Saturday, 10 May 2014

Rakyat Kita Sedang “Sakit Ekonomi”: Butuh Pemimpin yang Ahli Ekonomi, bukan Ahli Hukum

(AMS, opini)
PERSOALAN utama yang melilit rakyat Indonesia saat ini sesungguhnya adalah masalah ekonomi. Artinya, rakyat selama ini sesungguhnya sudah sangat lama menantikan lahirnya pemimpin yang ahli di bidang ekonomi yang mampu menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat.

Ibarat orang yang sudah terjatuh di laut, rakyat tentunya sangat membutuhkan “penyelamat” yang ahli berenang, yang mampu memberikan pelampung kepada rakyat agar tidak tenggelam. Sebab, rakyat tak punya banyak waktu lagi disuruh menunggu kedatangan “ahli hukum” untuk mencari tahu dan memroses siapa-siapa yang telah merusak “perahu” rakyat itu hingga terbalik di laut.


Atau dengan analogi lainnya dalam memahami kebutuhan bangsa (rakyat) Indonesia yang amat mendesak saat ini dapat digambarkan, bahwa rakyat sejauh ini ibarat orang sakit yang sudah sangat lemas.

Dalam kondisi seperti itu, sudah pasti rakyat sangatlah membutuhkan “dokter ahli” yang bisa segera meramu resep dan memberikan “obat” kesembuhan bagi rakyat.

Dan ibarat orang sakit yang sudah terkapar, rakyat tentulah tidak mendesak membutuhkan “pengacara” atau ahli hukum lainnya untuk mengamankan sesuatu yang menjadi penyebab rakyat jatuh sakit.

Juga, dalam kondisi yang sudah sekarat seperti itu, rakyat tidaklah butuh pengusaha yang justru nantinya hanya bertindak sebagai “penjual obat”.

Memang betul, negara kita juga saat ini sedang digerogoti oleh sebagian besar ulah pejabat yang gemar korupsi. Dan ini tentunya juga penting untuk bisa diatasi melalui upaya hukum.

Tetapi, kita jangan mencoba menutup mata hati, bahwa masalah ekonomi rakyat sangatlah lebih mendesak untuk segera diatasi dan dibenahi secara maksimal. Sebab, penanganan masalah korupsi sejauh ini sudah ada sejumlah lembaga berkompeten dan bahkan secara khusus menangani persoalan tersebut.

Salah satu alasan yang sangat menonjol dari pihak yang menghendaki dimunculkannya pemimpin yang ahli hukum adalah, katanya, kalau hukum dan reformasi birokrasi tidak segera dibenahi maka sulit menciptakan ekonomi yang baik.

Alasan itu memang tidak salah. Tetapi sangat keliru jika harus dijadikan prioritas. Sebab, akal sehat saya sama sekali tidak membenarkan apabila sistem birokrasi yang lagi-lagi ingin dijadikan alasan utama untuk membenahi nasib rakyat.

Semangat untuk membenahi hukum dan sistem birokrasi adalah euforia reformasi dan sudah dijalankan selama sekitar 12 tahun belakangan ini. Namun semangat itulah yang justru lebih gila dan dahsyat melahirkan pejabat-pejabat korup (sebuah fakta). Mengapa?

Sebab dari awal dijalankannya era reformasi hingga kini, hampir seluruh perhatian penyelenggara negara dan elit-elit beserta tokoh-tokoh di negara ini tercurah kepada upaya pembenahan hukum dan sistem reformasi birokrasi. Dan sangat sedikit pihak yang memperhatikan jeritan rakyat miskin.

Artinya, sorotan negara sejauh ini seakan hanya memandang hukum itu cuma pada satu sudut, yakni masalah penanganan kasus korupsi saja. Dan pada kondisi seperti ini sesungguhnya malah dapat memunculkan potensi saling intai-mengintai satu sama lain namun tetap berada dalam sebuah arena “permainan kotor” bersama para mafia-mafia hukum dan birokrasi lainnya. Siapa yang bisa menjamin jika KPK selama ini masih “steril”..???

Lihatlah, betapa banyak kasus korupsi yang seakan dibiarkan berlarut-larut, prosesnya juga seakan dibiarkan berjalan  bagai seekor keong menuju puncak Monas. Dan ketahuilah, betapa banyak sudah anggaran yang dihabiskan untuk hanya menangani satu kasus korupsi dan sistem birokrasi. Padahal kebenarannya sudah nampak di depan mata!

Negara selama ini hanya sangat nampak memberi perhatian penuh kepada penanganan hukum yang hanya berorientasi kepada masalah korupsi, dan inilah yang dipandang sebagai akibat dari rapuhnya sistem birokrasi kita, sehingga negara pun akhirnya “terjebak” pada satu sudut masalah ini saja yang justru lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan anggaran.

Sungguh enak rasanya jadi seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) setingkat pejabat eselon II dan I maupun pejabat tinggi negara lainnya. Sudah digaji tinggi, mereka melahap uang negara pula. Sudah dijamin hidupnya oleh negara, kini malah minta agar lebih banyak diurus oleh negara lagi (pembenahan sistim birokrasi).

Situasi seperti inilah yang bisa saya sebut dengan istilah: “pejabat urus pejabat”. Lalu kapan pejabat urus rakyat…???

Akibat dari “pejabat urus pejabat” ini tentunya tidak hanya memunculkan pejabat atau elit-elit yang gemar melakukan persekongkolan, tetapi di sisi lain juga akan saling mangsa-memangsa satu sama lain.

Yakni, seperti yang terjadi saat  ini, di mana sesama kelompok pejabat dan elit sudah saling tuding-menuding dan saling menjatuhkan; para parpol hanya sibuk saling terkam-menerkam; dan saling jebak-menjebak antara satu dengan lainnya. (Misalnya, kasus antara Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Rudi Rubiandini, Luthfi Hasan Ishaaq, Century-gate, kini saling tuding-menuding dan jebak-menjebak satu dengan lainnya).

Seharusnya hukum jangan hanya memandang pada satu masalah (korupsi) saja. Sebab, banyak fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, di mana seseorang terpaksa terlibat dan terseret dalam proses hukum adalah lantaran hanya ingin mempertahankan hidup sebagai orang miskin yang mengalami himpitan ekonomi yang sangat hebat.

Banyak peristiwa hukum (kriminalitas) seperti perampokan, pencurian, penipuan, dan bahkan pembunuhan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang (rakyat) karena didorong oleh kesulitan ekonomi yang mencekik.

Saya kuatir, kalau dulu ada tsunami yang diakibatkan oleh gelombang air,  maka sebentar lagi tsunami yang lebih dahsyat akan muncul, tetapi dalam bentuk gelombang pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, yang dipastikan akan meluluh-lantakkan negeri ini. Dan fenomena-fenomena inilah salah satunya yang luput dari perhatian negara. Dan hal ini tentu saja tidak adil.!

Saya katakan tidak adil, sebab  kasus hukum korupsi yang dilakukan oleh pejabat seakan harus menjadi perhatian serius oleh negara (misalnya: dengan harus memilih pemimpin dari kalangan ahli hukum). Tetapi kasus hukum kriminal yang dilakukan oleh seseorang (rakyat) akibat kemiskinan, hanya dipandang sebelah mata oleh negara.

SALAM PERUBAHAN 2014…!!!