(Ilustrasi) |
(AMS, Artikel)
SEJAUH ini, tentu masih banyak yang belum tahu sejarah
atau perjalanan politik seorang Ahok dari awal dalam “memburu” kekuasaan hingga
berhasil “menjelma” seperti sekarang. Berikut ini adalah kisahnya:
Ahok mulai muncul di panggung politik ketika berhasil menjadi
anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur (2004-2009) dari Partai Perhimpunan
Indonesia Baru (PPIB).
Dari situ, ia melihat sebuah kesempatan dari perubahan
situasi politik yang tersedia saat itu, yakni untuk pertama kalinya pemilihan
kepada daerah dilakukan secara langsung, Ahok pun mulai membangun ambisinya dengan
melepaskan jabatannya sebagai anggota dewan demi menduduki kekuasaan eksekutif, ia
pun maju sebagai calon Bupati Belitung Timur dengan dukungan PPIB, PNBK dan
beberapa partai gurem lainnya.
Ahok akhirnya terpilih sebagai Bupati Belitung periode
2005-2010 bersama wakilnya Khairul Efendi dari Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (PNBK).
Kemenangan Ahok ketika itu sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang luar biasa, sebab memang momentum pilkada langsung membuka
kesempatan yang sama bagi siapapun yang didukung partai politik untuk berlaga. Terlebih
lagi kala itu masyarakat memang mengalami situasi “kejenuhan” terhadap para
parpol “senior”.
Sehingga kemunculan figur-figur baru ketika itu dapat
dianggap sebagai “manusia setengah dewa” dalam kancah politik, sekaligus seolah
menjadi jawaban atas kegelisahan publik.
Situasi seperti itu nampaknya yang juga “menyokong”
munculnya sosok Jokowi yang dinilai fenomenal. Dan memang Jokowi untuk pertama
kalinya muncul di dunia politik juga setelah terpilih sebagai Walikota Solo
pada 2005 silam.
Tetapi tentu, Ahok dan Jokowi adalah dua karakter yang
memiliki “sejarah perburuan” kekuasaan yang berbeda. Artinya, Jokowi yang
terpilih sebagai Walikota Solo masih sempat menghabiskan periode pertamanya (2005-2010).
Dan pada periode keduanya, Jokowi sulit menghindar dari desakan dan hiruk-pikuk
“politik” yang akhirnya harus naik “kelas”. Dan itu tidak dialami oleh Ahok.
Sejak terpilih sebagai Bupati Belitung Timur periode
2005-2010, Ahok merasa bahwa popularitasnya yang terdongkrak harus dimanfaatkan
untuk jabatan politik yang lebih tinggi. Ahok pun “tega” meninggalkan posisinya
sebagai bupati pada Desember 2006 demi “memburu” kedudukan” yang lebih tinggi,
yakni mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Bangka Belitung pada Pilgub 2007.
Keputusan Ahok untuk maju sebagai Gubernur Bangka
Belitung pada 2006 dinilai hanya dilandasi oleh penilaian pribadinya, bahwa
selama menjabat sebagai Bupati Belitung Timur ia “merasa” telah berhasil dan
harus ditularkan ke wilayah yang lebih besar.
Namun apa yang terjadi? Ahok kalah dan “tersungkur” dalam
Pilgub Bangka Belitung 2007 tersebut. Ia nampaknya kecewa berat dan frustrasi. Dan
entah dengan pertimbangan apa, Ahok kemudian menyatakan diri untuk mundur dari
dunia politik.
Rasa frustrasi itu ia wujudkan dengan menyampaikan
pesan kepada Bu Kartini Syahrir (istri Pendiri Partai Perhimpunan Indonesia
Baru, kendaraan politik pertama yang paling berjasa yang ditumpangi Ahok).
Kepada Bu Kartini Syahrir, (mungkin dengan wajah yang amat
kecewa) Ahok berkata,“saya ingin mundur
dari dunia politik, Bu. Saya ingin menjadi pendeta saja, yang tidak terbebani
dosa tapi dapat membantu rakyat kecil”.
Tetapi nyatanya, lain di bibir lain pula di hati. Menurut
berbagai sumber, niat Ahok mundur dari politik itu ternyata hanya kamuflase
semata. Alasan Ahok keluar dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (partai yang
telah “menghidupinya” itu) tidak lain karena Ahok merasa bahwa partai tersebut
sudah tidak layak untuk dijadikan kendaraan politik berikutnya.
Fakta ini kemudian terbukti ketika Ahok kemudian tiba-tiba
nongol menjadi anggota Partai Golkar hanya untuk maju sebagai calon anggota DPR-RI
pada Pemilu 2009.
Terpilih sebagai anggota DPR-RI 2009-2014 dari Partai
Golkar, tidak membuat Ahok berhenti “berpetualangan” di dunia politik.
Dengan memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR-RI
tersebut, Ahok pun mengincar jabatan eksekutif seperti ketika ia menjadi
anggota DPRD Belitung Timur (2004-2009). Dari situ, Ahok kemudian “nekat” mencalonkan
diri sebagai Cagub DKI pada 2012 melalui jalur Indepeden, tapi gagal.
Sadar bahwa dirinya gagal menempuh jalur Independen untuk
Pilgub DKI Jakarta 2012, Ahok pun “tergopoh-gopoh” meninggalkan Partai Golkar
lalu loncat masuk ke Partai Gerindra.
Bermodal latar belakang dari kelompok minoritas
sebagai dalih untuk memiliki hak dan kesempatan yang sama di dunia politik, ia pun
mencoba membujuk Prabowo Subianto, sang Ketua Umum Partai Gerindra.
Prabowo Subianto yang selama ini dicap sebagai sosok
yang anti terhadap Tionghoa dan memiliki dosa sejarah dalam prahara 1997/1998,
nyatanya dengan sukarela menyokong Ahok untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
“Jurus” Ahok pada Pilgub DKI 2012 sepertinya beda-beda
tipis dengan “jurus” yang ditampilkan pada saat ini, di mana pada Pilgub kali
ini (2017) Ahok juga menyatakan ingin maju melalui jalur independen, tetapi
nyatanya Ahok malah “menendang” Gerindra dan kembali “balik kanan” ke Partai
Golkar yang juga pernah ia campakkan.
Pada Pilgub DKI 2012 itu, Prabowo sebenarnya amat senang
dan siap all-out untuk memajukan Ahok
dalam pertarungan Pilgub 2012.
Boleh jadi Prabowo merasa, bahwa dengan kesuksesan Ahok
dalam Pilkada 2012, Partai Gerindra bisa kembali berkibar untuk menopang
langkahnya (Prabowo) untuk maju sebagai Capres di 2019. Apalagi saat itu
Prabowo memang telah berhasil membujuk Megawati Soekarnoputri untuk mencalonkan
Jokowi sebagai Cagub DKI. Prabowo merasa yakin mampu menjadi sosok “King Maker”
dengan keberhasilannya menyatukan kekuatan politik nasionalis PDI Perjuangan
dalam kendali politiknya.
Namun saat ini fakta berkata lain. Prabowo yang telah
berjasa dalam pencalonan Ahok di Pilkada DKI 2012, akhirnya dikhianati oleh Ahok.
Saat Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra dan gabungan parpol mencalonkan
dirinya sebagai Capres di 2014, Ahok nyatanya tak banyak memberikan dukungan
politik buat kesuksesan Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.
Bagi Prabowo, kekalahan dalam Pilpres 2014 tentu adalah
sesuatu hal wajar dalam sebuah pertarungan. Namun Prabowo sebagai seorang
militer, tentu merasa amat murka ketika mengetahui Ahok yang pernah ia dukung
secara total sejak 2012 nyatanya adalah seorang pengkhianat.
Ya.. Prabowo merasa dikhianati dan dilecehkan oleh Ahok
karena Ahok menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra tanpa menghadap dan menyampaikan
secara langsung kepada Prabowo sebagai Ketum Partai GERINDRA.
Bukan cuma itu, Prabowo merasa bagai ditampar sangat keras.
Sebab ia telah berkorban banyak dan harus pasang badan di hadapan tokoh dan
elit Gerindra yang ketika itu menolak pencolanan Ahok di Pilkada DKI 2012. Informasi
yang beredar, pencalonan Ahok sebagai Cawagub Jokowi pada Pilkada DKI 2012 silam
itu, Prabowo harus menggelontorkan kocek lebih dari Rp. 80 Milyar.
Prabowo bahkan harus bersitegang dengan adiknya,
Hasyim Djojohadikusumo, yang pernah dilecehkan AHOK sebagai pengemplang pajak
saat Ahok kampanye sebagai cagub DKI dari jalur Independen 2012 di wilayah
Jakarta Utara.
Dan kini, harapan-harapan yang telah dibangun Prabowo kepada
Ahok itupun hancur berkeping-keping, dan diluluh-lantakkan oleh Ahok sendiri
setelah berhasil menduduki jabatan selaku Gubernur “estafet” dari tangan Jokowi
yang terpilih sebagai Presiden RI 2014.
Bahkan dengan bangganya, Ahok menyatakan bahwa dirinya
memang bagian dari sejarah Golkar. Ahok menyebutkan, bahwa dirinya masih
menyimpan foto diri dan orangtuanya yang menjadi tokoh Golkar di tempat kelahirannya.
Parahnya, di saat hampir bersamaan, Ahok dengan tidak tanggung-tanggung malah menuding
kader Partai Gerindra tidak memiliki kesantunan. Whattt....???
Sisi lain yang dapat dinilai sebagai sisi kelicikan
Ahok adalah ketika dirinya diterpa berbagai dugaan kasus korupsi, Ahok malah seolah
berlindung di balik Presiden Jokowi yang membawanya menjadi Gubernur DKI. Tak
jarang Ahok selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, selalu “menyeret-nyeret” nama
Jokowi ketika menghadapi berbagai kasus terkait dirinya.
Sebut saja, misalnya, kasus Reklamasi. Ahok tidak
segan-segan menyeret nama Presiden Jokowi ke dalam pusaran kasusnya tersebut.
Saat kasus korupsi reklamasi itu mencuat dan merasa
dirinya telah tersudut, Ahok secara terang-terangan menyebutkan bahwa
keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI adalah karena dukungan para pengembang/
investor yang diuntungkan oleh kebijakan Jokowi saat menjadi Gubernur. Sungguh
keterlaluan!!!
Nah, apakah sekarang propaganda Ahok masih bisa dipercaya
bukan sebuah manuver licik yang sangat bernafsu untuk memburu kekuasaan? Juga saat
ini adakah yang bisa menyakinkan bahwa Golkar, Nasdem, dan Hanura mengusung
Ahok tanpa ada “mahar” politik, sementara diketahui untuk ingin maju menjadi calon ketua umum Golkar saja dimintai “mahar”
Rp. 1 Miliar?
Terlepas dari itu, kiranya gugatan dari keluarga Bung
Hatta atas penghargaan Tokoh Anti Korupsi terhadap Ahok cukup menjadi bukti
pencitraannya.
Dari deretan fakta yang mengikuti jejak perjalanan politik
Ahok, warga tentunya patut mewaspadai secara jeli manuver demi manuver yang sedang
dimainkan oleh Ahok yang sangat nampak sebagai “pemburu” kekuasaan tersebut.
Kewaspadaan itu sangat perlu, terlebih Presiden Jokowi
yang saat ini sedang fokus membangun Indonesia sentris bersama kekuatan
perubahan di tubuh PDI Perjuangan.
Sebagai publik yang kritis dan rindu perubahan sesuai misi-visi
Presiden Jokowi untuk mewujudkan daulat rakyat, tentunya kita harus terus mengingatkan
Ibu Megawati Soekarnoputri yang nampaknya sedang disasar oleh Ahok dan barisan
kekuatan pragmatisnya.
Bukan tidak mungkin, cara-cara pragmatisme politik
yang sedang dimainkan oleh Ahok beserta barisannya itu akan mengulang kisah
tragis PDI-Perjuangan yang menjadi partai pemenang Pemilu seperti era 1999-2004:
memenangkan pemilu tapi tak diberi kesempatan memenangkan ideologi kerakyatan.
Dan bukan tidak mungkin pula, jika Ahok nantinya
berhasil menduduki jabatan Gubernur pada Pilkada DKI 2017, Ahok akan
mengkhianati PDI Perjuangan di 2019 nanti seperti yang kini dialami oleh
Gerindra. Hmmm...??
-----
(Sumber referensi: Kompasianer
“Rembulan Pagi”)