MAKNA gravitasi yang saya maksud di sini adalah sebuah kekuatan yang mampu membuat suatu pemerintahan bisa tetap kembali berpijak di atas penguasa yang sama. Ibarat bola yang dilempar ke atas, akan tetap kembali turun karena adanya kekuatan gaya tarik bumi.
Sedangkan gratifikasi dalam hal ini, adalah sebuah hadiah yang diberikan atas balas jasa terhadap suatu hasil pekerjaan. Baik berupa uang, barang, jabatan, wanita penghibur, dan segala yang mampu memberi kepuasan lainnya.
Namun judul artikel ini adalah sebuah pertanyaan. Yang selanjutnya, dari hasil perenungan, baik secara analisis politik maupun dengan melibatkan pemikiran rasio saja, maka jawabannya bisa dirangkai ke dalam beberapa pandangan yang dapat dilukiskan menurut kondisi yang ada saat ini.
Pandangan dan penilaian pertama yang memang nampaknya mendekati kebenaran adalah datangnya dari Mantan Menko Perekonomian, DR. Rizal Ramli (RR1) yang dengan tegas menyebutkan, bahwa Boediono sangat patut diduga telah menerima gratifikasi (hadiah) dalam bentuk jabatan. Yakni terpilih sebagai Cawapres mendampingi SBY dalam Pilpres 2009.
Menurut RR1, Boediono mungkin tidak menerima dana dari bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tetapi patut diduga lantaran “berhasil” mengubah peraturan mengenai capital adequacy ratio (CAR) yang memungkinkan Bank Century mendapatkan suntikan dana talangan, Boediono pun akhirnya mendapatkan sogokan dalam bentuk lain, yakni jabatan.
Dari pendekatan analisis politik dan pemikiran rasio saya, dugaan RR1 itu sangat sulit dibantah. Artinya, apa yang dikatakan oleh RR1 tersebut bukan hanya sebagai aksioma, tetapi juga adalah sebuah logika yang sangat mendekati kebenaran. Dan pembuktiannya hanya dapat dimunculkan oleh KPK. Itupun jika KPK memang ingin benar-benat serius untuk segera memunculkan kebenarannya.
Disebut logika yang sangat mendekati kebenaran, karena mengapa Boediono bisa secara tiba-tiba ditunjuk menjadi Cawapres 2009 setelah berhasil mengucurkan dana Rp.6,7 Triliun, padahal Boediono bukanlah kader Partai Demokrat atau dari partai lainnya, juga tak ada kinerja yang patut ditunjuk sebagai prestasi dari Boediono. Sehebat itukah Boediono sehingga bisa mengalahkan Bakal Cawapres 2009 yang saat itu tengah digodok oleh Partai Demokrat?
Dari logika tersebut, saya kira bukan hanya RR1 yang menduga kuat jika jabatan Boediono saat ini adalah hasil “gratifikasi”, tetapi juga hampir semua rakyat Indonesia akan berpikiran sama. Termasuk kalangan parpol lainnya yang saat itu telah mengajukan dan memasukkan nama kader mereka untuk dipilih sebagai cawapres 2009, namun tiba-tiba hanya Boediono yang dipilih. Sehingga sepertinya pengacara keluarga SBY keliru jika hanya melayangkan somasi kepada RR1.
Apalagi kenyataannya Bank Century memang sedang bermasalah dan menjadi salah satu kasus korupsi papan atas saat ini. Sehingga siapa pun secara langsung atau tidak akan bisa membentuk sebuah pemikiran yang mengarah kepada sosok Boediono. Terhadap kasus tersebut, maka pemikiran politiknya adalah bisa menempatkan Boediono sebagai penerima gratifikasi. Dan secara pemikiran hukum, Boediono pun sebetulnya sudah patut dijadikan tersangka karena posisinya saat itu adalah sebagai penanggung-jawab, yakni Gubernur BI.
Selain menurut RR1 yang menyebut dugaan gratifikasi yang membuat Boediono terpilih jadi cawapres, juga menurut pemikiran saya yang lebih melihat Boediono sebagai sosok yang nampaknya sangat mudah dikendalikan oleh SBY dibanding dengan sosok cawapres yang diajukan saat itu oleh parpol koalisi.
Sepertinya SBY memang sangat kuatir jika harus memilih cawapres dari salah satu kader parpol koalisi. Yakni kuatir jangan-jangan nantinya akan “digoyang” oleh pasangannya (wapres) karena berasal dari kalangan parpol. Sehingga, meski dinilai minim prestasi, Boediono pun menjadi pilihan SBY.
Saya bisa menduga, bahwa alasan SBY harus memilih Boediono nampaknya terbilang “licik”, yakni supaya pemerintahan bisa berjalan aman dan tidak terusik meski harus melakukan kebijakan apapun. Sebab Boediono sebagai Wapres tentunya diyakni lebih patuh dan tunduk kepada SBY dibanding jika wapresnya berasal dari kalangan parpol lainnya.
Persoalannya kemudian adalah: apa yang bisa dipersembahkan sebagai kontribusi nyata dari seorang Boediono untuk menduduki jabatan Wapres…??? Pertanyaan inilah sebetulnya yang memaksa orang untuk akhirnya harus memunculkan pandangan bahwa cerita mati (omong kosong) jika Boediono tidak melakukan “apa-apa” lalu kemudian bisa dengan mudahnya dipilih sebagai cawapres, sampai-sampai bisa mengalahkan calon-calon kuat dari parpol koalisi lainnya.
Dugaan gratifikasi dalam pemerintahan SBY sepertinya tidak hanya sampai kepada posisi Wapres. Dan untuk memperkuat serta mengamankan pemerintahannya, SBY juga patut diduga telah memberikan gratifikasi kepada sebagian besar menterinya. Besar dugaan saya salah satunya adalah Dahlan Iskan (DI), dari dirut PLN lalu menjadi Menteri BUMN. Apa hebatnya…???
DI memang sangat hebat karena mampu “membantu” suksesnya pencitraan SBY di seluruh media cetak jaringan Jawa-Pos Grup mulai sejak Pilpres 2004 hingga 2009 silam.
Sedikit tentang DI yang saya tahu, meski hanya sepintas tetapi menyimpan bekas dalam ingatan. Yakni, (mencoba mengingat) sebelum saya mengundurkan diri dari Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 1999. Pertama kali saya melihat langsung DI sekitar tahun 1997. Yakni pada sebuah rapat kerja (Raker) akhir tahun redaksi di lantai III Harian FAJAR, Jalan Racing Center Makassar.
Kala itu DI tiba-tiba nongol dan bergabung dalam rapat. Seluruh wartawan, kecuali petinggi FAJAR, bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan “gembel” yang berani masuk ke dalam ruangan rapat pada hari itu. Sebab, DI hanya tampil “kusut” memakai baju oblong dan celana pendek putih, juga bersepatu merek “dragon-fly” putih, membuat kulit tubuhnya yang hitam makin jelas terlihat.
Setelah diperkenalkan oleh Wapemred Aidir Amin Daud (kini menjabat salah satu Dirjen di Kemenkumham), barulah teman-teman sesama wartawan mengetahui bahwa “gembel” itu ternyata “The Big-Boss”. Seketika kita semua yang hadir dalam rapat tersebut merasa salut dengan karakter DI yang amat sederhana itu.
Sayangnya, keluhan dan masukan yang ingin ku sampaikan secara langsung usai DI memberikan sambutan dan arahan dalam rapat tersebut, enggan ia dengar. Saat ku sapa di antara sedikit kerumunan teman-teman, DI hanya berlalu begitu saja dikawal sejumlah petinggi Harian FAJAR. Dan sejak itu, saya menilai DI tidak punya sensitivitas sebagai seorang “big-boss”.
Kembali mengenai gratifikasi. Pemerintahan SBY nampaknya hanya “dihuni” oleh orang-orang yang telah memberikan “jasa” besarnya saat momen suksesi (Pilpres) tanpa diikuti dengan pertimbangan latarbelakang keahlian dan keprofesionalan seseorang.
Selain DI, tentu ada beberapa menteri atau pejabat yang diduga bisa menduduki jabatan saat ini karena pula sebuah “gratifikasi”. Bukankah saat ini seluruh parpol koalisi bisa mendapat jatah posisi sebagai menteri (atau jabatan lainnya) karena hanya dinilai “berjasa” telah menyumbangkan suara kemenangan SBY-Boediono..???
Jika memang hanya pertimbangan “jasa” seseorang bisa menjadi wapres atau menteri dan pejabat negara lainnya, maka pantas saja Bangsa dan Negara ini sulit berkembang secara pesat karena sebagian besar pejabat lebih merasa jabatannya adalah sebagai “imbalan” yang layak untuk “hanya dinikmati”, bukan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung-jawab.
Dan apabila cara-cara seperti ini yang menjiwai terbentuknya sebuah pemerintahan, maka rakyat miskin tetap menjadi miskin dan tidak akan mendapatkan kesejahteraan sampai kapan pun. Sebab, Sang Penguasa tentu hanya lebih banyak berpihak kepada Sang Pemberi Jasa. Dan kondisi ini umumnya juga terjadi di hampir semua daerah di tanah air.
Sehingga, jika KPK tak juga bisa menuntaskan kasus Bank Century yang diduga Boediono adalah sosok yang paling bertanggungjawab, maka jangan salahkan jika publik kemudian juga memunculkan dugaan bahwa: “jangan-jangan KPK saat ini juga bagian dari hasil gratifikasi? Atau mungkin KPK sudah berada di wilayah gravitasi sang Penguasa?”