RODA pemerintahan Indonesia untuk periode 2014-2019 sebentar lagi akan segera dimulai oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla.
Dan sebelum roda pemerintahan baru ini dijalankan, tentunya tidak sedikit pihak yang jauh-jauh hari sudah menaruh harapan besar agar Jokowi-JK bisa benar-benar serius mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau partai tertentu.
Sebab, harus disadari benar, bahwa Jokowi-JK bisa terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden adalah bukan karena partai (atau dengan kata lain bukan melalui pemilihan di tingkat DPR), tetapi berkat amanah dalam bentuk suara yang telah rakyat berikan (secara langsung) dalam pemilu presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 lalu.
Jika saja partai yang menjadi pemilik kedaulatan di negeri ini, maka dalam Pilpres 2014 kemarin tentunya yang menjadi pemenang bukanlah Jokowi-JK, melainkan bisa dipastikan adalah Prabowo-Hatta. Sebab sebagai capres, Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 ini mendapat dukungan dari 7 parpol dengan perolehan suara untuk legislatif sebesar 63,54%.
Olehnya itu, pemerintahan Jokowi-JK tak perlu terlalu risau dengan jumlah kursi legislatif yang hanya bisa dicapai sebesar 36,46% dari para parpol pendukung Jokowi-JK. Sebab terbukti perolehan jumlah kursi di legislatif bukanlah jaminan sebuah pasangan capres bisa memenangkan Pilpres.
Dan hal itu makin membuat saya bisa menarik kesimpulan, bahwa Pilpres 2014 kemarin tersebut sesungguhnya telah berhasil memunculkan “fakta politik dan fenomena demokrasi” yang sehat, yakni di mana rakyat adalah benar-benar telah menjadi “roh-nya” demokrasi, dan parpol adalah “jasadnya” demokrasi.
Perlu digarisbawahi, bahwa fakta politik dan fenomena demokrasi ini tidaklah muncul dengan sendirinya. Tetapi kemunculan fakta dan fenomena tersebut adalah sebetulnya lebih dipengaruhi oleh “kejenuhan dan kekecewaan” rakyat terhadap pola pemerintahan sebelumnya.
Untuknya itu, Jokowi-JK harus bisa mempertahankan serta pula perlu lebih menghidupkan fakta politik dan fenomena demokrasi tersebut, yakni dengan cara menjalankan secara utuh Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti yang menjadi ideologi dalam mencapai misi-visi Jokowi-JK.
Jika demikian, fakta politik dan fenomena demokrasi ini sangat “wajib” dijadikan dasar bagi Jokowi-JK dalam menyusun struktur kementerian di kabinetnya. Yakni dengan menunjuk dan menempatkan lebih banyak orang-orang profesional yang benar-benar diyakini pro-rakyat untuk bekerja sebagai menteri.
Menurut saya, 18 orang dari profesional dan 16 orang dari parpol yang akan mengisi kabinet Jokowi-JK itu masih boleh dikata belum mencerminkan fakta politik dan fenomena demokrasi yang telah “menjadikan” Jokowi-JK sebagai pasangan presiden.
Mestinya, sebagai langkah awal dalam upaya mewujudkan revolusi mental, jumlah orang profesional haruslah bisa jauh lebih banyak ditempatkan sebagai menteri dibanding orang yang berasal dari kalangan parpol dalam pemerintahan Jokowi-JK.
Sebab, jika porsi kabinet mendatang diseimbangkan atau bahkan lebih banyak yang berasal dari kalangan parpol, maka pemerintahan Jokowi-JK nantinya hanya akan lebih nampak bagai “mumi berjalan”.
Maaf, saya merasa cocok menunjuk sebuah kabinet yang diisi seimbang (atau lebih banyak) dari kalangan parpol dengan penyebutan “Kabinet Mumi Berjalan”, karena sebagaimana umumnya diketahui bahwa hanya mumi yang bisa digerakkan oleh “kekuatan tertentu”, serta hanya ingin berbuat maksimal apabila itu sesuai dengan selera tuannya (parpolnya).
Dan apabila kabinet semacam ini yang ternyata nantinya terbangun dalam pemerintahan Jokowi-JK, maka tentulah cita-cita dari ideologi Pancasila dan Trisakti tidak akan pernah pula tercapai. Kemudian di saat bersamaan, negara dan bangsa (rakyat) ini akan lagi-lagi kembali menjadi “korban” keserakahan parpol.
Untuk menghindari “Kabinet Mumi” ini, Jokowi-JK harus konsisten dengan prinsip yang menjadi penekanannya sejak awal, yakni “Koalisi tanpa syarat” dan melakukan “Revolusi Mental”.
Revolusi mental akan sangat sulit dijalankan, bahkan mustahil untuk diwujudkan apabila Jokowi-JK tidak memulainya dari susunan kementerian dalam kabinetnya. Untuk itu, Jokowi-JK harus berani dan tegas mengubah mental atau “kebiasaan” pemerintahan baru yang kerap mendahulukan porsi kepentingan parpol koalisi dengan memberi jatah kursi menteri sebagai “bayar jasa”.
Jika Jokowi-JK benar-benar ingin mewujudkan Revolusi Mental, maka Jokowi-JK harus bisa meyakinkan masyarakat dengan tidak membentuk “Kabinet Mumi”, melainkan dengan segera memunculkan “Kabinet Trisakti” yang di dalamnya terdapat lebih banyak kalangan profesional yang berkompoten, bukan politikus, apalagi “kutu-kutu” loncat.
Jokowi-JK hendaknya bisa mengambil pelajaran dari pemerintahan sebelumnya, di mana beberapa di antaranya sangat jelas terlihat bisa mendapatkan posisi sebagai menteri dalam kabinet adalah boleh jadi dari hasil kolusi dan nepotisme.
Bisa disebut kolusi karena masing-masing parpol koalisi mendapat jatah kursi dalam kabinet, dan disebut nepotisme karena ada kursi menteri (atau jabatan lainnya) yang diisi oleh kerabat atau keluarga sang penguasa. Sehingga postur kabinet seperti ini hanya nampak bagai sekelompok “mumi” yang bekerja sebagai “alat” untuk lebih banyak mendahulukan kepentingan partainya daripada untuk rakyat.
Parahnya, para politisi yang dilibatkan dalam Kabinet Mumi itu seakan tanpa beban dan merasa tidak berdosa selalu “terpanggil” melakukan berbagai cara dan upaya untuk memperkaya diri sendiri serta kelompoknya, baik dalam bentuk korupsi maupun dengan menyelewengkan jabatannya.
Dan jauh dari itu, suasana dalam Kabinet Mumi seperti ini juga akan hanya cenderung “memaksa para penghuninya” (kalangan parpol) untuk senantiasa saling mengintai dan bahkan saling menjatuhkan satu sama lainnya. Akibatnya, bisa dipastikan “Kabinet Mumi” yang lebih banyak diisi menteri dari kalangan parpol itu pun sangat sulit mencapai kinerja maksimal dan optimal untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Semua itu bisa terjadi dan dilakukan oleh para “mumi” dalam kabinet tersebut karena merasa setiap tindakannya selalu akan diproteksi atau paling tidak akan mendapat pembelaan dari internal partai politiknya ketika mendapatkan masalah hukum dan lain sebagainya.
Hal ini tentu berbeda jauh jika sebuah kabinet nantinya bisa lebih banyak diisi oleh menteri dari kalangan profesional yang benar-benar independen, yakni orang-orang yang tidak sedang berada dalam naungan atau kedekatan dalam sebuah parpol tertentu, maka kabinet tersebut tentulah bisa berjalan dan dijalankan secara benar-benar fokus untuk kepentingan rakyat secara luas tanpa diikat ketentuan “embel-embel” dari internal partai tertentu.
Sehingga itu, rakyat tentunya sangat berharap agar kabinet Jokowi-JK yang akan terbentuk nantinya adalah benar-benar sebuah kabinet yang berideologi Pancasila dan Trisakti, yakni kabinet yang dapat dijalankan secara tepat dari orang-orang tepat yang diyakini juga berkarakter serta berideologi Pancasila dan Trisakti.
Memang, untuk mencari orang-orang berkarakter dan berideologi seperti yang dimaksud sangatlah sedikit jumlahnya. Dan tipe orang sepeti itu pun hanya lebih banyak berasal dari kalangan profesional yang independen (non-partai), yang dinilai matang karena pengalamannya yang telah teruji dalam bentuk pengabdian di bidangnya, dan senantiasa konsisten berbuat serta berkiprah demi tercapainya sebuah perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.
Dan semoga saja, Jokowi-JK benar-benar bisa memilih orang-orang profesional yang independen yang berkarakter serta berideologi Pancasila dan Trisakti untuk segera ditempatkan dalam kabinet sebagai menteri, bukan “mumi” yang hanya lebih banyak “dibalut dan diikat” oleh aturan-aturan serta penekanan-penekanan dari kekuatan politik yang menaunginya. Kita tunggu...!!!!