Saturday, 13 August 2016

Kisah "Petualangan Ahok Berburu" Jabatan dan Kekuasaan

(Ilustrasi)

(AMS, Artikel)
SEJAUH ini, tentu masih banyak yang belum tahu sejarah atau perjalanan politik seorang Ahok dari awal dalam “memburu” kekuasaan hingga berhasil “menjelma” seperti sekarang. Berikut ini adalah kisahnya:

Ahok mulai muncul di panggung politik ketika berhasil menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur (2004-2009) dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB).

Dari situ, ia melihat sebuah kesempatan dari perubahan situasi politik yang tersedia saat itu, yakni untuk pertama kalinya pemilihan kepada daerah dilakukan secara langsung, Ahok pun mulai membangun ambisinya dengan melepaskan jabatannya sebagai anggota dewan demi menduduki kekuasaan eksekutif, ia pun maju sebagai calon Bupati Belitung Timur dengan dukungan PPIB, PNBK dan beberapa partai gurem lainnya.

Ahok akhirnya terpilih sebagai Bupati Belitung periode 2005-2010 bersama wakilnya Khairul Efendi dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).

Kemenangan Ahok ketika itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang luar biasa, sebab memang momentum pilkada langsung membuka kesempatan yang sama bagi siapapun yang didukung partai politik untuk berlaga. Terlebih lagi kala itu masyarakat memang mengalami situasi “kejenuhan” terhadap para parpol “senior”.

Sehingga kemunculan figur-figur baru ketika itu dapat dianggap sebagai “manusia setengah dewa” dalam kancah politik, sekaligus seolah menjadi jawaban atas kegelisahan publik.

Situasi seperti itu nampaknya yang juga “menyokong” munculnya sosok Jokowi yang dinilai fenomenal. Dan memang Jokowi untuk pertama kalinya muncul di dunia politik juga setelah terpilih sebagai Walikota Solo pada 2005 silam.

Tetapi tentu, Ahok dan Jokowi adalah dua karakter yang memiliki “sejarah perburuan” kekuasaan yang berbeda. Artinya, Jokowi yang terpilih sebagai Walikota Solo masih sempat menghabiskan periode pertamanya (2005-2010). Dan pada periode keduanya, Jokowi sulit menghindar dari desakan dan hiruk-pikuk “politik” yang akhirnya harus naik “kelas”. Dan itu tidak dialami oleh Ahok.

Sejak terpilih sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, Ahok merasa bahwa popularitasnya yang terdongkrak harus dimanfaatkan untuk jabatan politik yang lebih tinggi. Ahok pun “tega” meninggalkan posisinya sebagai bupati pada Desember 2006 demi “memburu” kedudukan” yang lebih tinggi, yakni mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Bangka Belitung pada Pilgub 2007.

Keputusan Ahok untuk maju sebagai Gubernur Bangka Belitung pada 2006 dinilai hanya dilandasi oleh penilaian pribadinya, bahwa selama menjabat sebagai Bupati Belitung Timur ia “merasa” telah berhasil dan harus ditularkan ke wilayah yang lebih besar.

Namun apa yang terjadi? Ahok kalah dan “tersungkur” dalam Pilgub Bangka Belitung 2007 tersebut. Ia nampaknya kecewa berat dan frustrasi. Dan entah dengan pertimbangan apa, Ahok kemudian menyatakan diri untuk mundur dari dunia politik.

Rasa frustrasi itu ia wujudkan dengan menyampaikan pesan kepada Bu Kartini Syahrir (istri Pendiri Partai Perhimpunan Indonesia Baru, kendaraan politik pertama yang paling berjasa yang ditumpangi Ahok).

Kepada Bu Kartini Syahrir, (mungkin dengan wajah yang amat kecewa) Ahok berkata,“saya ingin mundur dari dunia politik, Bu. Saya ingin menjadi pendeta saja, yang tidak terbebani dosa tapi dapat membantu rakyat kecil”.

Tetapi nyatanya,  lain di bibir lain pula di hati. Menurut berbagai sumber, niat Ahok mundur dari politik itu ternyata hanya kamuflase semata. Alasan Ahok keluar dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (partai yang telah “menghidupinya” itu) tidak lain karena Ahok merasa bahwa partai tersebut sudah tidak layak untuk dijadikan kendaraan politik berikutnya.

Fakta ini kemudian terbukti ketika Ahok kemudian tiba-tiba nongol menjadi  anggota Partai Golkar hanya untuk maju sebagai calon anggota DPR-RI pada Pemilu 2009.

Terpilih sebagai anggota DPR-RI 2009-2014 dari Partai Golkar, tidak membuat Ahok berhenti “berpetualangan” di dunia politik.

Dengan memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR-RI tersebut, Ahok pun mengincar jabatan eksekutif seperti ketika ia menjadi anggota DPRD Belitung Timur (2004-2009). Dari situ, Ahok kemudian “nekat” mencalonkan diri sebagai Cagub DKI pada 2012 melalui jalur Indepeden, tapi gagal.

Sadar bahwa dirinya gagal menempuh jalur Independen untuk Pilgub DKI Jakarta 2012, Ahok pun “tergopoh-gopoh” meninggalkan Partai Golkar lalu loncat masuk ke Partai Gerindra.

Bermodal latar belakang dari kelompok minoritas sebagai dalih untuk memiliki hak dan kesempatan yang sama di dunia politik, ia pun mencoba membujuk Prabowo Subianto, sang Ketua Umum Partai Gerindra.

Prabowo Subianto yang selama ini dicap sebagai sosok yang anti terhadap Tionghoa dan memiliki dosa sejarah dalam prahara 1997/1998, nyatanya dengan sukarela menyokong Ahok untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.

“Jurus” Ahok pada Pilgub DKI 2012 sepertinya beda-beda tipis dengan “jurus” yang ditampilkan pada saat ini, di mana pada Pilgub kali ini (2017) Ahok juga menyatakan ingin maju melalui jalur independen, tetapi nyatanya Ahok malah “menendang” Gerindra dan kembali “balik kanan” ke Partai Golkar yang juga pernah ia campakkan.

Pada Pilgub DKI 2012 itu, Prabowo sebenarnya amat senang dan siap all-out untuk memajukan Ahok dalam pertarungan Pilgub 2012.

Boleh jadi Prabowo merasa, bahwa dengan kesuksesan Ahok dalam Pilkada 2012, Partai Gerindra bisa kembali berkibar untuk menopang langkahnya (Prabowo) untuk maju sebagai Capres di 2019. Apalagi saat itu Prabowo memang telah berhasil membujuk Megawati Soekarnoputri untuk mencalonkan Jokowi sebagai Cagub DKI. Prabowo merasa yakin mampu menjadi sosok “King Maker” dengan keberhasilannya menyatukan kekuatan politik nasionalis PDI Perjuangan dalam kendali politiknya.

Namun saat ini fakta berkata lain. Prabowo yang telah berjasa dalam pencalonan Ahok di Pilkada DKI 2012, akhirnya dikhianati oleh Ahok. Saat Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra dan gabungan parpol mencalonkan dirinya sebagai Capres di 2014, Ahok nyatanya tak banyak memberikan dukungan politik buat kesuksesan Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.

Bagi Prabowo, kekalahan dalam Pilpres 2014 tentu adalah sesuatu hal wajar dalam sebuah pertarungan. Namun Prabowo sebagai seorang militer, tentu merasa amat murka ketika mengetahui Ahok yang pernah ia dukung secara total sejak 2012 nyatanya adalah seorang pengkhianat.

Ya.. Prabowo merasa dikhianati dan dilecehkan oleh Ahok karena Ahok menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra tanpa menghadap dan menyampaikan secara langsung kepada Prabowo sebagai Ketum Partai GERINDRA.

Bukan cuma itu, Prabowo merasa bagai ditampar sangat keras. Sebab ia telah berkorban banyak dan harus pasang badan di hadapan tokoh dan elit Gerindra yang ketika itu menolak pencolanan Ahok di Pilkada DKI 2012. Informasi yang beredar, pencalonan Ahok sebagai Cawagub Jokowi pada Pilkada DKI 2012 silam itu, Prabowo harus menggelontorkan kocek lebih dari Rp. 80 Milyar.

Prabowo bahkan harus bersitegang dengan adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, yang pernah dilecehkan AHOK sebagai pengemplang pajak saat Ahok kampanye sebagai cagub DKI dari jalur Independen 2012 di wilayah Jakarta Utara.

Dan kini, harapan-harapan yang telah dibangun Prabowo kepada Ahok itupun hancur berkeping-keping, dan diluluh-lantakkan oleh Ahok sendiri setelah berhasil menduduki jabatan selaku Gubernur “estafet” dari tangan Jokowi yang terpilih sebagai Presiden RI 2014.

Bahkan dengan bangganya, Ahok menyatakan bahwa dirinya memang bagian dari sejarah Golkar. Ahok menyebutkan, bahwa dirinya masih menyimpan foto diri dan orangtuanya yang menjadi tokoh Golkar di tempat kelahirannya. Parahnya, di saat hampir bersamaan, Ahok dengan tidak tanggung-tanggung malah menuding kader Partai Gerindra tidak memiliki kesantunan. Whattt....???

Sisi lain yang dapat dinilai sebagai sisi kelicikan Ahok adalah ketika dirinya diterpa berbagai dugaan kasus korupsi, Ahok malah seolah berlindung di balik Presiden Jokowi yang membawanya menjadi Gubernur DKI. Tak jarang Ahok selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, selalu “menyeret-nyeret” nama Jokowi ketika menghadapi berbagai kasus terkait dirinya.

Sebut saja, misalnya, kasus Reklamasi. Ahok tidak segan-segan menyeret nama Presiden Jokowi ke dalam pusaran kasusnya tersebut.

Saat kasus korupsi reklamasi itu mencuat dan merasa dirinya telah tersudut, Ahok secara terang-terangan menyebutkan bahwa keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI adalah karena dukungan para pengembang/ investor yang diuntungkan oleh kebijakan Jokowi saat menjadi Gubernur. Sungguh keterlaluan!!!

Nah, apakah sekarang propaganda Ahok masih bisa dipercaya bukan sebuah manuver licik yang sangat bernafsu untuk memburu kekuasaan? Juga saat ini adakah yang bisa menyakinkan bahwa Golkar, Nasdem, dan Hanura mengusung Ahok tanpa ada “mahar” politik, sementara diketahui untuk ingin maju menjadi  calon ketua umum Golkar saja dimintai “mahar” Rp. 1 Miliar?

Terlepas dari itu, kiranya gugatan dari keluarga Bung Hatta atas penghargaan Tokoh Anti Korupsi terhadap Ahok cukup menjadi bukti pencitraannya.

Dari deretan fakta yang mengikuti jejak perjalanan politik Ahok, warga tentunya patut mewaspadai secara jeli manuver demi manuver yang sedang dimainkan oleh Ahok yang sangat nampak sebagai “pemburu” kekuasaan tersebut.

Kewaspadaan itu sangat perlu, terlebih Presiden Jokowi yang saat ini sedang fokus membangun Indonesia sentris bersama kekuatan perubahan di tubuh PDI Perjuangan.

Sebagai publik yang kritis dan rindu perubahan sesuai misi-visi Presiden Jokowi untuk mewujudkan daulat rakyat, tentunya kita harus terus mengingatkan Ibu Megawati Soekarnoputri yang nampaknya sedang disasar oleh Ahok dan barisan kekuatan pragmatisnya.

Bukan tidak mungkin, cara-cara pragmatisme politik yang sedang dimainkan oleh Ahok beserta barisannya itu akan mengulang kisah tragis PDI-Perjuangan yang menjadi partai pemenang Pemilu seperti era 1999-2004: memenangkan pemilu tapi tak diberi kesempatan memenangkan ideologi kerakyatan.

Dan bukan tidak mungkin pula, jika Ahok nantinya berhasil menduduki jabatan Gubernur pada Pilkada DKI 2017, Ahok akan mengkhianati PDI Perjuangan di 2019 nanti seperti yang kini dialami oleh Gerindra. Hmmm...??
-----
(Sumber referensi: Kompasianer “Rembulan Pagi)