SEBETULNYA Indonesia sangat bisa menjadi negara hebat, asalkan saja presiden mau benar-benar serius melakukannya dengan penuh kesadaran.
Serius dalam arti menyadari, bahwa Indonesia hanya bisa menjadi hebat jika dikelola dan ditangani oleh orang-orang hebat pula, bukan orang-orang yang baru belajar ingin menjadi hebat.
Laksana ingin memenangkan sebuah pertempuran, seorang panglima perang tentulah harus bisa menyiapkan terlebih dahulu prajurit-prajurit pilihan yang benar-benar tangguh dan berpengalaman dalam menjalankan taktik maupun strategi di medan laga, bukan prajurit yang baru belajar bertempur, apalagi yang baru belajar memegang senjata. Ini bisa fatal jadinya.
Hal inilah yang terjadi pada diri Presiden Jokowi saat ini, yang katanya ingin menjadikan Indonesia sebagai negara hebat, tetapi nyatanya hanya menunjuk kebanyakan orang-orang yang baru belajar menjadi menteri.
Beberapa di antaranya memang ada yang pernah jadi menteri, lalu ditunjuk kembali. Namun orang yang kembali ditunjuk tersebut dinilai sebagai penganut neoliberalisme yang sangat kental.
Jadinya, yaa, beginilah kondisi negeri kita seperti saat ini. Di mana-mana bermunculan masalah baru, dan di sana-sini pun terjadi kekacauan.
Masalah terdahulu yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya bukannya berkurang, tetapi malah semakin bertambah, yang sudah pasti hanya menyakiti hati rakyat.
Mulai dari masalah ribut-ribut soal penghapusan ataupun pengurangan subsidi bahan bakar minyak, listrik, elpiji, yang mengakibatkan membengkaknya harga kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya, juga dengan nilai tukar Rupiah yang terus melemah, gontok-gontokan secara frontal terhadap masalah KPK Vs Pori, hingga pada masalah pencabutan program beras miskin (raskin), dan lain sebagainya.
Dan rentetan masalah-masalah tersebut sangat bisa diartikan, bahwa orang-orang yang telah terlanjur ditunjuk sebagai menteri saat ini sebetulnya adalah orang-orang yang tak mampu menjalankan tugasnya sebagai pembantu Presiden.
Sehingga itu, Jokowi bolehlah dibilang percuma jadi presiden jika sampai saat ini para menterinya sangat sulit melakukan terobosan penting guna menjadikan Indonesia sebagai negara hebat.
BEDA 100 HARI KERJA JOKOWI DENGAN
100 HARI KERJA GUS DUR
Jangan bilang rakyat Indonesia tidak cemas dengan kondisi pemerintahan saat ini yang “penampakannya” sangat tak seindah pada saat masa kampanye Pilpres 2014 kemarin.
Kondisi “kerja-kerja” yang diperlihatkan Jokowi seperti saat ini masih sedikit buruk dibanding era SBY. Bahkan sangat berbeda jauh dengan Presiden Gus Dur, yang pada masanya, Presiden Gus Dur benar-benar mampu memperlihatkan ketegasan dalam menentukan siapa yang layak jadi menteri dan siapa yang tak pantas.
Dari ketegasan dan kecermatannya memilih para menteri, Gus Dur pun berhasil menjadi presiden satu-satunya yang memerintah secara singkat (hanya 21 bulan) tetapi sukses mencatat banyak prestasi.
Dalam melewati 100 hari kerjanya, Gus Dur malah kemudian berhasil menurunkan Utang Luar Negeri sebesar $ 9 Miliar; berhasil menyelamatkan PLN dari kebangkrutan; mampu menumbuhkan perekonomian Indonesia selama tahun 2000 sebesar 4,8%, di atas perkiraan awal yang hanya 2-3% dengan budget deficit yang lebih kecil dari perkiraan semula, yaitu hanya -3,2% dari GDP (perkiraan semula adalah -4,8% dari GDP).
Semua itu bisa dilakukan Presdien Gus Dur dengan waktu singkat, adalah tidak lain dan tidak bukan karena Gus Dur sama sekali tak ingin didikte, apalagi diintervensi dalam menentukan siapa yang layak dan siapa yang tak pantas ditunjuk sebagai menteri.
Dan sungguh Gus Dur amat tegas dan tidak ingin menggadaikan kewenangannya selaku Presiden, yakni dengan tidak ingin diatur-atur berdasar sebuah kepentingan kelompok saja dalam menentukan posisi menteri.
Salah satunya, Gus Dur sangat tahu persis mengapa harus menunjuk Dr. Rizal Ramli sebagai pembantu presiden yang diberi tugas selaku Menko Perekonomian. Tentu saja karena Rizal Ramli di mata Gus Dur adalah ekonom senior sekaligus sosok independen yang memiliki integritas dan kredibilitas yang sangat tinggi, punya daya dobrak dalam melakukan perubahan sebagaimana yang diharapkan bagi bangsa dan negara.
Dan sekali lagi, kondisi dan sikap ketegasan dalam menentukan para menteri yang diperlihatkan Presiden Gus Dur saat itu, sangatlah berbeda dengan yang diperlihatkan oleh Presiden Jokowi saat ini.
Sehingga tak usah heran mengapa pemerintahan Jokowi yang dengan bangganya memberi titel kabinetnya dengan nama: “Kabinet Kerja” itu malah belum menghasilkan kinerja dan prestasi yang signifikan.
Bahkan dari sejak hari pertama dilantiknya sebagai Presiden RI, Jokowi sampai melewati 100 hari kerja (dan hingga kini) belum juga mampu menyenangkan hati rakyat. Tanya kenapa...???
Sudah pasti adalah karena Presiden Jokowi 1000-2000 persen salah memilih orang-orang untuk ditempatkan sebagai menteri.
Apabila Jokowi tak punya nyali merombak kabinetnya yang ada pada saat ini, maka rakyat Indonesia tak usaha banyak berharap. Sebab, di belahan dunia mana pun kesuksesan seorang presiden sangatlah ditentukan oleh bobot kualitas dari para menterinya.
Olehnya itu, sebetulnya kita tak perlu banyak membahas dan memperdebatkan masalah-masalah yang muncul saat ini. Sebab munculnya masalah-masalah tersebut adalah sangat bisa ditunjuk sebagai ketidakmampuan para menteri. Bukan ketidakmampuan presiden.
Ingatlah, untuk menjadikan Indonesia ini sebagai negara hebat, sungguh sangat besar hambatan dan rintangannya di depan sana. Tentu sangat diperlukan juga orang-orang hebat. Layaknya ingin memenangkan sebuah pertempuran, maka panglima perang harus menyiapkan prajurit berpengalaman yang benar-benar terbukti ahli dan handal serta tangguh dalam merebut kemenangan. Bukan prajurit yang baru belajar terjun payung dan baru belajar memegang senjata. Itu bunuh diri namanya.