Sunday, 31 July 2016

Dokter Calon Penerima Nobel: Ahok dan Pendukungnya Alami Masalah di Otak


(AMS, Artikel)
SEORANG calon penerima nobel, Prof. Taruna Ikrar, guru besar Neurobiologi dari Universitas California-Amerika Serikat, dikabarkan telah mengamati perilaku dan retorika Ahok selama menjabat Gubernur Jakarta. Hasilnya, tentu tidak terlalu mengejutkan bagi kalangan yang telah mengetahui “kelakuan” Ahok dan para pendukungnya selama ini.

Yakni, dari sudut pandang neurosains, menurut Prof. Taruna, Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya. Demikian artikel yang dikutip dari “Neuropolitic dalam Pilkada DKI Jakarta” oleh Bang Sem.

Neurosains atau ilmu syaraf adalah bidang ilmu yang mempelajari sistem saraf atau sistem neuron. Area studi mencakup struktur, fungsi, sejarah evolusi, perkembangan, genetika, biokimia, fisiologi, farmakologi, informatika, penghitungan neurosains dan patologi sistem saraf.

Menurut Taruna, tiga metode khas yang tepat digunakan untuk hal itu: Pertama Performance emotions, yakni performa emosinya yang mengindikasikan ketidakstabilan kimia otak di dalam tubuhnya.

Kedua, Unstable less empathy, yakni ketiadaan empati terhadap persoalan sosial yang potensial menjadikannya seorang yang tidak mampu berlaku adil dalam makna sesungguhnya, akibat hambatan sublimic otak.

Dan yang ketiga, Wild decision, yaitu proses pengambikan keputusan yang tidak menyertai pertimbangan-pertimbangan matang, terutama fungsi insaniahnya.

“Dari ketiga hal tersebut, Ahok termasuk seseorang yang ketika memperoleh otoritas besar akan sangat berbahaya, karena secara sadar bisa melakukan sesuatu yang tak lazim untuk kepentingan menunjukkan dirinya serba positif dan orang lain serba negatif,” jelas Prof. Taruna.

Prof. Taruna menunjuk contoh, termasuk mengekspresikan emosi dengan kata-kata kotor.  Sehingganya, ada yang salah dalam sistem interaksi logical kognitif dan emosinya. Hal ini menunjukkan, Ahok mengalami disorder-personality.

Dalam artikel tersebut, Prof. Taruna mengungkapkan bahwa, dengan kondisi demikian, Ahok selalu cenderung memutar-balikkan realitas.

Misalnya, Ahok menempatkan dirinya seolah-olah sebagai korban rasisme. Padahal dia (Ahok) sendiri yang rasis, dan secara sadar mengembangkan rasialisme. Dengan cara ini dia dapat menjadi pemicu terjadinya friksi dan konflik sosial.

“Dengan kondisi kepribadian yang disebabkan ada persoalan di otaknya, Ahok mudah menuding orang dan kelompok lain sebagai fundamentalis untuk menutupi fundamentalisme paradoksal yang melekat pada dirinya,” ungkap Prof. Taruna.

Gangguan neurobiologis Ahok, jelas Prof. Taruna, juga memicu dirinya yang sangat mudah mengklaim kejujuran, padahal belum terbukti dia jujur.

Seperti dia (Ahok) mengklaim seolah-olah dirinya tidak korupsi, tetapi memberi peluang bagi lingkungan sosial terdekatnya untuk melakukan tindakan koruptif.

“Dalam situasi demikian, dia mendorong atau menciptakan situasi agar dirinya selalu menjadi pusat perhatian dalam polemik dan perdebatan sosial, dari berbagai sudut pandang,” pungkas Prof. Taruna.
---- Klik Tautan untuk melihat sumber ----