(AMS, Artikel)
RIZAL RAMLI dicopot dari jabatannya karena dinilai kerap
melakukan kegaduhan di dalam kabinet. Padahal publik sangat paham “warna”
kegaduhan seperti apa yang dilakukan oleh Rizal Ramli selama di dalam Kabinet
Kerja.
Yakni, tidak lain dan tidak bukan Rizal Ramli banyak
“berkicau”, karena ia melihat begitu banyak yang tidak beres (keganjilan serta
keanehan) yang tengah “digiatkan oleh kubu tertentu” dalam menggerogoti
cita-cita Trisakti di dalam kabinet (pemerintahan).
Disebut menggerogoti, karena di satu sisi hanya
menguntungkan kubu atau kelompok tertentu itu saja, namun di sisi lainnya bisa
menimbulkan kerugian besar bagi bangsa dan negara.
Dan itulah semua yang membuat Rizal Ramli tak ingin
berhenti berteriak sekencang-kencangnya. Selain bertujuan agar rakyat bisa tahu
tentang adanya kegiatan “gelap” yang cenderung digiatkan oleh kubu tertentu di
dalam pemerintahan, juga diharapkan agar “kelompok” yang bersangkutan bisa
segera menghentikan “kegiatan buruknya” tersebut.
Dan umumnya, teriakan Rizal Ramli cenderung mengarah
ke hal-hal yang memiliki “keterkaitan” dengan sosok Jusuf Kalla (JK), mulai
dari masalah proyek listrik 35 ribu megawatt, Pelindo 2, Freeport, Blok Masela,
dan lain sebagainya.
Sehingga dari situ, JK tak jarang terlibat perseteruan
dengan Rizal Ramli. Dan ini seolah-olah membuktikan bahwa JK adalah bagian dari
kelompok tersebut. Yakni kelompok yang terlanjur asyik menggerogoti
pemerintahan Jokowi dengan kegiatan-kegiatan mengais dan mencari keuntungan di
dalam pemerintahan.
Karena kenyamanannya sudah terusik, maka kelompok ini
(dibantu oleh sejumlah media bersama politisi penjilat) pun kemudian ikut ramai-ramai
menuding Rizal Ramli sebagai biang kegaduhan. Dan sungguh, Rizal Ramli yang
berjuang sendiri di dalam pemerintahan itupun dikoroyok oleh para kelompok
“bandit” tersebut.
Parahnya, Presiden Jokowi seolah-olah turut mendukung serbuan
para “bandit” itu dalam melengserkan Rizal Ramli dari jabatannya selaku Menko
Kemaritiman dan Sumberdaya. Maka muncullah Reshuffle Kabinet jilid 2, dan Rizal
Ramli yang dikenal sebagai “Sang Penjaga Gawang Trisakti” itupun akhirnya dicopot.
Seakan para bandit ini telah menyusun semuanya dari
awal dengan sangat rapi, pasca pencopotan Rizal Ramli tiba-tiba munculnya
survei tingkat kepercayaan dan kepuasaan rakyat terhadap Presiden Jokowi
meningkat, salah satu alasannya adalah karena Presiden Jokowi melakukan
reshuffle kabinet jilid 2 sebagai jawaban untuk membuat kabinet kerja bisa lebih
solid dan jauh dari kegaduhan.
Namun belum 3 minggu kabinet kerja jilid 2 ini
berjalan, suasana di dalam kabinet tiba-tiba kembali gaduh. Loh... kok bisa?
Biang kegaduhannya kan sudah dicopot...??? Lalu siapa biang kegaduhannya...???
Kegaduhan itu meledak tiba-tiba. Status
kewarganegaraan Menteri ESDM, Archandra Tahar, disorot habis-habisan oleh
publik. Dan dari segala penjuru mempertanyakan jatidiri dan integritasnya
sebagai pejabat yang berstatus kewarganegaraan ganda.
Bagai orang yang baru siuman, Jokowi selaku presiden
pun langsung memberhentikan Archandra, Senin malam (15 Agustus 2016).
Meski Johan Budi selaku Staf Khusus presiden
menyebutkan, bahwa pemberhentian tersebut adalah bentuk responsif dari presiden
terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Namun di mata publik, pemberhentian
itu adalah bukti ketidak-jelian dan ketidak-matangan presiden dalam memilih
pembantunya (menteri).
Akibatnya, di mata publik, presiden kerja “dua kali”,
dan itu adalah sebuah kekonyolan yang dipertontonkan oleh seorang Jokowi selaku
presiden.
Sehingga tidak sedikit pihak pun yang mendesak agar
Jokowi yang mengundur diri karena dinilai telah melakukan keteledoran serta
ketidak-becusan secara berulang-ulang.
Misalnya, dulu soal Perpres No. 39 Tahun 2015, yang
meski sudah ditanda-tanganinya, namun Jokowi mengaku tidak tahu-menahu mengenai
Perpres tersebut.
Bahkan ia mengaku tidak sadar dan merasa kecolongan
atas Perpres yang ia tanda-tangani sendiri. Dan pengakuan ini sungguh sangat berbahaya.
Untung saja yang diteken itu bukan surat tentang “penyerahan” sepenuhnya negara
ini kepada pihak luar.
Dan kini soal kewarganegaraan ganda dari Archandra. Apakah
Jokowi harus kembali merasa kecolongan? Atau mungkinkah Jokowi adalah presiden
yang sangat konyol?
Entahlah?! Yang jelas, Jokowi selaku presiden telah jelas-jelas
menabrak undang-undang nomor nomor 39 tahun 2008 pasal 22 ayat 2 huruf a, bahwa
syarat pengangkatan seorang menteri adalah harus Warga Negara Indonesia (WNI).
Dan dalam masalah kegaduhan Archandra itu, Jokowi
sebagai presiden tak pantas menyalahkan pihak-pihak lain. Sebab, pengangkatan
menteri itu adalah hak prerogatif presiden yang sebelum digunakan tentu harus
sudah dimatangkan terlebih dahulu. Jadi, mau disalahkan siapa?
Namun dari “keributan” di dalam kabinet soal Archandra
tersebut, setidaknya publik semakin paham mana “kegaduhan hitam” ala kelompok
bandit, dan mana “kegaduhan putih” ala Rizal Ramli. Serta siapa sesungguhnya “BIANG
KEGADUHAN” di dalam pemerintahan???
Artinya, dengan adanya kegaduhan terkait Archandra,
membuat publik tentu akan semakin yakin bahwa biang dan sumber kegaduhan yang
sesungguhnya, adalah kelompok bandit yang masih bercokol di dalam kabinet
(pemerintahan) saat ini.
Dan di sisi lain, sepertinya kehadiran Archandra
sebagai menteri ESDM sengaja diposisikan sebagai “alat” untuk memudahkan
kelompok bandit ini dalam menyedot keuntungan di lahan bisnis Migas.
Hanya saja “orang” yang membawa Archandra masuk ke
dalam kabinet ini nampaknya terlalu bernafsu, di otaknya cuma hitung-hitungan
bisnis, dan terlalu “pede” (percaya diri) merasa mampu dapat dengan mudah
“membodoh-bodohi” (menyakinkan) presiden. Namun ia lupa, bahwa rakyat Indonesia
tidak semuanya bisa ditipu dengan penampakan atau penampilan dari wajah
seseorang.
Bukan hanya wajah Archandra, tetapi juga wajah Jokowi
dan Jusuf Kalla yang hingga kini meski masih selalu kelihatan lugu, namun di
baliknya terlihat banyak misteri. Dan seiring dengan waktu, misteri itu tentu
akan terbongkar satu persatu, hingga pada akhirnya akan terlihat dengan jelas siapa
pembela rakyat dan siapa bandit yang sesungguhnya.
Sementara itu pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, pencopotan Archandra dari jabatannya oleh Presiden Jokowi adalah menjadi bukti, bahwa memang sudah terjadi pelanggaran undang-undang (UU).
“Bertobatlah agar mengurus negara ini tidak salah lagi.
Dan sekarang pula saatnya bagi pemerintah untuk mengukur diri, apa masih
sanggup mengurus negara. Kalau tidak sanggup, serahkan jabatan,” tegas
Margarito menyarankan.
Sementara itu pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, pencopotan Archandra dari jabatannya oleh Presiden Jokowi adalah menjadi bukti, bahwa memang sudah terjadi pelanggaran undang-undang (UU).
“Sempurna sudah presiden melanggar sumpah jabatannya
karena telah terbukti melanggar UU dengan cara mengangkat orang asing menjadi
menteri, dan 20 hari sesudah dilantik (Archandra) jadi Menteri ESDM dicopotnya
lagi,” ujar Margarito, Senin (15/8).
Karena presiden sudah melanggar UU dengan alat bukti
dicopotnya kembali Archandra dari jabatan Menteri ESDM, menurut Margarito , DPR
sebetulnya layak dan sudah boleh memulai proses pemakzulan.
Kalaupun pemakzulan tak bisa dilaksanakan karena
pemerintahan saat ini sudah hampir menguasai seluruh fraksi di DPR, maka
Margarito mengimbau agar pemerintahan ini segera bertobat.