(AMS, reportase)
HEMBUSAN angin masih nampak membelai nyiur-nyiur di tepi pantai, laksana menari-nari diiringi sahdunya irama desiran ombakdi hamparan laut yang seakan bersorak-sorai lalu menepuk-nepuk bibir pantai Desa Deme I, Kecamatan Sumalata-Timur, Kabupaten Gorontalo Utara.
Di siang itu, ada sejumlah perahu nelayan tradisional dan katinting yang menapak di tepian pantai. Meski terik matahari terasa menyerap di pori-pori kulit, namun beberapa bocah masih ada yang terlihat berlarian, sesekali mereka melempar sebilah kayu ke laut, lalu berembutan meraih kayu tersebut, kemudian melemparnya kembali. Seakan sengatan matahari di siang yang sangat menyilaukan itu tak dirasakan oleh mereka. Nampaknya permainan lempar kayu ini hanya sebagai pengisi waktu untuk menunggu ayah-ayah mereka pulang melaut mencari ikan.
Di kejauhan mata memandang di hamparan laut, memang terlihat beberapa perahu tradisional, juga nampak beberapa pulau kecil, dan terasa memukau hati untuk bisa mengunjunginya.
——————————
SEPERTI biasanya, jika berlibur ke kampung istri saya, di Desa Deme I Kecamatan Sumalata Timur, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, tak lengkap rasanya kalau belum turun ke laut mencari ikan bersama sejumlah nelayan di sana.
Banyak yang bisa kukagumi setiap kali berada di desa ini, mulai dari masyarakatnya yang sangat santun, ramah dan bersahabat, hingga kepada kekayaan alamnya yang sangat berpotensi untuk dikembangkan, seperti kekayaan laut yang begitu melimpah termasuk potensi wisata bahari, serta kondisi lahan subur untuk pertaniannya.
Namun di balik kekagumanku, terselip pula sejumlah hal yang masih kerap diabaikan oleh Pemda setempat, yang membuat kepala hanya bisa miring bergeleng-geleng. Misalnya kondisi sosial-ekonomi warga Desa Deme I yang masih nampak sangat terpuruk, juga dengan minat generasi mudanya yang masih rendah untuk menggali bakat dan keterampilan kerja, karena tingkat pendidikan yang kurang memadai. Juga dengan mata-pencaharian warga yang tidak menetap, kadang minggu ini sebagai nelayan, minggu berikutnya sebagai petani.
“Kita-kita yang ada di sini hidup cuma lebih banyak mengikuti naluri. Kalau lagi suka turun ke laut, ya…kita turun lagi ke laut cari ikan. Kalau lagi suka ke kebun, yaa… ke kebun lagi cari sayur, rica (lombok) untuk makan,” ujar sejumlah warga.
Sangat memprihatinkan memang, desa yang memiliki kekayaan laut yang melimpah ini, dan lahan pertanian yang subur, namun ekonomi warganya sebagian besar masih di bawah garis kemiskinan. Mereka sangat sulit berkembang karena pemerintah belum mampu memberdayakan potensi yang mereka miliki. Contohnya, jumlah perahu kecil tradisional yang ada di desa ini hanya bisa dihitung jari, nelayan yang ingin melaut harus bergantian saling pinjam-meminjam perahu.
Sehingga, desa ini boleh dikata sampai saat ini masih sangat terbelakang karena kurang tersentuh oleh pembangunan. Desa ini akan tiba-tiba ramai dan warganya bisa mendadak jadi sibuk apabila mendekati hajatan Pemilukada, ataupun pemilu. Setelah itu, desa ini pun kembali sunyi-senyap.
Artinya, masyarakat di sana tak bisa berbuat banyak karena “jatah” pembangunan hanya lebih diarahkan ke desa-desa lainnya. Kalaupun ada, maka tak jarang warga hanya menerima “ampasnya”.
Untuk menembus jalan menuju pantai di desa ini saja telah “beribu-ribu kali” dilakukan pengukuran, baik dari pemkab maupun dari pemprov. Namun hanya sekali dilakukan pengerjaan aspal sekitar 5 tahun lalu, itupun terkesan asal-asalan. Sebab jalan itu, kini kembali berlubang-lubang. Singkat kata, jalan desa ini masih kurang memadai.
Menariknya, desa ini memiliki pantai yang sebetulnya amat indah, hamparan lautnya menawarkan banyak tontonan alam yang bisa menyejukkan hati. Saya bahkan setiap berada di sana, selalu betah berlama-lama duduk bersandar di bawah teduhnya pohon kelapa sambil menikmati belaian angin yang begitu memanjakan perasaan.
Mata pun begitu segar memandang di kejauhan, leluasa menatap burung-burung yang sesekali bermain di atas hamparan laut yang terbentang, lengkungan garis pantai yang menjorok ke laut, kepulan-kepulan awan putih yang terbentuk di langit biru, gulungan ombak-ombak kecil yang saling berburu ke tepian. Sejumlah pulau pun dapat disaksikan dari pantai Desa Deme I ini.
Ada satu pulau kecil yang menarik hati untuk bisa saya kukunjungi, namanya Pulau Pepaya. Sebelumnya, pulau berpasir putih berkilau ini hanya selalu saya perhatikan dari kejauhan karena waktu belum cukup menuntunku ke sana. Bahkan penduduk di desa ini pun ada yang mengaku belum sempat ke pulau itu. Namun bagi para nelayan di sana, Pulau Pepaya ini biasa dijadikan sebagai tempat beristirahat di kala mereka sedang kelelahan.
Menurut sejumlah nelayan, hawa di pulau tersebut begitu terasa sejuk sehingga dapat memulihkan kelelahan, dan bisa membuat pikiran jadi tenang damai.
Namun informasi itu belum membuat saya puas, bahkan saya kian penasaran. Rasa penasaranku akhirnya disambut ajakan dari Kak Witi, Puruji, dan Muri. Ketiganya adalah nelayan di Desa Deme I ini yang siap menemaniku ke Pulau Pepaya tersebut. Ada Ono (ipar istriku) juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk turut dalam perjalanan itu.
Untuk menuju ke pulau ini, kami menggunakan dua perahu tradisional, mirip sampan. Tetapi hanya satu perahu yang bermesin 4,5 PK. Sehingga perahu yang tak bermesin harus ditarik dengan menggunakan seutas tali setebal jari kelingkin.
Sayangnya, kedua perahu itu adalah milik nelayan lain, sehingga kami tak bisa berlama-lama memakainya. Dengan mengisi bensin 3 liter, kami pun berangkat pukul 14.35.
Saya bisa melihat Desa Deme I dan beberapa desa tetangga lainnya setelah perahu menjauh dari daratan, bahkan Gunung Boliohuto dan sejumlah bukit dapat dengan mudah kuamati ketika telah kira-kira berada di pertengahan jalan.
Mendekati Pulau Pepaya, di antara luasnya air laut yang biru ternyata terdapat air hijau yang nampak begitu jernih dan bening, sehingga terumbu karang di dalam air itu dapat terlihat dengan jelas.
Kami baru tiba sekitar pukul 15.30. Dan ini untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau yang tak berpenghuni itu. Sungguh, pasirnya betul-betul putih berkilau, bahkan saya seakan tak sanggup memandang kilauannya karena diterpa cahaya matahari yang menyelimuti pasir. Untungnya, saya sempat membawa kaca-mata hitam.
Tidak jauh dari bibir Pantai Pepaya, terpajang papan yang tulisannya banyak yang tak bisa lagi kubaca karena catnya telah mengelupas. Meski begitu, huruf-huruf yang agak besar masih bisa saya eja, yang bertuliskan: “Lokasi Peneluran Penyu”.
Ternyata bukan hanya kami yang hari itu berada di Pulau Pepaya, ada dua orang nelayan yang sedang istirahat, mereka adalah Baali Dau dan cucunya yang rupanya lebih dulu tiba, juga dengan menggunakan perahu menyerupai sampan. Bahkan Baali Dau kulihat sedang memegang susunan tulang yang menyerupai fosil ekor hewan. Setelah kuamati, tulang itu adalah rangka seekor ikan, ukurannya kira-kira 1 meter, tapi entah itu ikan apa. Yang jelas saya berminat untuk membeli dan memilikinya. Dan Baali Dau pun ternyata tak keberatan jika tulang itu kumiliki.
Menurut Baali Dau, tulang itu ia dapatkan di Pulau Pepaya yang terdampar di beberapa bulan lalu. Kepala dan rangka tulang itu ditemuinya dalam keadaan tak bersambungan, dan sedikit masih menyisakan sedikit bau amis, tanda bahwa ikan itu belum lama mati.
Di pulau ini memang bisa ditemui banyak barang-barang bekas yang terdampar, ada botol-botol minuman energy drink, sandal, sepatu, mainan anak, dan lain sebagainya.
Kedatangan pertamaku di Pulau Pepaya ini ternyata telah diawali dengan satu penemuan tulang rangka. Dan ini sekaligus kuanggap sebagai awal yang baik dalam menilai Pulau Pepaya ini. Ada bayangan yang langsung terpikirkan tentang pulau ini, yakni sungguh begitu sangat berpotensi untuk dijadikan lokasi wisata.
Bagaimana tidak, selain memiliki pasir putih yang berkilau, pulau ini juga banyak ditumbuhi pohon pinus dan hawa udara yang menyejukkan.
Menurut Kak Witi, pulau ini memang dulunya sangat banyak ditumbuhi Pohon Pepaya, namun karena para nelayan setiap kali mampir beristirahat, mereka pasti makan Pepaya dan bahkan tak jarang mereka bawa pulang.
“Sekarang Pohon Pepaya di pulau ini tinggal sedikit yang bisa ditemui, karena banyak yang ditebang. Beberapa di antaranya memang mati sendiri,” kata Kak Witi seraya menambahkan bahwa Pulau Pepaya ini tak ditumbuhi Pohon-pohon Kelapa seperti layaknya di pulau-pulau lain.
Nampaknya, pulau ini tak begitu terawat dan terkesan dibiarkan begitu saja. Ini dapat dilihat dari kondisi di beberapa titik tepian Pulau Pepaya ini banyak ditemui pohon kayu yang telah tumbang berserakan. Beberapa di antaranya juga adalah kayu-kayu yang terdampar di pulau ini.
Ada hal menarik yang diungkapkan Kak Witi tentang sebuah pantangan bagi orang yang datang berkunjung ke pulau ini. Yakni, katanya, jangan sekali-kali membakar ikan dengan menusuk dari mulut hingga ke ekornya. “Kalau itu dilakukan maka perut akan melilit kesakitan setelah memakan ikan itu,” katanya.
Namun sebagai tempat yang memiliki hawa yang menyejukkan, Pulau Pepaya tak henti-hentinya kubayangkan bisa menjadi lokasi wisata yang sangat dibutuhkan oleh para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik.
Itu akan bisa diwujudkan andai saja Pulau Pepaya yang mungil ini bisa dibangun sejumlah cottage atau villa serta beberapa fasilitas pendukung wisata bahari lainnya. Sekaligus jika ini betul-betul bisa diwujudkan, maka tentu akan berdampak positif terhadap ekonomi warga setempat.
Menurut informasi, sebetulnya mantan Presiden B.J Habibie pernah mengajukan maksud untuk membeli beberapa pulau yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara ini, termasuk Pulau Pepaya. Tapi Pemerintah Kabupaten Gorontalo yang kala itu masih membawahi pulau ini enggan memenuhi keinginan tersebut.
Kini, Pulau Pepaya ini telah dibawahi oleh Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut). Gorut sendiri adalah hasil pemerkaran dari Kabupaten Gorontalo. Sehingga Pulau Pepaya beserta pulau-pulau lainnya boleh jadi akan mulai diancang-ancang untuk dijadikan obyek wisata, yang tentunya tidak lain nantinya akan mendatangkan keuntungan buat Kabupaten Gorontalo Utara sendiri.
Karena sejauh ini, Kabupaten Gorut sebetulnya adalah daerah yang sangat subur dan banyak mengandung potensi-potensi kekayaan alam yang begitu melimpah, termasuk keindahan alamnya yang memiliki sudut pandang tiga dimensi, yakni dataran, pegunungan dan perairan. Dan tiga dimensi inilah yang sangat berpotensi untuk dijadikan “surga” dalam membawa Gorut sebagai kabupaten yang mampu melaju kepada kemajuan.
Hari hampir gelap, sang surya juga nampak telah membentangkan tirai senja, bagai sutera berwarna jingga, lalu menyelinap di kaki langit. Kami pun bertolak meninggalkan Pulau Pepaya selepas adzan Magrib, dan tiba di Desa Deme I dengan menempuh perjalanan sekitar satu jam.
Tak ada rasa lelah yang kurasakan, sebab rasa penasaranku telah kutumpahkan di Pulau Pepaya, namun dengan tetap menancapkan sebuah harapan, bahwa seharusnya pemerintah dapat lebih kreatif memberdayakan pulau-pulau kecil lainnya di Nusantara tercinta ini.