentor” (Beritanya Tanah Gorontalo)– Tahun 2005-2010. (Independen inisiatif sendiri)
7.  Majalah “Modilito”– Tahun 2006. (Kerjasama Bappeda Kab. Gorontalo)
8.  Buletin “Caleg Kita”– Tahun 2009. (Kerjasama pribadi Politisi Golkar: Marthen Taha)
9.  Buletin “Caleg Kita” — Tahun 2009. (Kerjasama pribadi Politisi PAN: Lola Mayulu Yunus)
10. Malajah “Lampu Kuning”– Tahun 2009. (Independen inisiatif sendiri)
11. Majalah “Fitrah Mandiri”– Tahun 2008-2009. (Kerjasama BUMD Prov. Gorontalo)
12. Majalah “Berguru”– Tahun 2009. (Kerjasama DPD I Partai Golkar Prov. Gorontalo)
13. Majalah “Seputar Pohuwato”– Tahun 2009. (Kerjasama DPRD Kab. Pohuwato)
14. Majalah “Gerbang Emas”– Tahun 2010-2011. (Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara)
15. Buku: “Refleksi Pembangunan Kab. Gorontalo Utara: Berkarya Nyata, bukan Berkarya Kata”– Tahun 2011. (Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara)
16. Buku: “Profil & Kinerja”– Tahun 2012. (Kerjasama Dinas PU Pemkab. Gorontalo Utara)
17. Majalah “Matahati”– Tahun 2012-sekarang. (Kerjasama Marthen Taha selaku Bakal Calon Walikota Gorontalo 2013 dari Partai Golkar)
18. Majalah “haraPANrakyat”– Tahun 2012-sekarang. (Kerjasama Feriyanto Mayulu selaku Bakal Calon Walikota Gorontalo 2013 dari PAN)