(AMS, Artikel)
SEBELUM terjadi perombakan Kabinet Kerja Jilid 2, Warga DKI
Jakarta (terutama kalangan menengah ke bawah) masih “meraba-raba” siapa-siapa figur
yang layak mereka dukung untuk dipilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Namun sesaat setelah Jokowi mencopot Rizal Ramli pada
reshuffle Kabinet Jilid 2, maka sebagian besar warga DKI Jakarta pun berbondong-bondong
menyuarakan dukungannya kepada Rizal Ramli untuk dimajukan sebagai calon Gubernur
DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.
Mereka meyakini, bahwa hanya sosok Rizal Ramli yang paling
cocok memimpin DKI Jakarta. Sebab, sebagai ibukota negara, Jakarta punya masyarakat
multikultur yang terdiri banyak golongan, sehingga Rizal Ramli yang dianggap
sebagai “titisan” Gus Dur sebagai penganut pluralisme itupun tentu sangat layak dipilih
menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Pluralisme adalah sebuah kerangka atau keadaan masyarakat
majemuk (secara sosial dan politik) yang di dalamnya terdapat interaksi semua
kelompok yang mengutamakan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama
lain. Mereka hidup berdampingan secara damai (koeksistensi) tanpa menumpahkan
air-mata dan tanpa konflik asimilasi.
Sehingga itu kaum Pluralisme adalah kaum yang sangat tegas menolak praktik dan cara-cara penindasan di dalam seluruh lapisan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Sehingga itu kaum Pluralisme adalah kaum yang sangat tegas menolak praktik dan cara-cara penindasan di dalam seluruh lapisan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dan itulah yang menjelaskan mengapa Rizal Ramli di
mana saja kerap “berteriak” ketika melihat dan menemui indikasi “penindasan”. Bukankah korupsi, kolusi, nepotisme, pejabat kongkalikong, otoriter, dan lain sebagainya
adalah termasuk penindasan?
Sayangnya, “teriakan-teriakan” Rizal Ramli tersebut oleh
sejumlah pihak tertentu (bahkan termasuk pemerintahan Jokowi) memandang sebagai
sebuah kegaduhan, dan Rizal Ramli dituding tak mampu membahas persoalan itu di
dalam rapat kabinet.
Tapi apa mungkin orang sekelas Rizal Ramli yang telah pernah
menjadi Menko Perekonomian, juga Menteri Keuangan di era Gus Dur, dan pernah
menjadi penasehat ekonomi di badan dunia PBB, disebut tak bisa menempuh dan tak
mampu membahas persoalan di dalam rapat kabinet? Rasanya tak masuk akal jika
Rizal Ramli berteriak tanpa ada
apa-apanya (tanpa mencium adanya indikasi penyimpangan)!?!
Sampai itu, di mata sebagian besar rakyat memandang,
bahwa Rizal Ramli melakukan semua itu adalah semata agar pemerintahan ini tidak
dijalankan dengan warna penindasan apapun. Sebab, bukankah penindasan adalah
pula bagian dari penjajahan? Jika demikian, Rizal Ramli “berteriak” dan
melakukan perlawanan selama ini adalah tidak keliru, sebab itu semata demi
menegakkan UUD 1945.
Yakni, bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri-keadilan.
Penjajahan yang dimaksud tentu saja bukan hanya berupa
invasi militer seperti yang telah digencarkan oleh para kolonialis di zaman penjajahan
di masa silam. Tetapi untuk di masa kini penjajahan dan penindasan gaya baru,
seperti korupsi (KKN), pejabat kongkalikong, otoriter, dsb, juga sangat layak
untuk harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
peri-keadilan.
Namun sayang sejuta sayang, Rizal Ramli malah harus
dicopot di saat begitu getolnya memperjuangkan misi-visi
dan jatidiri PDIP sebagai partainya wong cilik, yakni dengan melakukan perlawanan
kepada “para penjajah” (kaum neoliberalisme, neokapitalisme, neofeodalisme)
yang telah banyak menggerogoti negeri ini dengan bercokol di dalam pemerintahan
saat ini.
Dan sangat boleh ditebak, bahwa sosok “penjajah” itu
adalah Jusuf Kalla (JK) yang kini sebagai wapres pendamping Jokowi.
Sebab, sejak Rizal Ramli ditarik masuk ke dalam lingkungan
kabinet, pergerakan kelompok perusahaan keluarga JK tiba-tiba menjadi tidak leluasa dan tidak
nyaman oleh “teriakan-teriakan” yang dilakukan oleh Rizal Ramli. Sampai-sampai JK
tak jarang memperlihatkan kemurkaannya terhadap Rizal Ramli.
Saking murkanya, JK pernah mengancam secara keras
Presiden Jokowi agar segera melakukan reshuffle kabinet jilid 2 dengan segera memberhentikan
dan mengeluarkan Rizal Ramli dari lingkungan pemerintahan. “Pilih saya atau dia
(Rizal Ramli),” lontar
JK seperti yang disampaikan oleh orang dekat JK.
Dan hebatnya, JK kemudian mengajukan nama mantan Cawapres-nya (Wiranto) yang pernah mendampinginya pada Pilpres 2009, sebagai pengganti Rizal Ramli. Hebat, bukan...???
Wahh.... Jangan-jangan JK pula yang memerintahkan
Hanura, Golkar dan Nasdem untuk mengusung Ahok sebagai Cagub DKI...???
Jika demikian, boleh jadi sejak awal JK memang telah membangun
persekongkolan “gelap” dengan pihak pengembang (kapitalis) untuk “menindas” (menguasai)
negeri ini?
Jika memang demikian, maka tak keliru rasanya di
awal-awal sebelum Pilpres 2014
saya (pernah) menuliskan artikel dugaan adanya bandar
politik dari “grup Taipan” yang siap menyodorkan Rp. 2 Triliun kepada Jokowi asalkan
menjadikan JK sebagai Cawapres pada Pilpres 2014???
Kalau saja semua itu benar, maka pantas saja Jokowi
sebagai presiden (sang kepala negara itu) mau-maunya “tunduk” pada kehendak serta
“selera” seorang wapres dan seorang gubernur untuk melengserkan Rizal Ramli, yakni
dengan mengangkat satu alasan karena kerap bikin gaduh.
Sekiranya demikian, maka sungguh rezim ini lebih kejam
dari rezim Orde Baru. Di mana rasa-rasanya rezim Orde Baru masih mampu
memberikan “sepotong kecil daging” kepada rakyatnya.
Namun pada rezim ini di saat sosok seperti Rizal Ramli
sedang gesitnya berjuangkan untuk rakyat agar bisa mendapatkan “setumpuk daging”
yang menjadi haknya sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini, malah dicopot
begitu saja.
Dan semua penggambaran di atas seolah-olah menerangkan,
bahwa rezim ini memaksa rakyat untuk hanya berebut “tulang” setelah dagingnya
sudah dilahap lebih dulu oleh “para penjajah dan para mafia” yang kini masih
bercokol di dalam pemerintahan saat ini.
Tentang rakyat yang hanya dipaksa berebut “tulang” sepertinya
akan masih berlanjut pasca dicopotnya Rizal Ramli.
Yakni, ketika parpol-parpol lebih tertarik “berebut daging” dengan hanya ingin mengusung figur-figur yang berkantong tebal, lalu menutup telinga terhadap suara dan aspirasi sebagian besar warga DKI Jakarta yang murni menghendaki Rizal Ramli maju pada Pilkada DKI 2017.
Yakni, ketika parpol-parpol lebih tertarik “berebut daging” dengan hanya ingin mengusung figur-figur yang berkantong tebal, lalu menutup telinga terhadap suara dan aspirasi sebagian besar warga DKI Jakarta yang murni menghendaki Rizal Ramli maju pada Pilkada DKI 2017.
Dan di saat sebagian besar warga DKI Jakarta meyakini Rizal
Ramli adalah satu-satunya sosok pesaing kuat bagi Cagub petahana; juga
di saat sebagian besar warga DKI percaya bahwa Rizal Ramli adalah sosok Pluralisme
yang sangat tepat memimpin Jakarta yang multikultur ini, namun di belakangan parpol-parpol kemudian hanya mengusung figur lain yang lebih mampu menyediakan
“seonggok daging”, maka sekali lagi rakyat di saat itu lagi-lagi kembali hanya dipaksa untuk berebut tulang.
Kekuatiran itu boleh saja terjadi, sebab tidak menutup kemungkinan para cukong dan bandar politik kembali siap menggelontorkan dana jumbo kepada parpol-parpol yang ada untuk tidak menerima dan mengusung Rizal Ramli sebagai Calon Gubernur demi memuluskan kemenangan cagub petahana. RAKYAT JANGAN MAU!!!
Kekuatiran itu boleh saja terjadi, sebab tidak menutup kemungkinan para cukong dan bandar politik kembali siap menggelontorkan dana jumbo kepada parpol-parpol yang ada untuk tidak menerima dan mengusung Rizal Ramli sebagai Calon Gubernur demi memuluskan kemenangan cagub petahana. RAKYAT JANGAN MAU!!!
-----
Salam
Pergerakan Perubahan!!!