(AMS, opini)
DALAM Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO pada 3-6 Desember 2013 di Bali kembali menegaskan bahwa liberalisasi yang menjadi agenda perjanjian dalam WTO bertolak belakang dengan cita-cita keadilan sosial.
Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli menilai, bahwa bergabungnya Indonesia dengan WTO selama sembilan belas tahun kebelakang arahnya hanya menuju ke neoliberalisme, dan sudah sangat menjauh dari cita-cita nasional.
Pertemuan KTM-9 WTO dengan tiga agenda fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture) adalah upaya negara-negara maju untuk memperluas krisis di Indonesia dengan mengeksploitasi kekayaan alam atas nama investasi besar-besaran, dan bahkan memukul lalu merontokkan produk pangan lokal atas nama serbuan pangan impor serta upaya pelepasan peran negara dengan mencabut subsidi pertanian.
Dampak dari semua itu tentu saja adalah pemiskinan strukutural yang masif karena lemahnya akses terhadap sumber kekayaan alam yang diliberalisasi.
Dan liberalisasi tersebut terbukti semakin menyengsarakan kehidupan petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan rakyat kecil lainnya. Salah satu misalnya, adalah liberalisasi sumber agraria juga telah melahirkan konflik agraria struktural yang makim masif.
Libido negara maju yang menghendaki negara berkembang mencabut subsidi pertanian adalah bukti bahwa negara maju menginginkan masuknya negara berkembang dalam skema perdagangan bebas yang liberal.
Di negara maju sendiri teknologi dan keahlian serta modal mendorong perkasanya sektor pertanian negara maju, sementara negara maju meminta negara berkembang untuk menghilangkan peran pemerintah dalam melindungi petani lokal dan mencabut subsidi pertaniannya. Negara maju juga terbukti memberi subsidi yang begitu besar bagi petaninya, AS tercatat menngelontorkan sekitar US$ 130 M (2010) sementara di Eropa US$ 106 M (2009). Sementara Indonesia hanya menganggarkan 2.5% dari total anggaran dalam RAPBN 2014.
Sejak Indonesia bergabung dengan WTO yang ditandai dengan ratifikasi perjanjian pembentukan WTO pada November 1994 melalui Undang-undang No.7/1994 Indonesia telah terjebak dalam skema liberalisasi perdagangan dan upaya penghilangan peran-peran negara dalam memproteksi ekonomi nasional.
Pemerintah sejak saat itu telah menciptakan sebuah lingkungan mendukung liberalisasi perdagangan seperti penurunan tarif serta menghapuskan hambatan impor. Secara terang benderang praktek liberalisasi yang menjadi resep badan internasional bernama WTO antara lain: Perluasan Akses Pasar dan Mekanisme Pasar; Harmonisasi Tarif; Most Favoured Nations (MFN); National Treatment (NT); Penghapusan Restriksi Kuantitatif dan Liberalisasi Progresif telah mengamputasi kedaulatan ekonomi nasional.
Hingga saat ini WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sehingga itu, perjanjian ‘Bali Package’ yang disepakati dalam forum konfrensi tingkat menteri (KTM) WTO di Bali beberapa waktu lalu itu, menurut Rizal Ramli, adalah sebetulnya makin menunjukkan sikap Indonesia yang pro-kepentingan negara maju.
“Indonesia nggak jelas karena selalu berjuang demi kepentingan negara maju,” ujar Rizal Ramli, Capres paling ideal itu pada sela-sela diskusi Pekan Politik Kebangsaan bertajuk ‘DPR Dambaan Rakyat’ di Gedung ICIS, Jakarta, Rabu (11/12).
Di lain pihak, Rizal Ramli yang kini juga selaku Ketua Umum Kadin itu menyatakan kekagumannya pada India dan Brazil karena mau menolak kebijakan pengaturan subsidi pertanian oleh WTO tersebut, karena urusan pangan menyangkut nasib miliaran orang warga negaranya.
“Sedangkan Indonesia, apalagi zamannya Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) itu diperjuangkan sekali kepentingan asing,” pungkas Rizal Ramli yang juga dikenal sebagai Capres paling giat melawan korupsi.