(AMS, Artikel)
KOMITE Gabungan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dipimpin
oleh Dr. Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, telah sepakat secara
bulat memunculkan 3 poin rekomendasi, salah satunya adalah menghentikan secara
permanen pembangunan reklamasi Pulau G.
Namun perlu digaris-bawahi, bahwa dengan dihentikannya
pembangunan Pulau G secara permanen, itu bukan berarti Komite Gabungan telah menganulir
peraturan maupun perundang-undangan yang berlaku.
Justru dengan penghentian pembangunan Pulau G
tersebut, Komite Gabungan boleh dikata telah berhasil “meluruskan” dan
memperjuangkan kehendak hakiki yang tersirat dalam seluruh aturan maupun
perundang-undangan yang ada, khususnya mengenai reklamasi di negara ini. Apa
itu? Ya... secara hakiki tentu saja tersirat adalah untuk kepentingan besar
bagi rakyat dan negara tercinta ini.
Bukankah memang setiap aturan maupun segala bentuk
perundang-undangan yang diterbitkan adalah untuk dan demi kepentingan bangsa serta
kebaikan negara ini? Dan nampaknya Komite Gabungan memang sangat memahami dengan
filosofi hukum, yang di dalamnya terdapat di antaranya yang disebut Ontologi,
Ideologi dan juga Teleologi hukum.
Ontologi hukum mencakup tentang segala sesuatu (merefleksi
hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep
demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral).
Sedang ideologi hukum mencakup tentang tujuan hukum
yang menyangkut cita manusia (merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang
melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan
bagian-bagian dari sistem hukum)
Selanjutnya, Teleologi hukum meliputi seluruh hal
tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (artinya merefleksi
makna dan tujuan hukum).
Sayangnya, dalam konteks reklamasi ini, malah Ahok
yang kelihatannya tidak mampu melihat permasalahan yang terjadi saat ini secara
filosofi hukum, yakni dengan hanya langsung menelan mentah-mentah Keppres No.52
Tahun 1995 yang “sudah basi” itu tanpa mau peduli dengan “situasi terkini”.
Hal itu terlihat dengan gesitnya Ahok melakukan
langkah penolakan terhadap hasil kerja yang telah dilakukan oleh Komite
Gabungan yang memberhentikan pembangunan reklamasi Pulau G. Ahok bersikeras dengan
tetap menjadikan Keppres No. 52 Tahun 1995 itu sebagai satu-satunya dasar hukum,
bahkan menganggap bahwa Keppres tersebut “tak bisa dikalahkan” oleh aturan atau
kekuatan hukum apapun, kecuali dari Presiden. Sekali lagi ini bukti bahwa Ahok
tidak paham dengan filosofi hukum.
Dengan sikapnya yang lebih “mendewakan” Keppres 52
Tahun 1995 itu dibanding aturan lainnya (termasuk aturan perizinan, amdal, tata-ruang,
civil-society, dan lain sebagainya) membuat publik pun makin geram dengan
sejuta dugaan kepada Ahok, --misalnya: jangan-jangan Ahok sudah ada “affair”
dengan pihak pengembang? Atau jangan-jangan Ahok adalah sosok “penjajah model
masa kini” yang ingin menguasai Indonesia tanpa perlu melalui cara seperti yang
dilakukan oleh Belanda??
Entahlah?! Yang jelas, Ahok sangat ngotot melawan
rekomendasi Komite Gabungan yang di dalamnya terdapat 6 kementerian (Kemenko
Kemaritiman, Kementerian KKP, Kementerian LHK, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Dalam Negeri, Bappenas) dan di sisi bersamaan amat membela pihak
pengembang.
Padahal, rekomendasi dari Komite Gabungan yang
dinakhodai Rizal Ramli itu sangat jelas diikuti dengan banyak pertimbangan,
mulai dari segi hukum (aturan), sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, dan
lain sebagainya.
Misalnya, pertimbangan dari segi hukum dan aturan yang
ada sangat jelas memang terjadi overlapping
alias tumpang-tindih. Bahkan Keppres 52 Tahun 1995 yang dijadikan dasar hukum
oleh Ahok itu, selain memang sudah “basi”, juga dilanggar sendiri (tak
dijalankan sepenuhnya) oleh Ahok, yakni pada Pasal 11 ayat 1 dalam Keppres itu
disebutkan, bahwa: “Penyelenggaraan
Reklamasi Pantura WAJIB
memperhatikan kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan
pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-fungsi lain yang ada di
Kawasan Pantura”.
Sebagaimana yang telah diumumkan oleh Komite Gabungan,
bahwa reklamasi Pulau G terpaksa harus dibatalkan (dihentikan) secara permanen
karena tidak memenuhi Pasal 11 ayat 1 Keppres No. 52 Tahun 1995 tersebut, yakni:
1. Membahayakan lingkungan hidup; 2. Mengganggu arus lalu-lintas laut ke dan
dari pelabuhan; 3. Mengganggu kepentingan nelayan (kapal atau perahu nelayan
harus jauh berputar menghabiskan solar) ketika harus melaut; 4. Di sekitar pulau
tersebut terdapat prasarana vital dan strategis seperti kabel-kabel listrik
milik PLN.
Dari situ, Komite Gabungan secara substansi
sesungguhnya mengedepankan aturan. Sedang Ahok yang langsung “main lapor”
dengan mengadukan Komite Gabungan ke Presiden, boleh dikata adalah sebuah sikap
yang tak mau “diatur” baik oleh negara maupun terhadap aturan yang ia sendiri
jadikan sebagai dasar hukum tersebut.
Jika Ahok memang teguh terhadap Keppres No. 52 Tahun
1995 sebagai dasar hukum-nya dalam bertindak, maka seharusnya Ahok tunduk pada semua
aturan “main” yang ditekankan di dalam Keppres tersebut, bukan malah
tergopoh-gopoh ke Istana Negara untuk melaporkan Komite Gabungan ihwal
penghentian reklamasi Pulau G tersebut ke
Presiden. Dan berikut ini adalah gaya komunikasi Ahok ke Presiden Jokowi: “....
apa benar Menko loe ngomong bahwa Keppres kamu kalah sama Menko...” – (Sumber Youtube)
Dan perlu diketahui, bahwa rekomendasi yang diumumkan
oleh Komite Gabung tersebut sesungguhnya adalah sebuah TAHAPAN (sekali lagi
sebuah tahapan) yang harus dilalui oleh Komite Gabungan sambil menunggu tahapan
berikutnya, yakni menunggu arahan selanjutnya dari Presiden Jokowi. Hanya saja
Ahok yang nampaknya keburu-nafsu seolah ingin “melawan” 6 kementerian tersebut
demi membela pengembang.
Sehingga dengan sikap Ahok tersebut tak salah jika
Rizal Ramli menyebutnya sebagai sosok pejabat cengeng. Bahkan Rizal Ramli
mengaku bingung, kenapa Ahok begitu ngotot membela pengembang. Sampai-sampai
Rizal Ramli pun menyindir Ahok dengan sebuah pertanyaan: “Ahok itu Gubernur DKI
atau karyawan pengembang?”
Kembali ke masalah 4 point pelanggaran yang menjadi
penekanan WAJIB dalam Pasal 11 ayat 1 pada Keppres 52 Tahun 1995 tersebut, yang
faktanya tidak diperhatikan oleh Ahok bersama pihak pengembang dalam
menyelenggarakan reklamasi Pulau G tersebut.
Fakta-fakta tersebut adalah, sebagaimana diungkapkan
oleh Abdulrachim
selaku Staf Ahli Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, bahwa pertama, di
lokasi Pulau G terdapat instalasi pipa gas yang terkait dengan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap Muara Karang yang bisa terganggu dan membahayakan bila
reklamasi pulau G dilanjutkan. Menurut Peraturan Pemerintah atau PP 5/2010
Tentang Kenavigasian, bila ada pipa gas maka harus ada ruang bebas 500 meter
kanan kiri.
Kedua, menurut Abdulrachim, di lokasi Pulau G terdapat
kabel-kabel listrik bertegangan tinggi yang bisa terganggu dan membahayakan
bila reklamasi Pulau G dilanjutkan.
Di dekat lokasi tersebut (Pulau G), kata Abdulrachim, kurang
dari 500 meter, juga terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang
1200 MW yang akan diperluas 800 MW lagi yang menggunakan air laut dalam sistem
kerjanya. Akibat adanya reklamasi Pulau G ini temperatur air lautnya menjadi
naik 2 derajat celcius. Hal ini akan menimbulkan kerugian sebesar lebih dari
100.juta setiap hari, akibat pemakaian bahan bakar yang lebih banyak.
“PLN sudah mengirim surat keberatan kepada Pemprov DKI
pada bulan Februari 2012 dan berkirim surat berkeberatan lagi kepada Menko
Maritim dan Sumber Daya pada dua hari sebelum keputusan penghentian seterusnya
reklamasi Pulau G,” terang Abdulrachim.
Keterangan Abdulrachim ini dibenarkan oleh pihak PLN.
Dikutip dari laman resmi pln.co.id,
manajemen PLN menyatakan, reklamasi pantai Utara Jakarta dipastikan sangat
mengancam pasokan listrik untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Pasalnya, salah satu pembangkit listrik berada di
sekitar Pulau G, yakni PLTU/PLTGU Muara Karang dengan total kapasitas terpasang
1684 MW yang selama ini menjadi tulang punggung pasokan listrik untuk wilayah
Jakarta dan sekitarnya. Selain PLTU/PLTGU Muara Karang, di kawasan pantura
Jakarta tersebut juga terdapat PLTU/PLTGU Priok dan PLTGU Muara Tawar yang
sudah sangat lama beroperasi.
Keberadaan pembangkit listrik tadi, menurut pihak PLN,
menjadi sangat strategis, tidak hanya karena masuk sebagai obyek instalasi
vital, tetapi juga karena pasokan listrik dari ketiga pembangkit tadi menjadi
tulang punggung pemenuhan kebutuhan listrik (memasok sekitar 53% dari kebutuhan
listrik di wilayah Jakarta dan sekitarnya).
Sejumlah kawasan VVIP di Jakarta dan Tangerang,
seperti Istana Negara, Bandara Sokerano-Hatta dan pusat bisnis terpadu
Sudirman-Kuningan kebutuhan listriknya bersumber dari pembangkit listrik yang
berada di wilayah Pantura Jakarta tersebut. Apalagi, listrik yang dihasilkan
dari ketiga pembangkit tadi juga masuk ke dalam sistem interkoneksi Jawa Bali.
Sehingga itu, pihak PLN menegaskan, bahwa reklamasi di
sekitar Pulau G tersebut sangat berpotensi memunculkan dampak serius bagi
lingkungan sekitarnya, terutama terhadap operasional PLTU/PLTGU Muara Karang.
Pihak PLN juga mengungkapkan, bahwa pada reklamasi
pantura tahap I yang telah berubah menjadi kawasan Pantai Mutiara, sejauh ini
berdasarkan hasil kajian LAPI-ITB ternyata telah mengubah infrastruktur outlet sistem air pendingin PLTU/PLTGU
Muara Karang yang mengakibatkan meningkatnya suhu air di intake canal
pembangkit dari kondisi awal 29oC
menjadi 31,1oC.
Pihak PLN telah menghitung perkiraan, bahwa bila
terjadi kenaikan suhu setiap 1oC, maka bisa mengakibatkan menurunnya
kemampuan produksi listrik hingga 10 MW dengan nilai kerugian berkisar Rp. 576
Juta per hari untuk setiap 1 unit mesin pembangkit.
Alasan ketiga, menurut Abdulrachim, reklamasi Pulau G
mengakibatkan terganggunya jalur nelayan di Muara Angke yang jumlahnya lebih
dari 20 ribu orang. Mereka (para nelayan itu) di saat melaut harus menempuh jalur
memutar jauh sehingga harus menambah biaya untuk solar.
Sebelumnya, Ketua Komite Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI) Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan, Marthin
Hadiwinata, juga pernah mengungkapkan, bahwa reklamasi pantura itu
menghilangkan wilayah kegiatan Perikanan fishing-ground seluas 586,3 Ha yang sama
halnya menghilangkan penghasilan nelayan.
Selain itu, Tarsoen Waryono selaku Pengamat Lingkungan
dari Universitas Indonesia juga angkat suara. Menurutnya, Reklamasi Pantura
hanya lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada positif bagi lingkungan.
Tarsoen sedikitnya menyebut lima dampak negatif tersebut.
“Pertama, membuat air laut menjadi naik, berarti akan
menambah banjir rob, berarti akan membunuh pepohonan yang tidak mampu
beradaptasi dengan air asin,” katanya,
di Jakarta, Rabu (6/5).
Kedua, menurut Tarsoen, sumur-sumur penduduk di sekitar
pantai yang tadinya payau akan menjadi asin. Dan ketiga, tumbuh dan
berkembangnya bakteri E-coli.
Bakteri E-coli ini, katanya, dapat berkembang bila air
tawar seperti di Jakarta berkurang. Dan jika diminum dapat menyebabkan sakit
perut, disentri, diare, dan sebagainya.
Keempat, menurut Tarsoen, warga yang menghuni Pulau
Reklamasi mungkin akan sangat nyaman, tetapi tidak bagi masyarakat yang tinggal
di sekitarnya. Sebab, jika kanalnya dibuat secara sembarangan, maka akan
menimbulkan bau yang sangat tidak sedap. Ini bisa terjadi karena air asin akan
mengendap, terkena panas (sinar matahari), lalu terjadi proses kontaminasi
secara kimia.
Dan yang kelima, menurut Tarsoen, reklamasi berdampak
buruk terhadap Mangrove. Sebab, pasang-surut air laut menyebabkan habitat
dan kualitas tanah berubah sehingga jenis tanaman tertentu tidak dapat tumbuh,
temasuk mangrove. Bahkan “rumah” untuk habitat kepiting, kerang, dan biota
lainnya hilang.
Namun semua itu tidak membuat Ahok patah arang. Ahok
bahkan semakin gesit ingin melanjutkan Reklamasi Pulau G meski Komite Gabungan
telah mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan reklamasi pulau tersebut.
Ahok berdalih, “Saya
baik sama pengembang itu dalam rangka dagang.”
Ahok berkilah bahwa alasan dirinya ngotot melanjutkan
proyek 17 pulau di Pantai Utara Jakarta itu adalah karena ingin meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Ahok bahkan telah mengalkulasi, bahwa dari proyek
reklamasi yang dilakukan oleh 9 pengembang di 17 pulau Pantai Utara Jakarta itu,
keuntungan
yang didapat sekitar Rp 47 Triliun. Angka itu didapat dari kontribusi
tambahan yang harus dibayar pengembang dalam rangka revitalisasi Pantai Utara
Jakarta.
Ahok menyatakan banyak keuntungan dari pembangunan 17
pulau buatan ini. “DKI langsung dapat tanah, sertifikat. Jadi kalau orang
reklamasi 17 pulau, katakan ribuan hektare, itu semua milik DKI lengkap dengan
sertifikat. Untung kan?” kata
Ahok di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (22/4/2015).
Dalam kesempatan lain, berdasarkan hitung-hitungan
Ahok, keuntungan yang didapat Pemprov DKI bahkan bisa mencapai Rp.178 Triliun.
“Reklamasi kalau saya hitung itu kalau jadi, langsung
jual tanah saja bisa dapat Rp.48 Triliun. Di luar tanah Rp. 28 Triliun. Berarti
ada Rp.76 Triliun uang di situ. Kalau dia jualnya 10 tahun, setahun hanya 10
persen, kita bisa dapat Rp.178 Triliun,” kata
Ahok di Balai Kota, Rabu (25/5/2016). Dan menurutnya itu di luar dari kontribusi
tambahan yang merupakan pungutan yang rencananya akan dikenakan terhadap semua
pengembang yang terlibat dalam reklamasi di Pantai Utara Jakarta tersebut.
Namun “hitungan-hitungan dagang” Ahok tersebut dapat
dipastikan tidak akan sebanding dengan kerugian yang akan terjadi akibat
reklamasi Pantura tersebut.
Menurut hasil Penelitian
terbaru oleh Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM)
mengungkapkan, potensi kerugian ekonomi dan sosial akibat proyek reklamasi Pantura
lebih besar ketimbang pendapatan negara, yakni kerugiannya mencapai sekitar Rp.661,31
Triliun.
Menurut Direktur PK2PM, Muhammad Karim, besarnya
potensi kerugian ekonomi dan sosial tersebut diakibatkan oleh kerusakan sumber
daya alam dan semakin meluasnya kemiskinan.
Pihak PK2PM paham dari hasil reklamasi itu bisa memunculkan
angka keuntungan untuk Pemprov DKI Jakarta. Dan angka keuntungan tersebut,
menurut Muhammad Karim, tentu sangat menggiurkan. “Tapi jika dibandingkan
dengan kerugian ekonomi, ekologi dan sosial, maka akan lebih besar dan sifatnya
jangka panjang,” kata
Karim dalam sebuah diskusi, Minggu (8/5).
Karim memaparkan, bahwa Reklamasi Pantura dapat
menghilangkan nilai manfaat bersih hutan bakau di wilayah pesisir Jakarta yang
diasumsikan mencapai Rp.15,04 Miliar pertahun. Juga hilangnya nilai manfaat
ekonomi padang lamun, sebagai pelindung pantai, yang diperkirakan mencapai Rp.92,57
Triliun per tahun.
Bukan Cuma itu, Karim juga menguraikan, reklamasi
Pantura tersebut akan berdampak pada ekosistem terumbu karang di Taman Nasional
Kepulauan Seribu dengan luas 98.176 Ha dengan potensi kehilangan nilai
ekonominya mencapai Rp.20,2 Miliar per tahun.
Selain lingkungan, Karim juga mengungkapkan, bahwa
reklamasi akan berdampak pada hilangnya manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan
tangkap sekitar Rp.314,5 Miliar, dengan dampak terbesar dialami oleh nelayan
tradisional.
Terkait dengan kemiskinan, penelitian itu memaparkan
Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki penduduk
miskin dengan jumlah tertinggi dibandingkan dengan kota madya lainnya, yakni
93.400 orang. Berdasarkan data BPS 2015, skala rasio gini di DKI Jakarta
masing-masing mencapai 0,43 pada 2013-2014.
“Nelayan yang bermukim di pesisir dan pulau kecil
kehilangan sumber daya ikan yang menjadi sumber kehidupannya,” lontar Karim
seraya mempertanyakan, lalu “Apakah reklamasi (pantura itu) akan
menyejahterakan atau memperparah kemiskinan?”
Untuk menjawab pertanyaan Karim tersebut mari kita
lihat fakta-fakta dan analisis berikutnya.
Mahasiswa Indonesia di Belanda menggelar diskusi “Reklamasi
Teluk Jakarta”. Penyelenggaranya adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
Belanda bekerjasama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di
Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, medio
Juni 2016 lalu.
Mereka menyimpulkan, rencana Pemprov DKI Jakarta
melakukan reklamasi pulau, juga membentuk Giant Sea Wall, adalah merupakan
sebuah cara usang untuk membentuk pertahanan pesisir kota. Pembuatan tanggul
dan reklamasi sudah ditinggalkan oleh negara maju, termasuk Belanda.
Namun Hero Marhaento, Mahasiswa asal Indonesia yang
mengambil program Doktoral di University of Twente, mengaku heran, di saat
pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan
tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah (saat
ini) menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir di Jakarta.
Padahal saat ini, pertahanan pesisir di Belanda
dilakukan dengan cara “sand nourishment”, yaitu pembuatan jebakan pasir di
wilayah rawan abrasi tanpa membuat tanggul raksasa di tengah laut. Selain itu,
upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul
sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the
River". Dua metode tersebut dianggap jauh lebih murah, lebih efektif dan
ramah lingkungan dibandingkan dengan reklamasi pulau dan pembuatan tanggul
raksasa.
Apa yang dijabarkan oleh para mahasiswa Indonesia di
Belanda ada benarnya. Perkembangan reklamasi di dunia memang lebih banyak
dimulai sebelum abad ke-21. Misalnya di Belanda yang memulainya sejak 1962,
Singapura sejak 1976, Korsel sejak 1991.
Beberapa reklamasi sudah terjadi lebih jauh lagi. Kota
Mumbai di India sudah ada kegiatan reklamasi pada 1784, lalu juga ada Selandia
Baru yang memulai sejak 1850. Sedangkan reklamasi yang baru dimulai pada abad
ke-21 hanya di Bangladesh pada 2010 dan Dubai Uni Emirat Arab sejak 2001. Di
Asia, reklamasi juga terjadi di kota-kota di pesisir Cina.
Di Cina kegiatan reklamasi bahkan menjadi kegiatan
yang sangat menguntungkan bagi pengembang. Media citymetric.com, dalam tulisan The
gift from the sea: through land
reclamation, China keeps growing and growing mengungkapkan, bahwa sebuah
pengembang bisa mendapatkan keuntungan yang amat besar dari konsesi reklamasi
di Cina.
“Tanah dari reklamasi di laut menghasilkan ruang yang
murah untuk kegiatan agrikultur, industri, dan kepentingan urbanisasi,” kata
penulis Shanghai New Towns, Harry den Hartog, yang melakukan riset soal reklamasi
di Cina untuk Delft University, Belanda.
Pernyataan Harry bukan omong kosong. Senada dengannya,
Liu Hongbin, seorang profesor kelautan dari University of China, mengungkapkan
kegiatan reklamasi memberikan keuntungan yang berlipat-lipat dari 10 hingga 100
kali lipat.
Pada Agustus lalu misalnya, tanah reklamasi di Qianhai
harganya (modal) 1,77 Miliar USD. Tanah reklamasi itupun “disulap” jadi kawasan
ekonomi khusus yang total keuntungan dari penjualannya mencapai 37,4 Miliar USD.
Dan itulah prinsip dagang yang “diterapkan” pada proyek reklamasi di China.
Dan nampaknya, prinsip dagang semacam di China itu berlaku
pula saat ini di Indonesia melalui reklamasi Teluk Jakarta. Yakni prinsip
pedagang: “belinya murah, jualnya mahal”.
Seperti dikutip kompas.com,
pengembang reklamasi hanya perlu dana (modal) Rp.4 Juta hingga 10 juta per meter
persegi, lalu dijual antara Rp. 30 Juta hingga Rp.40 Juta per meter persegi.
Para pengembang tentu saja lebih memilih cara
reklamasi dengan dana Rp.4 Juta hingga Rp.10 Juta. Sebab, biaya ini jauh lebih
murah daripada membeli lahan (tanah) di Jakarta, misalnya di Menteng
yang harga tanahnya berkisar Rp.45 Juta hingga Rp.75 Juta per meter persegi.
Gambaran tentang prinsip dagang: “Belinya Jutaan, jualnya
Miliaran” tidak hanya sampai di situ. Beberapa waktu lalu crew jurnalis dari
rmolJakarta sempat melakukan investigasi ke salah satu lokasi penjualan unit
bangunan Pluit City di lantai dasar Mall Bay Walk Pluit, Jakarta Utara, selain
Mall Emporium Pluit.
Dari situ ditemui tiga jenis bangunan yang dijual
entitas PT Agung Podomoro Land Tbk (APL), yakni rumah, rumah toko (ruko), dan
condominium.
Untuk rumah, ada beberapa tipe yang dipasarkan. Mulai
dari tipe Oakwood (6x16 meter2), Greenwood (8x18 m2), Waterfly (10x20 m2), dan
Palmwood (10x20 m2). Namun, yang tersisa hanya tipe 10x20 m2 dengan harga Rp9,9
miliar, mengingat lebih dari 80 persen hunian yang dipasarkan telah laku
terjual.
“Angsurannya 60 bulan," ujar seorang sales yang
ditemui rmolJakarta, seraya menambahkan, kalau 9,9 (miliar rupiah), berarti
cicilannya kurang lebih Rp.165 juta per bulan.
Woowww.... harga yang sangat fantastis. Tapi.. Stooppp,
dulu! Sampai di sini pasti banyak yang akan bertanya: “Siapa dan dari mana saja
pembelinya? Dan bagaimana pihak pengembang bisa memasarkannya???
Dari hasil penelusuran, ditemui adanya sebuah Iklanpemasaran dari Agung Podomoro Group yang dikabarkan ditayangkan distasiun-stasiun televisi di negara China, sehingga orang-orang pun berasumsi dan
bisa dipastikan bahwa Indonesia sedikit demi sedikit “dijual” oleh Ahok buat
dan kepada “kaumnya”.
Pada durasi awal video iklan yang berbahasa (lagu)
Mandarin tersebut tercantum nama Mr. Addie MS sebagai pihak yang diberi proyek untuk
pembuatan music & arranger-nya (pantasan saja si Addie MS ini “berani-beraninya
ikut menyerang” Rizal Ramli melalui twitter,
beberapa waktu lalu)
Kembali tentang investigasi yang dilakukan oleh jurnalis
rmolJakarta. Terungkap, posisi wilayah perumahan nantinya berada di sebelah
Timur Pluit City, baik cluster apapun. Sedangkan di bagian Barat,
dikonsentrasikan untuk perkantoran, condominium, serta pusat hiburan juga
shopping.
Sedangkan untuk ruko, berada di wilayah Selatan, dekat
dua jembatan akses masuk Pulau G dan menghadap area mall. Meski posisi
condominium berada di sisi Barat, namun menghadap laut.
PT MWS, kata sales, menyediakan 8 ha dari seluruh luas
lahan reklamasi untuk taman. Lahan ini merupakan bagian dari fasilitas sosial
(fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang akan disediakan.
Nantinya juga akan ada beberapa dermaga untuk tempat
bersandar yatch dan boat di pulau buatan seluas 160 ha ini. Rinciannya, sales
itu tak tahu persis. Tapi, akan lebih banyak berada di sisi Timur.
“Kalau dermaganya berapa, kita belum tahu. Cuma yang
pasti, di sebelah sana (Barat) yang banyak, karena di sebelah sini ada jogging
track, di sini kafe-kafe,” bebernya.
Semua yang digambarkan oleh sales tersebut betul-betul
menggiurkan karena memang serba mewah dengan harga yang juga memang fantastis
(Rp.9,9 Miliar). Lalu di mana “tempat kita” sebagai rakyat Indonesia yang
diamanatkan oleh setiap undang-undang sebagai pihak yang harus lebih dulu
disejahterakan???
Paling tidak tempat kita hanya datang ke Pulau G
tersebut sebagai “pelayan (baca: babu)” di negara sendiri, atau juga paling tidak
orang-orang kita hanya berkunjung untuk sekadar berselfie-ria di depan rumah dan
kendaraan mewah milik orang asing!!?? Sungguhlah miris jika Ahok tak peduli
dengan kerugian rakyat dan negara ini akibat reklamasi tersebut, yang di sisi
bersamaan hanya membela kepentingan kelompok tertentu?!