(AMS, Artikel)
SEJAK dilantik sebagai Presiden terpilih pada 20
Oktober 2014 silam, Joko Widodo (Jokowi) diyakini punya tekad yang amat besar
untuk membenahi seluruh masalah di negeri ini. Olehnya itu, Presiden Jokowi pun
tentu sangat diharapkan dapat segera mewujudkan mimpi-mimpi indah seluruh rakyat
Indonesia, terutama di bidang ekonomi.
Sayangnya, sampai saat ini dalam rangka mewujudkan
mimpi-mimpi indah rakyat tersebut, Presiden Jokowi dinilai hanya menghambur-hamburkan
waktu, tenaga dan energi serta pikiran secara sia-sia.
Disebut demikian, karena hampir dua tahun ini Jokowi menduduki
jabatannya sebagai kepala negara dipandang masih keliru menyerahkan tugas-tugas
pemerintahan kepada orang-orang yang tidak tepat. Misalnya saja, untuk mengurus
masalah perekonomian, Presiden Jokowi dianggap telah dua kali keliru memilih
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian.
Seperti diketahui, lantaran dinilai kurang mampu
mengemban tugas sebagai Menko Perekonomian, Sofyan Djalil pun akhirnya digeser
dari jabatannya tersebut melalui Reshuffle Kabinet Jilid 1.
Namun sebelumnya, jauh-jauh hari memang telah beredar
kabar tentang rencana reshuffle kabinet jilid 1 tersebut akan dilakukan oleh
Presiden Jokowi karena adanya sejumlah “catatan ataupun rapor merah”, --sekali
lagi rapor merah--, terhadap kinerja Sofyan Djalil selaku Menko Perekonomian
kala itu.
Dan atas dasar adanya “rapor-merah” itulah publik
kemudian menyambut gembira rencana reshuffle kabinet jilid 1 ketika itu. Namun di
saat Reshuffle Kabinet itu berlangsung (12 Agustus 2015), masyarakat beserta para
pengamat pun spontan bermurung durja dan sebagian besar bertanya-tanya, --misalnya,
gerangan “istimewa” seperti apa yang membuat Presiden Jokowi bisa memasukkan
Darmin Nasution sebagai pengganti Sofyan Djalil?
Publik dan para pengamat tersebut tentu saja tak salah
jika harus bertanya-tanya seperti itu, sebab sedikit-banyaknya mereka tampaknya
mengerti, bahwa Sofyan dan Darmin adalah “satu kubu” dengan Jusuf Kalla, yakni
sama-sama “otak bisnis” bukan “otak marhaenis”.
Olehnya itu, publik pun menilai jabatan Menko
Perekonomian dari Sofyan ke Darmin tersebut hanya ibarat ganti “casing”, dan
tidak akan mampu melakukan langkah-langkah seperti yang diimpikan dan yang
diharapkan oleh rakyat.
Terlebih lagi keduanya dianggap sama-sama sebagai “penyembah”
paham neo-liberalisme serta neo-kapitalisme, --di mana kedua isme tersebut sangatlah
bertolak belakang dengan ajaran Trisakti.
Makanya, tak usah heran jika pada kenyataannya kondisi
ekonomi di negeri kita hingga kini masih sangat “pucat dan lemas” tak berdaya, itu
karena “mencret-mencret akibat di-cekokin” obat yang keliru dan dengan “dosis”
yang tidak tepat.
Lucunya, dengan kondisi “sekarat” seperti itu, pemerintah
masih saja menyebut bahwa ekonomi negeri ini selalu bertumbuh. Pandangan
pemerintah ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi riil di masyarakat.
Misalnya, pengangguran dan kemiskinan yang juga makin bertambah.
Seperti dikabarkan, sebuah lembaga riset ekonomi “Focus
Economics (FE)” berpusat di Barcelona, telah melakukan riset kondisi ekonomi
kurun 2014-2015 terhadap 127 negara di dunia (termasuk Indonesia). Hasil riset yang
diterbit pada 24 Mei 2016 tersebut mengungkapkan salah satunya, bahwa progres kondisi
ekonomi di Indonesia mengalami kemunduran serta terancam “chaos” dan tidak menutup kemungkinan apabila pemerintah tak
mampu mengambil tindakan pemulihan yang tepat, maka ekonomi
Indonesia akan mengalami “collapse”.
Hasil
riset FE itu menyebutkan di antaranya, bahwa di Indonesia pendapatan
perorang yang semula USD 3,541 menjadi USD 3,379; Pertumbuhan Ekonomi 5%
menjadi 4,8%; Pengangguran Tenaga Kerja 3,9% naik menjadi 6,2%; Neraca Perdagangan
semula minus USD 2,5 Miliar menjadin minus USD 7,6 Milar; Utang luar negeri
dari 33% naik menjadi 36%; Utang Publik (% dari PDB) semula 24,3% menjadi
27,5%; Cadangan Devisa yang semula USD 112 Miliar menjadi USD 106 Miliar.
Bahkan BBC
mengabarkan, bahwa saat ini tingkat kepercayaan investor dan pebisnis Eropa
untuk dapat berinvestasi di Indonesia anjlok 21%, dari 71% pada 2014 lalu
menjadi 50% pada periode survei November 2015 hingga Januari 2016.
Sementara itu, pada April 2016 juga dikabarkan
terjadi deflasi akibat adanya tren penurunan daya beli yang dipengaruhi
oleh produksi bisnis yang juga menurun, akibatnya tingkat konsumsi masyarakat
juga ikut menurun.
Sehingga itu ekonom dari Universitas Brawijaya, Dias
Satria mengimbau hendaknya stakeholder agar berhati-hati dengan terjadinya
deflasi.
Menurutnya, jika penurunan harga disebabkan oleh
efisiensi biaya seperti biaya logistik atau biaya produksi, deflasi sangat
diharapkan dalam perekonomian. Sebab, katanya, itu berarti telah mendorong daya
saing ekonomi dan efisiensi ekonomi.
Namun, lanjutnya, jika deflasi disebabkan karena
permintaan masyarakat yang makin menurun karena pendapatan yang ikut menurun
akibat kondisi perekonomian yang kacau (menurun), maka itu sangat berbahaya, dan
inilah yang disebut deflation spiral.
Dijelaskannya, pada beberapa teori ekonomi deflation spiral lebih berbahaya
dibandingkan dengan inflasi karena deflation
spiral dapat menurunkan insentif bisnis untuk mendorong produksi mereka,
dan menurunkan insentif untuk melakukan investasi sehingga dalam jangka panjang
ekonomi akan makin menurun dan lemas.
Sementara itu melalui broadcast BBM Salamuddin Daeng dari
Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno ikut bersuara khusus
mengenai APBN-P 2016 yang telah diketok palu.
Pada APBN-P 2016 itu tim ekonomi pemerintahan Presiden
Jokowi sepakat membangun postur APBN-P 2016 dengan menetapkan Pendapatan Negara
dan Hibah sebesar Rp.1.786,2 Triliun, Belanja Negara sebesar Rp.2.082,9
Triliun. Sedangkan target defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp.296,7 Triliun (atau
2,35% dari pendapatan)
Postur APBN-P 2016 tersebut menurut Salamuddin Daeng
sangatlah ambisius karena tidak realistis, dan ini tidak jauh berbeda dari
sebelumnya.
Dalam APBN-P 2016 terdapat target utang pemerintah
sebesar RP.296,7 Triliun mengalami peningkatan dari APBN 2016 Rp.273,2 Triliun
atau meningkat sebesar 8,6%.
Tentu saja target utang pemerintah tersebut selain
akan sangat menambah berat beban negara di masa mendatang, juga menurut
Salamuddin langkah pemerintah itu tidak akan mampu menutup defisit anggaran
pemerintahan Presiden Jokowi yang memang sudah sangat gede.
Salamuddin memaparkan alasannya, bahwa untuk mengejar
target belanja negara Rp.2.082 Triliun dalam APBN-P 2016 tersebut, pemerintah
Jokowi membutuhkan utang yang sangat besar.
Bila melihat kondisi ekonomi sekarang, kata
Salamuddin, penerimaan negara dari pajak tidak akan lebih dari Rp.1.100
Triliun. Dan penerimaan negara bukan pajak tidak lebih dari Rp.100 Triliun.
Dengan demikian, untuk mengejar dan memenuhi target belanja negara yang super
besar (namun tidak realistis itu) pemerintahan Jokowi membutuhkan utang sekitar
Rp.800 Triliun atau sebesar 6,9% Gross Domestic Product (GDP).
“Semoga Pak Presiden Jokowi dan kabinetnya (Tim
ekonomi) segera siuman, bangun dari mimpi yang panjang. Sudah dua tahun loh
mimpinya...,” tulis Salamuddin Daeng via Broadcast BBM, Senin (11/7/2016).
Publik sejauh ini nampaknya memang sangat cemas dan ragu
dengan kemampuan para tim ekonomi pemerintahan Jokowi yang duduk sejak awal dan
hingga kini di dalam kabinet kerja. Sebab, dari awal hingga kini pula kondisi
ekonomi di negeri ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda membaik, yang
kelihatan saat ini justru kondisi ekonomi yang loyo alias lemas lantaran “mencret-mencret”
karena sekali lagi akibat salah “dicekokin obat”, artinya salah orang.
Kondisi ekonomi yang lemas dan lesu ini sangat jelas
terlihat di mana-mana. Pada jelang bulan Ramadhan barusan saja daya beli
masyarakat sangat rendah, padahal biasanya pada Ramadhan-Ramadhan kebanyakan, masyarakat
selalu berbondong-bondong menyediakan stock konsumsi kebutuhan pangan, bahkan
aktif “berburu” jenis-jenis kuliner jelang berbuka puasa. Namun pada Ramadhan
tahun ini benar-benar sepi dan lesu sebab memang masyarakat dililit dengan
kesulitan ekonomi.
Jangankan
Beli Pakaian dan Kue,
Beli Tempe
pun Masyarakat Kesulitan
Biasanya akhir-akhir Ramadhan pada tahun-tahun
sebelumnya, masyarakat sudah kelihatan “berburu” kebutuhan lebaran, seperti
pakaian baru, kue lebaran dan sebagainya. Namun jelang lebaran tahun 2016 ini sangat
sepi, akibatnya omzet pedagang pun menurun drastis.
Di
Aceh dan juga di
Kalimantan, misalnya, sejumlah pedagang pakaian tahun ini harus mengeluhkan
sepinya pembeli yang membuat omzetnya menurun 60% dari tahun-tahun sebelumnya.
Jika tahun-tahun lalu jelang lebaran para pedagang pakaian bisa mendapatkan
Rp.5 juta hingga Rp.7 juta sehari, kali ini (2016) paling banyak hanya bisa
mengantongi Rp.2 juta perhari.
Bukan hanya pedagang pakaian yang mengeluh, penjual
kue pun sangat mengeluhkan jatuhnya omzet dagangan mereka. Padahal pada
lebaran-lebaran kebanyakan mereka bisa “panen” karena kebanjiran pengunjung. Di
Jambi
misalnya, para penjual kue olahan jelang lebaran pada tahun sebelumnya bisa
meraup omzet Rp.5 juta perhari, tahun ini benar-benar turun drastis hanya mampu
mengantongi Rp.1,5 juta perhari.
Karena memang masyarakat kita benar-benar sedang
dililit kesulitan ekonomi (keuangan), maka jangankan untuk beli kue lebaran,
ingin beli tempe dan tahu pun sudah terasa sangat kesulitan.
Fina, Seorang pedagang
tahu-tempe di Badung-Bali, menuturkan keluhannya bahwa tahun-tahun
sebelumnya jelang lebaran dagangannya sangat ramai, namun tahun ini amat sepi. Tahun-tahun
lalu, katanya, jelang lebaran 1.000 hingga 1.500 potong tahu-tempe perhari bisa
ia jual, namun pada momen jelang lebaran tahun ini hanya mampu terjual 200
hingga 250 potong perhari saja.
Bukan cuma itu, jumlah pemudik tahun ini juga menurun.
Di sejumlah daerah penyedia dan pengelola alat transportasi mudik mengakui
situasi sepi pemudik tersebut, --misalnya di Pelabuhan Trisakti-Banjarmasin,
juga sepinya
penjualan tiket bus untuk mudik dari Riau ke Jawa. Bahkan meski pihak
Kementerian Perhubungan telah menyediakan program
mudik sepeda motor gratis pun, tahun ini malah sepi peminat.
Penurunan animo masyarakat untuk mudik tahun ini salah
satunya karena memang masyarakat tak punya biaya untuk mudik dan embel-embelnya,
kalaupun ada, mereka lebih memilih berhemat untuk memenuhi kebutuhan yang lebih
mendesak seperti keperluan alat-alat sekolah pada tahun ajaran baru ini.
Kondisi ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah
ini benar-benar mengalami kesulitan, sebab tim ekonomi pemerintahan Jokowi sejak
awal sudah BERHASIL “menghajar” masyarakat hingga “babak-belur” melalui
kenaikan (pencabutan subsidi) harga Bahan Bakar Minyak yang diikuti dengan
kenaikan harga seluruh kebutuhan hidup.
Dan kondisi tersebut makin diperparah ketika kenaikan
harga BBM berikut harga kebutuhan hidup tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat
pendapatan, sehingga di saat harga barang-barang melambung tinggi, praktis ekonomi
masyarakat langsung KO dan babak-belur. Mengapa?
Sebab, mungkin pemerintah lupa, bahwa sekitar 80% masyarakat kita masih hidup di
garis kemiskinan, dan lebih dari 75% masyarakat Indonenesia
berpenghasilan menengah, bahkan rendah. Sehingga begitu terjadi gejolak
kenaikan harga barang-barang, maka mereka-mereka inilah yang duluan “terkapar”.
Dan sayang seribu hingga sejuta-juta sayang, dalam
kondisi parah seperti itupun, sekali lagi, pemerintah masih dengan entengnya ngotot menyebut ekonomi kita tetap
tumbuh dan membaik.
Istilah tumbuh dan membaik dalam kondisi parah seperti
itu di mata para pengamat tentu saja didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang
sama sekali tidak berkualitas. Yakni, sebuah pertumbuhan yang hanya bisa dinikmati
oleh kalangan atas namun tidak mampu mempersembahkan kesejahteraan buat rakyat di
kalangan bawah. Salah siapa? Tentu saja salah presiden yang keliru memilih dan
menempatkan tim ekonomi di dalam kabinetnya!
Padahal dari masa ke masa, krisis demi krisis yang terjadi
di negeri ini sangat jelas bisa dilihat dari akar historisnya. Bahwa sepanjang
sejarah, bangsa kita selalu saja mengalami krisis ekonomi karena memang rantai
kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang terus membelenggu. Kalau mau keluar
dari krisis dan jika ingin benar-benar menwujudkan cita-cita Trisakti, maka
Presiden Jokowi jangan segan-segan: “SEGERA PUTUS RANTAI YANG MEMBELENGGU ITU!”
Jika rantai itu tak mampu diputus, maka negara ini selamanya
akan dijalankan dengan aturan dan hukum yang hanya condong mengabdi pada
kepentingan modal asing dan hanya memapankan struktur ekonomi kalangan pebisnis
kalangan atas, serta selalu saja memberikan penghasilan dan kekayaan berlimpah
bagi kaum kapitalis, yang di saat bersamaan hanya memiskinkan mayoritas pribumi
kalangan bawah.
Dan parahnya, meski Menko Perekonomian Darmin
menyadari semua itu, namun dipastikan ia akan lelet dan bahkan tidak akan mampu
melakukan terobosan dan langkah-langkah ekonomi kerakyatan. Sebab, sekali lagi,
publik nampaknya sudah paham bahwa Sofyan Djalil maupun Darmin Nasution adalah “satu
kubu” dengan Jusuf Kalla yang sama-sama dinilai sebagai “penyembah”
neoliberalisme, neokapitalisme, dan neokolonialisme yang sama-sama hanya “berotak
bisnis”, bukan “otak marhaenis”.
Olehnya itu, jika saat ini desakan untuk segera
dilakukan Reshuffle Kabinet Jilid 2 kembali meluncur bagai roket, maka itu
memang benar adanya, dan arah roket itu tidak lain diarahkan kepada tim ekonomi
Pemerintahan Jokowi yang saat ini bercokol di dalam kabinet. Satu kata dari
rakyat: “GANTI!”, dan secepatnya memilih “Panglima Ekonomi”
yang berjiwa Trisakti dan penganut paham ekonomi kerakyatan.
Salam
Perubahan..