(AMS, Artikel)
MESKI kemunculannya di
bursa calon Gubernur DKI Jakarta sudah di jelang detik-detik terakhir, namun
nama Rizal Ramli hingga saat ini masih terus disuarakan serta makin menggema di
seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan gelombang aspirasi dan dukungan pun terus berdatangan
dari bawah secara nyaring dan terang benderang. Selain meminta Rizal Ramli agar
segera maju bertarung pada Pilkada DKI Jakarta, mereka juga meminta
parpol-parpol agar dapat membuktikan diri sebagai “pihak yang pro-rakyat”
dengan segera mengusung Rizal Ramli sebagai cagub DKI yang muncul secara murni
dari kalangan bawah.
Mereka yakin, Rizal Ramli adalah tokoh kerakyatan yang
selama ini amat dinanti-nantikan, sehingga paling cocok memimpin DKI Jakarta yang
memiliki masyarakat multikultur dari berbagai golongan.
Apalagi memang diketahui, bahwa sepanjang “perjalanan”
Rizal Ramli sejak dulu sebagai mahasiswa aktivis pergerakan hingga menjadi
seorang tokoh Nasional tidaklah dilalui dengan cara-cara curang.
Bahkan tak ada sedikitpun sejarah Rizal Ramli menyakiti
apalagi mengkhianati rakyat, yang ada justru sejarah panjang tentang diri Rizal
Ramli yang rela berkorban (pernah dipenjara) dan rela mempertaruhkan jabatannya
demi membela hak-hak rakyat tertindas. Dan semua itu sangat konsisten ditunaikan
oleh Rizal Ramli, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Tentang dukungan sebagian besar warga DKI Jakarta
begitu sangat tinggi terhadap Rizal Ramli, sebab sangat jelas tergambar sebuah “pemandangan”
yang sama namun berbeda rasa.
Yaitu, Ahok dan Rizal Ramli sama-sama membuat warga menumpahkan
air mata. Bedanya, ada pada rasa. Yakni, warga DKI Jakarta banyak menumpahkan
air mata karena telah digusur dengan paksa oleh Ahok dan dinilai dilakukan secara
membabi buta.
Sedangkan warga DKI Jakarta (bahkan sebagian besar
rakyat Indonesia) harus menangis terharu, yakni karena Rizal Ramli dicopot
di saat sedang sengitnya membela rakyat (bangsa dan negara) yang tertindas akibat (salah satunya) proyek reklamasi yang ingin dimuluskan oleh Ahok secara ambisius.
Dari situ, sebagian besar rakyat pun melihat, bahwa
Ahok bukan pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat, tetapi hanya mampu
mengayomi pengembang dan para kaum kapitalis.
Sehingganya, untuk momen Pilkada ini, hati rakyat pun tergerak
memberikan aspirasi dan dukungnya kepada Rizal Ramli secara sukarela dan murni.
Mereka yakin pencopotan Rizal Ramli adalah justru sebuah hikmah untuk menyelamatkan
DKI Jakarta dari belenggu penindasan yang dipraktikkan oleh Ahok.
Hingga kini pun publik (terutama para parpol) bisa
menyaksikan secara transparan aspirasi buat Rizal Ramli yang datang dari
berbagai elemen dan lapisan masyarakat secara bergelombang tanpa rekayasa.
Artinya, jika yang lain (seperti Ahok) pernah sesumbar
menyebut dukungannya sudah mencapai 1 jutaan KTP ketika menyatakan ingin maju
pada jalur independen, namun hingga saat ini belum dapat dibuktikan.
Dan itu sangat berbeda dengan Rizal Ramli yang meski
baru muncul di bursa cagub, namun ia tak pernah sesumbar Ahok, tetapi fakta
menunjukkan dukungan rakyat benar-benar murni dan transparan buat Rizal Ramli.
Silakan diverifikasi (dibuktikan) atau ditengok sendiri.
Dukungan dan aspirasi tersebut, selain berasal dari berbagai
elemen masyarakat (tokoh pergerakan dan aktivis, seniman, budayawan, tokoh
perempuan dan pemuda, nelayan, beserta komunitas-komunitas warga lainnya), juga ada
kaum buruh yang hingga kini telah berhasil memperoleh ribuan tanda tangan melalui
penggalangan dukungan.
Dukungan dan aspirasi tersebut bukan dimaksudkan agar
Rizal Ramli maju pada jalur independen yang batas waktunya memang telah habis,
melainkan adalah untuk diperlihatkan secara langsung di hadapan parpol-parpol,
bahwa dukungan kepada Rizal Ramli adalah murni dan nyata serta transparan dari
rakyat bawah, “bukan sulap dan bukan pula tipu-tipu”.
Dan tentu saja publik (rakyat) hingga kini pun sudah pasti terus memantau “arah” pergerakan parpol di panggung politik jelang Pilkada ini. Dan apabila kehendak serta suara rakyat bawah (terutama yang tertindas) kemudian bertolak belakang dengan selera parpol, maka di situlah kebusukan sebuah parpol terlihat secara nyata.
Dan yang perlu dicatat, bahwa apabila parpol-parpol menentukan “mahar” sebagai syarat untuk mendapat “tiket” maju sebagai calon, maka bisa dipastikan Rizal Ramli tidak bakalan memaksakan maju. Sebab, itu sama saja memperjual-belikan idealisme-nya dan juga mengomersialisasikan aspirasi rakyat.
Dan tentu saja publik (rakyat) hingga kini pun sudah pasti terus memantau “arah” pergerakan parpol di panggung politik jelang Pilkada ini. Dan apabila kehendak serta suara rakyat bawah (terutama yang tertindas) kemudian bertolak belakang dengan selera parpol, maka di situlah kebusukan sebuah parpol terlihat secara nyata.
Dan yang perlu dicatat, bahwa apabila parpol-parpol menentukan “mahar” sebagai syarat untuk mendapat “tiket” maju sebagai calon, maka bisa dipastikan Rizal Ramli tidak bakalan memaksakan maju. Sebab, itu sama saja memperjual-belikan idealisme-nya dan juga mengomersialisasikan aspirasi rakyat.