(AMS, Artikel)
KOMITE Gabungan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang terdiri 2 orang dari Kementerian LHK, 2 orang dari KKP, 2 orang dari Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya, 2 orang dari Kemendagri, 1 perwakilan dari Sekretariat Kabinet serta perwakilan dari Kementerian Perhubungan, dan 2 orang dari Pemda DKI Jakarta, telah mengeluarkan 3 point rekomendasi, yakni: 1. Reklamasi Pulau G dibatalkan seterusnya atau diberhentikan pembangunannya secara permanen; 2. Reklamasi Pulau C, D dan N dapat dilanjutkan namun dengan syarat; 3. Reklamasi 13 pulau lainnya dikaji ulang.
Alasan reklamasi Pulau C, D dan N dapat dilanjutkan, sebab para pengembangnya bersedia dan berkomitmen untuk tunduk dan mematuhi Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Sebagaimana diketahui kondisi Pulau C dan D sengaja digabung (disatukan) oleh pengembang sehingga tak ada jarak yang memisahkan kedua pulau tersebut. Sementara Perpres No. 54 Tahun 2008 memerintahkan agar reklamasi antar-pulau harus dipisahkan oleh kanal yang berukuran lebar 300 meter dengan kedalaman 8 meter.
Sedangkan penyebab reklamasi Pulau G dinyatakan dibatalkan atau diberhentikan pembangunannya secara permanen, adalah karena keberadaan Pulau ini selain dinyatakan membahayakan lingkungan hidup dan mengganggu arus lalu-lintas laut ke dan dari pelabuhan, juga di sekitar pulau tersebut terdapat prasarana vital dan strategis seperti kabel-kabel listrik milik PLN, dan sebagainya.
Pulau G adalah pulau reklamasi yang dikerjakan oleh PT. Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT. Agung Podomoro Land) yang izin pelaksanaannya diterbitkan oleh Ahok pada Desember 2014.
Mengetahui Pulau G dihentikan pelaksanaannya secara permanen oleh Komite Gabungan Reklamasi yang dinakhodai oleh Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Ahok pun langsung memperlihatkan sikap penolakannya dengan tergopoh-gopoh mengadukan Komite Gabungan kepada Presiden Jokowi di Istana Negara.
Ahok berdalih dan tetap ngotot bahwa tak ada yang bisa membatalkan reklamasi pantai Utara Jakarta selain Presiden dengan dasar hukum Kepres No. 52 Tahun 1995 (Kepres produk era Presiden Soeharto).
Ahok sepertinya sudah panik dan nampak telah sangat terpojok. Namun karena mungkin merasa sebagai “anak emas” Presiden Jokowi, Ahok pun akhirnya harus meminta “bantuan” kepada Presiden Jokowi.
Boleh jadi, sikap Ahok yang sangat panik itu adalah sebuah tanda bahwa pengembang Pulau G telah memberinya gratifikasi, atau paling tidak telah terjadi “perjanjian gelap”, atau mungkin boleh saja telah terjadi kongkalikong antara Ahok dengan pengembang tersebut.
Dari situ, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendaknya bisa lebih jeli melihat situasi dan sikap seperti yang diperlihatkan Ahok tersebut.
Sebab, bukankah saat ini pengembang Pulau G tersangkut kasus dugaan penyuapan terhadap diri Sanusi, terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara? Artinya, jika pengembang sudah “bermain kotor”, lalu mengapa Ahok begitu mau-maunya pasang badan dengan pengembang “model” seperti itu?
Sehingganya kini, tak sedikit kalangan pun memandang Ahok patut dicurigai sebagai pihak yang telah terjerat dalam kasus reklamasi, dan juga sebagai pejabat yang sama sekali tak paham konstitusi. Di antaranya, Ketua Dewan Pendiri Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB), Wignyo Prasetyo.
Wignyo Prasetyo yang juga Aktivis 98 ini menyayangkan sikap Ahok yang nekat “melawan” 3 kementerian yang telah sepakat menghentikan reklamasi Pulau G melalui Komite Gabungan.
Padahal menurut Wignyo, pasal 1 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dengan jelas disebutkan, bahwa Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan MENTERI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya, pasal 1 ayat 5 dalam undang-undang yang sama disebutkan, bahwa Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang PELAKSANAANNYA dilakukan oleh KEMENTERIAN NEGARA dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
“Jika Ahok memahami Konstitusi tentu tidak jadi ribut begini, ocehan Ahok tidak perlu itu,” lontar Wignyo seraya mengimbau agar Ahok hendaknya paham dengan apa yang dilakukan Rizal Ramli adalah merupakan tanggungjawab dan bentuk supervisi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di bidangnya masing-masing.
Keppres No.52 Tahun 1995 yang menjadi dasar hukum Ahok dalam menerbitkan izin reklamasi kepada pengembang, secara nyata menurut Wignyo Keppres 52 Tahun 1995 tersebut selain usang, juga melawan sejumlah peraturan dan perundang-undangan lainnya.
Yakni, melawan pasal 3 dan 4 Perpres Nomor 122 Tahun 2012
tentang
Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau; melawan kententuan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang; melawan PP No. 26 tahun 2008 tentang penataan ruang.
Apalagi, sejauh ini semua orang tahu, bahwa sampai saat ini DKI Jakarta belum memiliki Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Padahal reklamasi harus RZWP3K, namun parahnya justru pada proses pembahasan RZWP3K malah diwarnai permainan busuk oleh pengembang sendiri.
Dari permainan busuk itu saja, jika Ahok benar-benar pejabat yang tegas harusnya segera menghentikan dan mencabut sendiri izin yang telah dikeluarkannya kepada pengembang yang nakal tersebut.
Olehnya itu, Wignyo berkesimpulan, bahwa reklamasi Teluk Jakarta sama sekali tidak berpihak kepada nelayan dan masyarakat sekitar juga dengan generasi akan datang, melainkan hanya berpihak kepada para pengusaha. “Kebodohan Ahok ini dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk memperoleh tempat pengembangan murah di Jakarta,” ujar Wignyo.
Karena dalam reklamasi ini Ahok lebih memperlihatkan keberpihakannya terhadap pelaku bisnis ketimbang rakyat kecil dan generasi yang akan datang, maka JNIB mengecam akan melakukan upaya apapun untuk melawan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta dan mendukung upaya pemerintah pusat menghentikan secara total reklamasi di Jakarta
Selain Wignyo, Tokoh Senior Betawi Ridwan Saidi yang jauh-jauh hari juga telah menentang keras reklamasi menyayangkan sikap “main paksa” Ahok demi kepentingan sekelompok saja.
Menurutnya, proyek reklamasi yang akan dibangun apartemen, mal, hotel dan lainnya itu hanya akan dinikmati orang-orang kaya.
Ridwan juga mengatakan, Keppres Nomor 52/1995 yang selama ini dijadikan dasar hukum oleh Ahok dalam mengeluarkan izin reklamasi sudah tidak bisa digunakan lagi. Pasalnya, produk hukum era Presiden Soeharto itu berdasarkan UUD 1945 yang asli. Sementara saat ini yang berlaku adalah UUD hasil amandemen.
Sehingga itu, menurut Ridwan Saidi, jika dilihat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengembang Pulau G, seharusnya Rizal Ramli bisa memberi sanksi yang lebih berat lagi. Apalagi memang di tingkat PTUN telah membatalkan izin reklamsi Pulau G.
Sementara itu Pakar Hukum dan Tata Negara, Juanda, meminta kepada Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta untuk sebaiknya menjalankan pemerintahannya sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, dan meminta Ahok untuk tidak asal menjalankan kewenangannya terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Menurut Juanda, kebijakan soal reklamasi pantai utara Jakarta ini menjadi kacau lantaran Ahok salah kaprah dengan menjadikan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 52 Tahun 1995 sebagai acuannya. Sementara, ada pula landasan hukum lain yang juga mengatur soal kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian perairan laut Jakarta.
“Nah di sini kekacauan terjadi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, terus ke Keppres Nomor 52 Tahun 1995, terus sampai ke Keppres yang terakhir, dan ada juga Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2013. Saya lihat itu berkaitan semuanya,” jelasnya.
Olehnya itu, Juanda mendesak, kekacauan hukum seperti itu harus cepat diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Pemerintah pusat dan Presiden Jokowi harus bertanggungjawab untuk menyelesaikannya secepatnya. Dengan cara apa? Dengan cara mencabut Keppres-Keppres yang kacau tadi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Pakar Hukum Lingkungan Asep Warlan Yusuf mengimbau agar tidak terlalu “bernafsu” untuk ngotot melanjutkan reklamasi tersebut. Apalagi sampai melawan 3 Kementerian yang punya kewenangan pada masalah tersebut.
Menurut Asep, Ahok harus melalui serangkaian prosedur mulai dari izin hingga kebijakan pasca reklamasi. Jika tidak, maka kemungkinan besar Ahok akan melanggar hukum. Artinya, Ahok akan terperosok dalam masalah reklamasi.
Asep memandang, jika Ahok tetap melanjutkan reklamasi setelah dinyatakan dibatalkan tanpa menunggu kajian lebih komprehensif, maka Ahok bisa dikatakan melanggar Pasal 73 Undang Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.
“Jika tetap ngotot bakal dipidana 5 tahun sesuai UU tersebut,” ujar Asep seraya menyebut pasal tersebut, berbunyi, bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan peruntukannya maka akan terkena pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Selanjutnya, untuk masalah investasi yang sudah dikeluarkan oleh pihak pengembang, menurut Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, Dian Simatupang menyebutnya itu sebagai risiko bisnis karena Indonesia memiliki risiko hukum dan politiknya besar.
Namun lagi-lagi andai Ahok tetap keras kepala, maka masyarakat sudah pasti akan menyimpulkan, bahwa Ahok adalah benar-benar ciri pejabat yang hanya merepotkan dan hanya ingin mengorbankan banyak pihak, bukan cuma masyarakat tetapi juga Presiden, padahal hanya demi kepentingan dan keuntungan kelompok tertentu. Dan jika itu benar-benar terjadi, maka sesungguhnya Ahok telah terjerohok (terperosok) dalam “lumpur” reklamasi.
-----
Video Pengumuman hasil kerja Komite Gabungan Reklamasi Pantai Utara