Sunday, 24 November 2013

Boediono Harusnya Sudah Jadi “Kado” Ultah ke-5 Kasus Bank Century

(AMS, opini)
MASALAH Bank Century kini sangat identik dengan nama Boediono. Artinya, jika mendengar kata Century maka yang terbayang di benak adalah sosok Boediono dan Sri Mulyani. Sehingga kedua sosok tersebut saat ini seakan sudah menjadi sebuah “branding” ketika membahas masalah bank yang telah berubah nama menjadi Bank Mutiara itu.

Pembahasan dan penanganan masalah bail-out Bank Century ini sudah sangat panjang, dan sungguh sudah amat melelahkan. Padahal substansi objek masalahnya sangat sederhana dengan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan, serta siapa-siapa yang patut ditunjuk hidungnya sebagai perampok uang negara melalui bank tersebut juga sudah sangat jelas.

Padahal pula, tanpa dukungan hasil sadapan badan-badan intelijen asing, termasuk Australia yang konon sudah diserahkan ke KPK, dengan hasil forensik BPK saja sesungguhnya KPK sudah punya lebih dari cukup data untuk menangkap Boediono, Sri Mulyani dan bahkan SBY.

Sayangnya, yang terlibat dalam masalah tersebut bukanlah rakyat jelata. Coba kalau rakyat jelata?! Maka tentu persoalannya tidak serumit seperti saat ini. Itulah wajah hukum di negeri ini. Meski Abraham Samad selaku Ketua KPK telah mengatakan bahwa Boediono juga rakyat biasa, namun pada kenyataannya gigi KPK masih sulit mengunyah masalah ini karena Boediono saat ini masih terbungkus baju tebal Wakil Presiden.

Boediono memang telah diperiksa dua kali, itupun masih sebagai saksi. Dan kedua-duanya tidak dilakukan di kantor KPK seperti yang harus diberlakukan kepada para saksi ataupun tersangka kasus korupsi lainnya. Memang pemeriksaan di luar kantor KPK ini tidaklah terlalu masalah, tetapi tetap saja image publik mengarah bahwa masih terjadi diskriminasi dalam proses hukum di negeri ini. Saya tidak tahu, apakah KPK menerapkan taktik “pura-pura menunduk, tetapi menanduk” atau justru KPK hanya bagai kura-kura dalam perahu..?

Pemeriksaan pertama, Boediono telah diperiksa pada akhir April 2010. Kala itu, kasus Bank Century yang mengucurkan anggaran negara sebesar Rp 6,7 triliun itu masih dalam tahap penyelidikan. Dan pada awal Desember 2012, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Devisa Budi Mulya dan Deputi Guberur Bank Indonesia Bidang Pengawasan Bank Siti Chalimah Fadjrijah.

Di awal tahun 2010, DPR sebetulnya telah menjalankan tugasnya, membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bekerja keras selama tiga bulan untuk mengusut megaskandal yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi itu, Boediono dan termasuk mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kini memilih bekerja untuk Bank Dunia, serta pejabat negara lainnya.

Apalagi palu telah diketuk dalam rapat paripurna DPR, malam 3 Maret 2010 lalu. Saat itu, sebanyak 285 anggota (57 persen) DPR menyatakan bahwa bailout yang dikucurkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk Bank Century atas usul dari BI adalah MELANGGAR sejumlah aturan hukum. Sementara 212 anggota (43 persen) menyatakan hal sebaliknya.

Dan tentu saja Boediono merupakan figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan senilai Rp 6,7 triliun itu. Ia adalah pihak yang paling ngotot mengusulkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang secara ex officio dipimpin mantan Menteri Keuangan yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status baru kepada Bank Century, yakni “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.

Seperti dilansir teguhtimur.com. Usul dan sikap ngotot Boediono ini dipertontonkannya dalam rapat konsultasi, yang digelar mendahului Rapat KSSK menjelang tengah malam 20 November 2008. Di dalam rapat yang dihadiri oleh sejumlah pejabat otoritas keuangan Indonesia, Boediono meminta agar Bank Century yang beberapa saat sebelum itu, yakni dalam rapat terpisah di BI, ditetapkan sebagai “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” lalu secepat kilat bisa disepkati sebagai “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Jejak sikap ngotot Boediono dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan dalam rapat konsultasi dan dokumen resmi notulensi rapat konsultasi. Dan kedua dokumen ini beredar luas di masyarakat akhir tahun 2009 lalu.

Dalam dokumen setebal lima halaman itu disebutkan bahwa rapat yang dipimpin Ketua KSSK Menkeu Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, kalimat ditengarainya pun sudah hilang.

Setelah dibuka, Boediono diberi kesempatan untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi PT Bank Century Tbk. Kala itu Boediono menilai, selain harus dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, Bank Century juga perlu dibantu dengan dana segar sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal menjadi positif 8 persen.

Menyikapi presentasi Boediono, Sri Mulyani mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri Desember 2004 dari merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang sudah tidak bagus. Setelah itu, Sri Mulyani memberi kesempatan kepada peserta rapat yang lain untuk memberikan komentar atas saran Boediono.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI tersebut. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis.”

Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain, apalagi jika dikatakan akan menimbulkan efek domino. “Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”

Namun, Boediono tetap bertahan pada pendapatnya. Yang pada akhirnya, ia pun “memenangkan pertarungan”, karena di dalam Rapat KSSK yang digelar setelah rapat konsultasi dan berlangsung tertutup, Sri Mulyani akhirnya setuju untuk mengikuti saran Boediono.

Sejak skandal ini terbongkar, Boediono adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Benar, bahwa keputusan bailout keluar dari lembaga yang dipimpin Sri Mulyani. Tetapi, dengan asumsi bahwa keputuan KSSK itu didasarkan pada rekomendasi BI, maka dapat dipahami bila ada pihak yang mengatakan bahwa Boediono memberikan assessment yang salah yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah pula.

Ibarat kata: garbage in, garbage out. Semuanya sudah terjadi, lalu terciumlah kebusukan para perampok uang negara itu.

Sebelum terbentuknya Pansus Centurygate di DPR, Sri Mulyani sebetulnya sempat menyesal dan mengatakan bahwa dirinya merasa tertipu oleh presentasi Boediono. Dari situlah Boediono menjadi sasaran yang paling empuk. Kesalahannya sangat kentara “di kening” dan terang benderang.

Sejumlah informasi panas dan desakan dari Rizal Ramli selaku tokoh oposisi bersama Jusuf Kalla serta para ormas anti-korupsi lainnya, selama ini boleh dikata berhasil mendobrak dan mengajak KPK agar tidak segan-segan untuk segera menuntaskan masalah bail-out Bank Century tersebut.

Kita mulai dari perjuangan Rizal Ramli yang sangat gencar menyerukan agar masalah Bank Century tersebut segera dituntaskan. Rizal Ramli mengaku tidak ingin Masalah Bank Century terus dilarut-larutkan dari tahun ke tahun tanpa ujung yang jelas.

Selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), Rizal Ramli tak henti-hentinya meneriakkan bahwa kasus Century merupakan kejahatan yang motifnya bukan melulu uang seperti korupsi yang dilakukan sekelas kepala daerah (gubernur, atau bupati). Menurutnya, kasus Century adalah kejahatan kerah putih yang motifnya adalah kekuasaan.

“Boediono kan jelas, awalnya tidak masuk daftar satu dari sembilan cawapres yang sudah dilist SBY, tapi begitu sukses menggolkan ini (bailout Century) langsung jadi cawapres. Lalu motif Sri Mulyani apa? tentu jabatan menkeu baru lagi,” kata Rizal Ramli. Seperti dikutip batampos.co.id.

Rizal Ramli sangat yakin, Sri Mulyani dan Boediono termasuk sebagai pelaku aktif. Dia mencontohkan kasus Bank Bali. Yakni Sahril Sabirin dijerat hukum hingga kemudian divonis bersalah dalam kasus tersebut, padahal dia (Sahril) tidak menerima uang sepeser pun. Sama seperti Boediono dan Sri Mulyani, Sahril dijanjikan jabatan, bahwa kalau berhasil keluarkan (mencairkan) dana talangaan untuk Bank Bali, maka akan diangkat kembali jadi gubernur bank central.

Dalam berbagai kesempatan, Sri Mulyani berkali-kali berkelit dan mengatakan bahwa proses bailout sudah sesuai prosedur. Menurut Rizal Ramli, itu jawaban tipikal birokrat, berkilah telah sesuai prosedur. “Pertanyaan saya, prosedur yang mana, wong jelas-jelas DPR hanya menyetujui Rp 1,3 triliun, tidak ada UU atau kesepakatan dengan DPR untuk mengajukan lebih lanjut. Dan mereka lakukan ini (bail-out) secara sembunyi-sembunyi, baru ketahuan oleh publik setelah beberapa bulan kemudian. Padahal, kalau betul sesuai prosedur, ngapain disembunyikan?,” lontar Rizal Ramli.

Sejak kasus Century ini mencuat, tidak sedikit pula demo atau aksi unjuk rasa yang telah digelar oleh berbagai kalangan seperti para ormas anti-korupsi dan juga para mahasiswa aktivis. Mereka semuanya mendesak KPK agar segera menangkap pelakunya. “Boediono dan Sri Mulyani bertanggung-jawab kasus bailout Bank Century, mereka masih bebas berkeliaran di luar sana,” tandas orator yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia, saat berdemo di depan Gedung KPK, Senin (30/9/2013). Sepert dikutip skalanews.com.

Hal menarik yang harus jadi acuan bagi KPK sekaligus sebagai kunci pembuka tabir misteri masalah Bank Century tersebut justru berasal dari Jusuf Kalla (JK). Yakni JK mengaku sejak awal tidak pernah diberi laporan tentang kondisi seputar Bank Century.

JK menuturkan, kebijakan bailout Bank Century tidak wajar. Apalagi jika bailout dilakukan dengan dasar penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik hingga diberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Indikasinya adalah Bank Century pada 2008 hanya memerlukan suntikan dana sekitar Rp 630 miliar namun, diberikan BI Rp 2,5 triliun lalu menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun.

Selain itu, berdasarkan laporan yang dia (JK) terima dari Menkeu Sri Mulyani, rapat antara Menkeu dan Gubernur BI Boediono tidak menyimpulkan kalau Bank Century merupakan bank gagal berdampak sistemik yang dapat mengancam perekonomian Indonesia. Tetapi, tiba-tiba muncul kebijakan dari BI kepada Bank Century.

“Ibu Sri Mulyani, Pak Boediono sebagai gubernur dan menteri keuangan semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi kita Tapi, beberapa jam kemudian mereka rapat di Kementerian Keuangan dan subuh memutuskan adanya gagal sistemik satu bank yang membahayakan. Padahal sebenarnya itu tidak perlu,” katanya. Seperti dikutip suarapembaharuan.com.

Jusuf Kalla yang lebih dulu diperiksa sebagai saksi juga telah menyatakan hal tersebut kepada KPK. “Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono, dan beberapa menteri lain tidak menyebut ada krisis ekonomi. Semua sepakat dan menjelaskan tidak ada krisis. Aman,” kata JK.

Namun, kata JK, hanya berselang beberapa jam kemudian, Menkeu, Gubernur BI, dan sejumlah menteri menggelar rapat di Kantor Kemenkeu hingga subuh. Dalam rapat itu diputuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang harus diselamatkan agar tidak berimbas ke krisis ekonomi nasional.

Anehnya, pada pemeriksaan Boediono yang kedua kalinya, Sabtu (23 November 2013), Boediono malah menyatakan bahwa bailout Century adalah tindakan mulia untuk atasi krisis. Dan itu telah dilakukannya dengan tulus.

Boediono dalam konferensi persnya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, menyatakan yakin bailout Century adalah hal yang benar. “Saya telah melakukan tanggung jawab saya waktu itu sebagai Gubernur BI. Saya laksanakan itu dengan segala ketulusan hati untuk menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa,” kata dia. Seperti dikutip viva.co.id.

Artinya, Boediono sesungguhnya telah mengaku melakukan bailout kepada Bank Century, meski alasannya adalah karena ketika itu sedang terjadi krisis ekonomi.

Pernyataan Boediono ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan pernyataan JK. Tetapi bagaimana pun upaya Boediono untuk menyembunyikan sesuatu terhadap masalah ini, mata publik tetap mampu melihat adanya indikasi yang sangat jelas bahwa memang telah terjadi ketidakberesan atau kongkalikong antara Boediono, Sri Mulyani. Dan boleh jadi memang kongkalikong itu adalah untuk menyelamatkan sesuatu, dalam hal ini bukan untuk menyelamatkan Bank Century, tetapi boleh jadi lebih dominan adalah untuk menyelamatkan SBY agar dapat mengulang kesuksesannya sebagai penguasa untuk periode kedua.

Jika indikasi dan dugaan di atas benar sebagai upaya menyelamatkn SBY sebagai presiden periode kedua, maka ungkapan Rizal Ramli tidaklah meleset, bahwa jabatan Wapres yang dijabat oleh Boediono saat ini adalah merupakan bentuk gratifikasi karena telah berhasil melakukan sebuah “penyelamatan”.

Dan jika itu benar, maka Boediono seusai diperiksa kemarin harusnya sudah bisa menjadi “Kado” buat rakyat pada ultah ke-5 lahirnya kasus Bank Century 21 November 2008, yakni sebagai tersangka. Mampukah KPK..??? Kita tunggu hasilnya dalam waktu dekat ini...!!! Jika KPK tidak berani, maka lebih baik KPK yang jadi Kado Century, yakni bubarkan saja..!?! Rakyat capek nunggunya..!!!