“WADUHHH... Hilman, bangun nak, ayo bangun dulu!” ucapku pelan setelah kumendadak terbangun akibat lengan kiriku tak sengaja menyentuh ompol si Hilman di kasur lipat, bocahku yang kini masih berusia 4 tahun 10 bulan itu.
Tanpa menunggu matanya terbuka, Hilman sudah langsung kubopong ke kamar mandi. Di sana, baju dan celananya kulepas. Ia mendengkus saat bokongnya kusirami air, matanya pun telah terbuka ketika usai membasuh wajahnya yang mungil.
“Hilman ngompol lagi, sayang,” bisikku ke telinganya seraya menggendongnya menuju kamar kakak-kakaknya untuk memakaikannya kembali baju dan celana.
“Lia, Aas, kenapa kalian belum bangun? Ayo bangun dong, sayang!” ajakku kepada kedua putriku sambil kududukkan Hilman di tepi bed-cover. Namun merasa empuk, Hilman pun bergegas merebahkan tubuhnya. Aku tersenyum melihat tingkahnya seraya melemparkan pandanganku ke jam dinding, serta ke sudut-sudut kamar yang masih terlihat berantakan, ada beberapa lembar pakaian kotor dan buku-buku pelajaran yang masih berserakan.
“Sudah jam 9, kenapa mereka belum bangun juga, ya?” bisikku dalam benak terhadap kedua putriku yang masih terlihat nyenyak memeluk bantal guling mereka masing-masing, pada Minggu pagi itu, 7 September 2014.
Seusai kupakaikan baju dan celana, Hilman berseru, “Papa, lapar, Iman mau makan nasi minyak garam.”
“Iya tunggu, Papa mau bersihkan dulu kencingnya Hilman di kasur tadi. Setelah itu Papa siapkan makan buat Hilman, ya, sayang,” bujukku untuk menuju kasur lipat yang terletak di depan meja kerjaku.
Tetapi baru saja kakiku ingin kutuntun ke luar kamar, Aas putriku yang kedua bersuara, ”Papa, paa... Aas sakit.”
Bergegas kubalikkan badanku menuju dan menggapai dahinya, lalu meraba lehernya. “Loh, Aas kamu demam, nak. Semalam kamu tidak tidur, ya?”
Belum sempat Aas menjawab kecemasanku, Lia putri pertamaku ikut merintih, “Paaa..., Lia juga demam.”
“Astaga, minum obat, ya, sayang?! Semalam memang kalian makan apa, sampai harus demam bersamaan gini?” tanyaku makin cemas.
Buru-buru aku beranjak ke depan cermin untuk sedikit memperbaiki rambutku yang masih kusut dengan sisir.
“Papa mau ke warung sebelah dulu beli obat,” cetusku kepada kedua putriku.
Hilman yang sejak tadi melongok di pintu kamar memperhatikanku juga seakan merasa paham dengan kondisi yang sedang dialami oleh kedua kakaknya. Ia bahkan seakan bisa bersabar untuk melupakan sejenak pesanan makanannya.
“Hilman. Sebentar Papa bikinin makanannya, ya, sayang. Kita ke warung dulu, yuk!” ajakku sambil meraih tangannya yang sudah diulurkannya.
Memang, sejak istriku meninggal akibat mendarahan saat usai melahirkan pada awal Juni 2014 lalu (bayinya ikut berpulang), Hilman selalu ngotot untuk selalu berada di sampingku, termasuk ketika aku harus bekerja di depan komputer, dan juga di saat aku istirahat meluruskan badan di kasur lipat yang kusediakan di dekat meja kerjaku.
Di warung, ada tiga macam obat tablet yang aku beli. Masing-masing obat pereda demam, sakit kepala, dan obat flu. Tak ketinggalan untuk sedikit menambal lapar si Hilman, aku biarkan dirinya untuk mengambil sebungkus roti coklat kesukaannya.
Tiba di rumah, kukatakan kepada kedua putriku untuk jangan dulu meminum obatnya. “Kalian harus makan dulu, baru itu obatnya bisa diminum. Jadi harus sabar dulu Papa mau bikinin bubur dulu, ya, sayang?!”pintaku seraya mengelus rambut keduanya.
Tidak harus menunggu lama, sekitar 15 menit buburnya pun sudah bisa kusajikan di kamar kedua putriku. Meski porsi buburnya tidak mereka habiskan, namun yang penting obatnya menyusul bisa mereka minum, hingga keduanya pun kembali terlelap.
Namun pada sore di hari yang sama, ketika keduanya kembali kutengok di kamar, demam dan panas suhu badan mereka ternyata belum juga turun-turun. “Papa ke apotik saja mau cari obat sirup. Kalian di rumah saja, ya, sayang?!” kataku.
“Tidak. Saya mau ikut,” sahut Lia saat masih terbaring namun pelan membalikkan kepalanya seraya menatap Aas, seakan mengajak adiknya itu untuk ikut ke apotik.
Aku mengizinkan untuk ikut keluar mencari obat setelah keduanya mengaku masih bisa menahan dan tidak memaksakan diri.
Ada dua macam obat sirup yang aku beli di apotik. Kedua-duanya sirup, namun beda rasa dan komposisi, tetapi sama-sama pereda demam dan penurun panas.
Sayangnya, dua upaya yang kulakukan mengadakan obat itu tidak membuat sakit kedua putri itu jadi pulih.
Akhirnya, malamnya kuputuskan untuk mengundang suster yang biasa melayani warga sekitar agar memeriksa kondisi kesehatan kedua putriku. Masalahnya, Senin besok (8 September 2014) mereka harus bersekolah.
Tidak mudah menghadirkan suster tersebut, harus berkali-kali menghubunginya. Ia baru tiba jelang pukul 22.00. Ia langsung menyuntik kedua putriku dan memberinya empat jenis obat table dengan ukuran serta bentuk yang berbeda. “Demam begini memang lagi musimnya, Pak,” ujar suster bertubuh mungil itu, usianya kira-kira 45 tahun, lalu mohon pamit.
Namun upaya ketiga dengan melibatkan suster untuk memulihkan kondisi kesehatan kedua putriku ini tidak membuahkan hasil sebagaimana yang kuharapkan. Sehingga keesokan harinya, aku terpaksa menulis surat izin (sakit) lalu mengantarkannya ke sekolah mereka masing-masing.
Situasi yang membuatku sangat cemas itu berlangsung hingga Selasa (9 September 2014). Masalahnya, kedua putriku menolak untuk diperiksakan ke dokter. Nampaknya mereka trauma berhadapan dengan dokter, karena mereka tahu bahwa ibunya menghembuskan nafas terakhir di atas meja operasi.
Selasa malam (9 September 2014) sekitar pukul 20.30, sebelum tidur, aku mendatangi kedua putriku di kamarnya karena mendengar keduanya sedang tersedu-sedu sambil menyebut dan memanggil ibunya. Bahkan, Aas menyempatkan menulis status di BBM-nya: “Mama... pulang saja. Jangan pergi, plis”
Sungguh aku ikut sedih sekali, dan semakin tak tahan melihat keduanya yang seakan larut dalam kesedihan mendalam. Mereka seakan tak punya semangat. Dan aku tak tahu harus berbuat apa untuk bisa menenangkan perasaan mereka.
Dalam kondisi seperti itu, aku lalu meraih tangan mereka dan meminta waktu untuk dapat kuceritakan sebuah kisah nyata tentang kesedihan yang bisa berbuah sukses.
“Lia, Aas. Papa tidak tahu mau bikin apalagi. Tapi Papa mau ceritakan sebuah kisah nyata, kisah yang jauh dan sangat-sangat jauh sedihnya dibanding kesedihan kalian. Apa kalian mau mendengarkannya!?” ucapku seraya diikuti anggukan kepala dari keduanya, tanda siap untuk mendengarkannya.
“Kalian tahu kan Pak Rizal Ramli? Temannya Papa itu, yang juga tokoh nasional yang sering Papa tulis dalam artikelnya Papa selama ini?” tanyaku yang lagi-lagi diikuti anggukan kepala dari kedua putriku.
“Kesedihan yang kalian alami saat ini sebetulnya tidak seberapa dibanding kesedihan yang pernah dialami oleh Pak Rizal. Beliau itu orang Padang, tetapi apa kalian tahu kenapa beliau bisa sampai menjadi orang Jawa?” tanyaku lagi. Dan kali ini keduanya menggelengkan kepala.
“Jadi begini ceritanya. Pak Rizal itu memang lahir di Padang. Tapi saat beliau masih usia 6 tahun ibunya sudah meninggal dunia. Dan setahun berikutnya, ayahnya Pak Rizal juga menyusul wafat. Bisa tidak kalian bayangkan, bagaimana sedih dan susahnya seorang anak yang masih berusia tujuh tahun tapi sudah tidak punya ibu dan bapak lagi? Nah, dari situ, Pak Rizal harus dirawat oleh neneknya yang tinggal di Bogor. Dan ketika itu Pak Rizal mulailah menjadi orang Jawa. Beliau disekolahkan dari SD, SMP, SMA di Bogor.
Sayangnya, neneknya hanya bisa membiayai sekolahnya sampai tamat SMA. Selebihnya Pak Rizal sendiri yang harus bisa membiayai sekolah dan hidupnya tanpa bantuan dari kedua orangtuanya lagi. Jiwa dan semangat beliau agar bisa menjadi orang sukses yang berguna buat bangsa dan negara ini begitu sangat tinggi. Beliau kerja apa saja yang penting halal demi meraih cita-citanya itu. Beliau berhasil mendapatkan beasiswa belajar di Universitas Boston di Amerika hingga jadi doktor bidang ekonomi. Hingga akhirnya, Pak Rizal Ramli sang anak yatim piatu sejak bocah itu pun berhasil menjadi seorang menteri, dan bahkan kemarin-kemarin beliau termasuk tokoh yang disebut-sebut cocok menjadi seorang presiden.
Papa mau mengajak kalian agar juga bisa bersemangat dan berjiwa besar seperti Pak Rizal, jangan mau larut dalam kesedihan. Mama di alam sana pasti ikut bangga dan gembira kalau kelak kalian ternyata juga bisa menjadi orang-orang sukses yang berguna buat bangsa dan negara ini dan untuk kebaikan banyak orang,” pungkasku mengakhiri sepenggal kisah tentang diri Rizal Ramli.
“Ooo... jadi Pak Rizal waktu masih kecil sudah yatim piatu, ya, Pa? Luar biasa Pak Rizal bisa jadi menteri padahal tidak punya orangtua lagi. Jarang sekali, bahkan mungkin di dunia ini cuma ada satu anak yatim piatu yang bisa sukses menjadi menteri, yaitu Pak Rizal Ramli,” tutur Aas diikuti kata “iya ya” dari Lia.
“Ya, begitulah kenyataannya. Nah, ini sudah larut malam. Kalian istirahat dan tidurlah dulu, semoga besok kalian bisa kembali bersekolah!” pintaku sambil mengatur bantal dan mengelus-elus kedua rambut putriku.
Sekitar pukul 5.30 pagi, aku kembali menengok Lia dan Aas di kamar mereka. Dan aku bersyukur, setelah kuraba dahi keduanya, ternyata demam dan suhu panas badannya sudah turun drastis. Hingga seperti biasanya, akupun bergegas menyiapkan kebutuhan sekolah mereka, termasuk membuatkan nasi goreng spesial buat mereka bawa sebagai sarapan di sekolah.