(AMS, Artikel)
MARI kita menengok sosok Rizal Ramli saat menjabat Menteri
Koordinator (Menko) Perekonomian pada era Presiden Gus Dur. Kala itu, sebagai
Menko Perekonomian, Rizal Ramli (RR) benar-benar menjalani kesibukan yang
sangat padat serta melelahkan, dan tentunya penuh dengan tekanan dari segala
penjuru.
Putaran waktu 24 jam sehari terasa tak cukup baginya,
namun Rizal Ramli tak pernah mengeluh, bahkan Sabtu dan Minggu pun harus
dimanfaatkan bersama stafnya untuk menuntaskan masalah demi masalah yang
melilit di negeri ini.
Bagaima tidak, Rizal Ramli sangat menyadari
tanggungjawabnya kepada Bangsa Indonesia yang kondisinya belum juga pulih
setelah dihantam krisis ekonomi 1997/1998. Daya beli merosot lantaran rakyat
kecil kian sulit menjangkau barang-barang kebutuhan pokoknya.
Dan Rizal Ramli merasa bertanggungjawab agar dapat mengatasi
berbagai problem ekonomi yang sangat pelik, yang menuntut proses pengambilan
keputusan yang cepat, tepat, dan efektif. Dan itulah yang dilakukan oleh Rizal
Ramli, meski harus berhadapan dengan berbagai ancaman serta teror dari pihak-pihak
(sebut saja para mafia) yang berlawanan dengannya.
Umumnya, problem ekonomi yang harus dibenahi oleh
Rizal Ramli adalah merupakan warisan Orde Baru. Sehingga di saat itu, tak salah
jika kita menyebut Rizal Ramli sebagai “tukang cuci piring” dari “pesta” yang
dilakukan oleh para pejabat dan kroni penguasa Orde Baru. Yakni, mereka yang
telah berfoya-foya dan kenyang melahap “makanan” rakyat lalu hanya menyisakan “kotoran”
yang berserakan di mana-mana. Dan yang mesti membersihkan “kotoran” tersebut adalah
tim ekonomi Kabinet Gus Dur-Megawati, yaitu tim yang dipimpin Menko
Perekonomian, Dr. Rizal Ramli.
Kasus proyek listrik swasta, misalnya, benar-benar
menguras energi dan pikiran Rizal Ramli. Betapa tidak? Pada era pemerintahan
Soeharto, untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan tenaga listrik,
pemerintahan yang dipimpin Soeharto mengundang sektor swasta masuk ke bisnis
pembangkit listrik. Produksi listriknya kemudian dijual kepada PLN.
Paling tidak, saat itu terdapat 27 proyek listrik
swasta, yang didirikan oleh perusahaan listrik dari negara-negara industri maju
seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman. Mereka menggandeng
keluarga dan kroni Soeharto untuk mendirikan perusahaan listrik swasta itu.
Menurut harian The
Jakarta Post (19 April 2001), Sengkang Power, yang beroperasi di Sulawesi
Selatan, dimiliki oleh Energy Equity dengan saham 47,5%; Elpaso Energy
International 47,5%; dan PT Triharsa Sarana Jaya 5% (milik putri Soeharto Siti
Hardijanti Rukmana alias Tutut). Sementara itu, Jawa Power sahamnya dimiliki
Siemens Power 50%, PowerGen Plc 35%, dan PT Bumi Pertiwi Tatapradipta – yang
terkait dengan putra Soeharto Bambang Trihatmojo sebesar 15%. Dan hal inilah didalami
dan sangat dipahami Rizal Ramli ketika itu.
Perusahaan listrik swasta independen tersebut
membangun proyek pembangkit listrik dengan pola BOT (Build, Operate, Transfer),
di mana kemudian akan melego energi listriknya kepada PLN selama jangka waktu
30 tahun.
Dan setelah 30 tahun, pembangkit listrik tadi menjadi
milik pemerintah. Ke-27 perusahaan listrik swasta tadi pada tahun 1996 meneken
perjanjian jualbeli listrik dari pembangkit swasta ke PLN yang tertuang dalam
PPA (Power Purchase Agreement)/ESC (Energy Sales Contract).
Harga jual energi listrik yang dibebankan kepada PLN
ternyata sangat gila-gilaan, berkisar antara US$ cents 7– 9 per kWh. Bandingkan
dengan penjualan listrik swasta di negara-negara Asia lainnya ketika itu yang cuma
sekitar US$ cents 3,5 per kWh.
Jika berpegang pada kontrak PPA itu, PLN mesti merogoh
koceknya dalam-dalam. Padahal, kemampuan keuangan PLN pada masa krisis ekonomi
justru sangat jeblok. Bayangkan, pada tahun 2000, selama semester pertama saja
PLN didera kerugian Rp 11,58 Triliun. Tahun 2001, kerugian PLN diproyeksikan
melambung hingga Rp 24 Triliun. PLN pun akhirnya “lempar handuk” karena tak sanggup membayar ke perusahaan
listrik swasta.
Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian pada Agustus 2000, Rizal Ramli langsung menetapkan pembenahan
listrik swasta sebagai prioritas utama. “Implikasinya akan sangat luas terhadap
beban utang Indonesia,” kata Rizal Ramli dalam buku yang ditulisnya: “Lokomotif
Perubahan, Indonesia yang Lebih Baik”.
Memang, saat itu, seiring dengan krisis ekonomi yang
mengguncang negara kita, beban utang luar negeri melonjak drastis, hingga
mencapai US$ 150-160 Miliar. Nah, kemelut listrik swasta, berpotensi menambah
beban utang Indonesia sebesar US$ 80 Miliar. “Jika utang pemerintah ditambah
kewajiban kepada perusahaan listrik swasta, secara teknis Indonesia sudah
bangkrut,” kata Rizal Ramli.
Situasi rakyat memang kelihatan tenang-tenang saja
karena rakyat samasekali tak tahu “isi terdalam” dari setiap problem yang
dihadapi oleh negara. Dan problem PLN ketika itu adalah sungguh merupakan
persoalan yang sangat gawat, dan itu harus dihadapi oleh Rizal Ramli.
Makanya, Rizal Ramli pun bergerak cepat, mengundang
Komite Restrukturisasi PPA yang dipimpin Dirut PLN Kuntoro Mangkusubroto ke
kantornya. Rizal Ramli meminta, Komite Restrukturisasi PPA merenegoisasikan
harga jual listrik swasta ke PLN. “Saya minta harga listrik swasta itu sesuai
dengan standar internasional, sekitar US$ cents 3,5 per kWh,” ujarnya.
Rizal Ramli menyadari, permintaan itu tidak akan mudah
dipenuhi. Soalnya, harga listrik swasta yang mencekik leher itu terjadi karena
ada unsur mark up dan KKN (korupsi,
kolusi, serta nepotisme). Dan memang, jauh sebelum duduk di pemerintahan, Rizal
Ramli sebetulnya sudah mengkritisi proyek listrik swasta itu. Berbagai keanehan
PPA itu kemudian menjadi laporan utama di harian ekonomi-bisnis terkemuka The Asian Wallstreet Journal. Lapornnya
dimuat selama empat hari berturut-turut.
Menurut Rizal Ramli, perusahaan listrik multinasional
yang memberikan saham kosong kepada keluarga dan kroni Cendana (Soeharto) tidak
mau memberikan secara gratis begitu saja. Sebagai kompensasi atas pemberian
saham kosong itu, mereka meminta harga jual listriknya menjadi jauh lebih
tinggi dari standar internasional. Dan itu dipenuhi dalam PPA. Tim Komite
Restrukturisasi PPA mengajukan usulan untuk mendapatkan harga jual US$ cents
3,5, maka masa kontrak listrik swasta itu harus diperpanjang dari semula 30
tahun menjadi 40 tahun atau lebih panjang lagi.
Karena di satu sisi sangat memahami begitu besarnya kepentingan dan
keuntungan yang akan disedot oleh para “mafia” tersebut, juga di sisi lain bisa
dipastikan akan membuat PLN serta rakyat hanya merasakan kerugian yang besar, maka usulan Kuntoro Mangkusubroto yang mengusulkan kontrak listrik diperpanjang 20 hingga 30 tahun itu pun dianggap sangat ngawur.
Olehnya itu, usulan tersebut pun ditolak mentah-mentah oleh Rizal Ramli. Sebab, jika diterima, maka beban keuangan yang mesti ditangung akan berlipat ganda.
Olehnya itu, usulan tersebut pun ditolak mentah-mentah oleh Rizal Ramli. Sebab, jika diterima, maka beban keuangan yang mesti ditangung akan berlipat ganda.
“Bukan begitu caranya bernegosiasi. Coba hitung ulang
nilai proyek yang sebenarnya. Kemudian tetapkan jangka waktunya, nanti akan
ketemu berapa harga jual listrik per kWh-nya. Jadi, yang harus direnegosiasi
adalah harga proyeknya yang bernuansa KKN dan penuh mark up itu,” kata Rizal Ramli.
Tim ekonomi yang dikomandani Rizal Ramli menolak
usulan pengurangan harga dengan hanya memperpanjang jangka waktu PPA, karena
cara itu hanya akan menambah beban PLN. Ia bersikukuh agar perusahaan listrik
swasta itu menurunkan harga proyeknya, sehingga otomatis akan diperoleh harga
jual listrik swasta yang sesuai dengan standar internasional. Rizal Ramli membaca
adanya anggaran yang diduga kuat hanya untuk membiayai KKN dan mark up-nya,
sehingga Rizal Ramli ngotot agar biaya KKN tersebut harus segera diamputasi.
Sehingganya, sebagai Ketua Tim Keppres 133/2000, Rizal
Ramli pun bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan restrukturisasi PLN dan
renegosiasi kontrak-kontrak pembelian listrik swasta – bersama Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral dan menteri-menteri terkait.
Dan sejak itulah, Rizal Ramli mendapat tekanan dari
berbagai penjuru untuk membatalkan renegosiasi kontrak jual beli listrik swasta
yang sudah diteken lewat PPA tahun 1996.
Dalam proses renegosiasi ini, Rizal Ramli mendapatkan
tekanan yang luar biasa besar dari sejumlah duta besar negara-negara asal
kreditor, dari anggota kongres, senator, dan lembaga keuangan anggota
konsorsium kreditor. “Mereka datang silih berganti kepada pemerintah Indonesia
untuk tidak mengubah kontrak dengan alasan kontrak itu adalah sesuatu yang
suci. Padahal kontrak tersebut cacat hukum karena di-mark up dan bernuansa KKN,” kata Rizal Ramli.
Meski tekanan datang bertubi-tubi, termasuk dari
pejabat tinggi sebuah pemerintahan negara adi daya – yang ternyata merupakan
komisaris di perusahaan listrik yang mendapat kontrak dari PLN, Rizal Ramli
sama sekali tidak gentar.
Berbagai cara ditempuh Rizal Ramli untuk mendapatkan
harga jual listrik swasta yang lebih murah, antara lain, dengan meminta
perwakilan Bank Dunia dan IMF di Jakarta untuk ikut membantu negosiasi, baik
secara teknis maupun bantuan lobby. “Secara informal saya mengundang makan
siang perwakilan Bank Dunia dan IMF antara lain Anoop Singh (Direktur Asia
Pasifik IMF), John Dodsworth (Kepala Perwakilan IMF di Indonesia), Mark Baird
(Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia),” kata Rizal Ramli.
Hasilnya ternyata mengecewakan. Perwakilan dari IMF
dan Bank Dunia memang datang memenuhi undangan Rizal Ramli. Sayangnya, mereka
tidak bisa memberikan bantuan yang diharapkan. “Kami bersimpati kepada bangsa
dan rakyat Indonesia yang harus dibebani tarif listrik hingga dua kali lipat
dari tarif internasional. Tapi kami minta maaf tidak bisa membantu Indonesia
karena menyangkut perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank besar di
negara-negara maju. Juga menyangkut tokoh-tokoh penting di negara maju,” kata
Anoop Singh, sebagaimana dituturkan Rizal Ramli.
Kandas sudah harapan untuk mendapatkan bantuan dari
orang-orang di lembaga keuangan internasional itu. Namun Rizal Ramli tidak menyerah.
Ia berpikir keras, lalu kemudian ia pun mendapat ide segar. Yakni, menjelaskan
berbagai praktik KKN dan mark up yang
dilakukan perusahaan multinasional kepada koran berwibawa Wallstreet Journal, yang terbit di Asia dan Washington (Amerika).
“Saya membeberkan fakta-fakta praktik KKN itu. Saya
berpandangan, jika sebuah kontrak sudah ditandatangani tapi mengandung unsur
KKN, maka terbuka kemungkinan untuk direnegosiasi,” kata Rizal Ramli.
Kasus praktik KKN proyek listrik swasta di Indonesia
kemudian terekspos secara internasional. “Negara-negara besar dan lembaga
multinasional sering gembar-gembor menasihati negara dan pihak lain untuk tidak
melakukan KKN, tapi begitu menyangkut perusahaan multinasional dari negara
besar, mereka tutup mata, tutup mulut, dan tutup telinga,” kata Rizal Ramli.
Berita di Wallstreet membuat geger. Ada usaha dari
perusahaan listrik di negara maju untuk menyeret wartawan Wallstreet ke
pengadilan. Tapi, karena fakta yang diungkapkan akurat dan ditopang dengan
bukti kuat, mereka tidak jadi melangkah ke pengadilan.
Dengan latar belakang seperti itu, akhirnya mereka
bersedia melakukan negosiasi ulang. Tim Keppres 133/2000 yang dipimpin Rizal
Ramli pun mampu menyelesaikan 16 dari 27 kontrak pembelian listrik swasta –
sisanya diteruskan oleh Tim Ekonomi Kabinet Megawati yang menggantikan Gus Dur
sebagai Presiden RI.
Dengan renegosiasi yang dilakukan tim Rizal Ramli
Ramli itu, harga listrik swasta bisa ditekan menjadi di bawah US$ cents 4 per
kWh. “Total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis dari US$ 80 miliar
menjadi US$ 35 miliar,” kata Rizal Ramli dengan nada lega.
Apakah selesai sampai di situ? Ternyata belum.
Persoalan harga jual listrik swasta ke PLN memang sudah rampung. Tapi, ada problem
lain yang dihadapi PLN yang menuntut keputusan yang cepat dan inovatif. Perlu
kebijakan dan langkah terobosan.
REVALUASI
ASET PLN
Direksi PLN dirombak. Eddie Widiono menjadi Dirut
menggantikan posisi Kuntoro Mangkusubroto. Selang beberapa pekan setelah
dilantik, Eddie bersama direksi PLN menemui Rizal Ramli di kantornya. Mereka
memaparkan situasi keuangan PLN yang sangat gawat: Aset PLN hanya Rp.50 Triliun,
sedangkan modalnya minus Rp.9 Triliun.
Jadi, kalau dilihat dari posisi keuangannya, secara
teknis PLN sudah bangkrut. PLN tidak bisa meminjam uang ke bank untuk membiayai
modal kerja. Juga tak mungkin menerbitkan obligasi karena posisi keuangannya
berantakan. “Bagaimana usulan PLN untuk mengatasi hal ini?” tanya Rizal Ramli
kepada direksi PLN.
Eddie meminta agar pemerintah mengambil-alih utang PLN
dan menyuntikannya menjadi modal baru dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah
(PMP). Jumlah dana yang diminta Rp.26,9 Triliun. Rizal Ramli menolak usulan
itu.
“Saya tidak setuju, kecuali kalau saudara-saudara mau
mengundurkan diri. Sebab, nanti akan menjadi preseden. Setiap kali BUMN
mengalami kerugian, kemudian minta duit dari pemerintah. Kalau seperti itu
lebih baik direksi BUMN diganti saja oleh tukang becak: tinggal bikin utang
setelah itu minta uang kepada pemerintah untuk menyelelesaikan utang itu,”
lontar Rizal Ramli.
Lalu, Rizal Ramli pun memberikan solusi berupa langkah
terobosan, yaitu dengan meminta PLN melakukan revaluasi asetnya. Soalnya,
banyak aset PLN berupa tanah dan bangunan yang belum dilakukan revaluasi selama
belasan tahun. Selain itu, banyak generator dan jaringan distribusi PLN yang
dibeli sebelum krisis dengan kurs di bawah Rp 2.500/US$.
Padahal, pada tahun 2001, kurs rupiah sudah mencapai
Rp 10.000/US$. Jadi, ada selisih sekitar 7.500. Semula direksi PLN menolak
melakukan revaluasi aset karena akan memakan waktu lama. Mereka juga kuatir
jika asetnya direvaluasi dan menggelembung maka kinerja mereka akan merosot. Return on equity dan return on asset-nya PLN akan anjlok.
Tentu saja hal itu akan membuat kinerja direksi PLN menjadi memburuk. Selain
itu, pimpinan PLN juga kuatir tidak bisa membayar pajak revaluasi asetnya.
Sebab, begitu direvaluasi, akan terdapat selisih nilai aset yang besar sekali,
dan itu merupakan objek pajak yang harus dibayar. Hal itu tentu saja akan
mengganggu cash flow dan operasional
PLN.
“Laksanakan saja revaluasi aset. Soal pajaknya, nanti
akan saya urus ke Departemen Keuangan,” kata Rizal Ramli ketika itu.
Setelah dilakukan revaluasi aset oleh PT. Sucofindo,
aset PLN terbukti melambung dari Rp. 52 Triliun menjadi Rp.202 Triliun.
Sedangkan modalnya yang semula minus Rp.9,1 Triliun, naik pesat menjadi Rp.119,4
Triliun. PLN pun akhirnya sudah bankable.
Tidak perlu lagi meminta duit ke pemerintah untuk operasionalnya, karena bisa
meminjam ke bank atau menerbitkan obligasi. Persoalannya, kini tinggal mengurus
pajaknya.
Maka, saat itu Rizal Ramli pun bertemu dengan para
pejabat Departemen Keuangan. Ia meminta PLN diberi keringanan untuk menunda
pembayaran pajak revaluasi asetnya. Pembayarannya akan dilakukan dengan cara
mencicil. Para pejabat Depkeu menolak permintaan itu. Alasannya: belum ada
peraturannya, dan sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Alasan ini kemudian membuat Rizal Ramli harus memaksa
orang-orang di Depkeu agar membuka logika berpikirnya. “Sekarang saya tanya,
ada perbedaan tidak, antara membayar pajak sekarang, atau membayar pajak dalam
jangka waktu 5 – 7 tahun, dicicil lengkap plus bunga dan dendanya?” tanya Rizal
Ramli.
“Sama saja, Pak. Tidak ada bedanya,”jawab salah satu
pejabat Depkeu.
“Kalau begitu, PLN bisa dong mencicil pajaknya,” kata
Rizal Ramli.
“Tidak bisa. Belum ada peraturannya,” kata pejabat
itu.
Rizal Ramli terdiam sesaat. Ia merasa heran mendapati
kekakuan birokrasi pemerintahan. “Begini, pemerintah itu kan kita. Coba
sekarang bikin peraturannya. Yang penting dari peraturan itu tidak ada conflict of interest. Bisa enggak
dibikin?”
“Bisa, Pak” ujar pihak Depkeu.
Setelah itu, akhirnya bereslah persoalan PLN.
Dan begitulah, untuk menyelamatkan PLN Rizal Ramli
mesti pontang-panting ke mana-mana. Melakukan negosiasi yang panjang dan
melelahkan, melobi kanan-kiri, bahkan kalau perlu, main gebrak meja pun
dilakukannya.
Rizal Ramli merasa puas karena berhasil menyelamatkan
PLN dari kebangkrutan. Yang lebih penting lagi, negara terbebas dari tambahan
beban utang yang besar. “Masyarakat, terutama rakyat kecil, juga terhindar dari
kemungkinan membayar tarif listrik yang jauh lebih mahal seandainya harga
listrik swasta tidak bisa diturunkan,” ujarnya.
PROYEK 35 GW
ERA PRESIDEN JOKOWI SAAT INI
Karena telah pernah bersentuhan dan terlibat langsung
dalam problem PLN di masa lalu, Rizal Ramli yang kini menjabat selaku Menko Kemaritiman
dan Sumber Daya, tentunya tidak asal bicara ketika harus mengkritisi program proyek
PLN 35 GW yang sedang digodok saat ini.
Apalagi memang saat ini, nyatanya realisasi proyek 35
GigaWatt tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Dalam sambutannnya pada acara Seminar: “Pembangunan
Ketenagalistrikan di Indonesia, Masalah dan Solusi serta Implementasi Program
Listrik 35.000 MW”, di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Jakarta,
Selasa (31/5/2016), Rizal Ramli kembali angkat suara.
Rizal Ramli mengatakan, dirinya sudah pernah meminta
proyek 35.000 MW ini agar segera dievaluasi, yakni saat dirinya baru saja diangkat
menjadi menko Kemaritiaman dan Sumber Daya pada Agustus 2015 lalu.
Sembilan bulan lalu Rizal menyebut proyek 35.000 MW
kurang realistis. Dan kritik Rizal Ramli itu kemudian diserap dan diterjemahkan
oleh mereka-mereka yang punya kepentingan besar pada proyek tersebut sebagai
sebuah kegaduhan.
“Begitu saya diangkat jadi Menko, kami memang minta
proyek 35.000 MW dievaluasi. Waktu itu langsung heboh. Kami pelajari sebelumnya,
bahwa target ini kurang realistis, paling banter 17.000 MW. Tapi ada teman kita
yang ‘asal bos senang’, memberi target berlebihan, jual mimpi,” ujar Rizal
Ramli dalam sambutannya pada seminar di BPK tersebut.
Sebagai pembanding, Rizal menyebut, pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja selama 10 tahun dari 2005-2015 hanya
berhasil membangun pembangkit hingga 10.200 MW. Target 35.000 MW dengan cara
kerja seperti sekarang hanya mimpi.
Dan memang, Menteri ESDM Sudirman Said yang tadinya
berapi-api optimis bisa merealisasikan proyek tersebut bisa tuntas sampai tahun
2019, belakangan ternyata “siuman” dan sempat menyatakan pesimisnya terhadap
proyek listrik tersebut.
“Kemungkinan tahun 2019 belum selesai semua,” ungkap Sudirman
Said dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Menurutnya, terealisasi 80 persen saja sudah sangat baik.
“Kalau 18.000 MW bisa dicapai dalam 5 tahun itu sudah
luar biasa. Sepuluh tahun pemerintahan SBY hanya bisa membangun 10.200 MW. Pak
Presiden (Jokowi) tadinya juga percaya 35.000 MW ini masuk akal, tapi setelah
diskusi sama kami, ada info kiri kanan, beliau paham banyak kendala untuk
mencapai itu,” ujar Rizal
Ramli.
Ketua Komisi VII DPR, Gus
Irawan Pasaribu, juga merasa gerah melihat progres pembangunan listrik
35.000 MW yang menjadi besutan Kementerian ESDM tersebut. Gus Irawan mengatakan,
proyek itu hanya banyak kegiatan yang sifatnya seremonial.
“Melihat situasi ini saya justru pesimis, jangankan 35
ribu, 17 ribu saja saya masih ragu karena selama ini banyak kegiatan yang
justru sifatnya hanya seremoni-seremoni saja” katanya Gus Irawan saat menjadi
pembicara diskusi yang diselengarakan oleh LeKS Indonesia di Equity Tower SCBD
Jakarta, Selasa (1/6)
Sebetulnya, kata Rizal, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
sebenarnya sudah tahu hal ini. Termasuk orang-orang yang bereaksi keras saat
Rizal Ramli meminta proyek 35.000 MW dievaluasi menjadi 17.000-18.000 MW pada
Agustus 2015 lalu, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan yang amat besar
dalam proyek 35.000 MW tersebut.
“Tentu sebelum ngomong itu, kami sudah studi dulu.
Saya nggak pernah ngomong sembarangan. Orang-orang yang bereaksi sangat keras
waktu itu adalah orang-orang yang sangat berkepentingan,” tandas Rizal.
Sehingga itu, menurut Rizal Ramli, proyek 35.000 MW
bisa merugikan PLN kalau terus dipaksakan. Sebab, kebutuhan listrik 5 tahun
mendatang tak sampai 35.000 MW. Tentu akan terjadi kelebihan pasokan listrik.
Independent Power Producer (IPP) yang menjual listrik ke PLN tentu tak mau
rugi, PLN tetap harus membayar meski listrik banyak tak terpakai. Berdasarkan
hitungan Rizal, PLN bisa rugi US$ 10,7 miliar per tahun.
"Andai kita bisa selesaikan, (maka) akan terjadi excess demand sehingga PLN harus bayar
listrik yang sudah dibangun, mau dipakai (atau) nggak dipakai. Hitungan kami,
PLN harus bayar US$ 10,7 miliar per tahun tanpa pakai listriknya (dari IPP).
Ini membebani PLN, itu bisa jadi masalah besar nanti,” ucapnya.
Bila PLN sampai rugi sebesar itu, menurut Rizal Ramli,
maka bukan hanya PLN saja yang bangkrut, tetapi negara juga bisa goyang. “Kami
juga nggak mau PLN bangkrut lagi. Dulu 15 tahun lalu PLN bangkrut saya yang
selamatkan. Bond (obligasi) PLN besar sekali, nanti kena ke
perusahaan-perusahaan lain kalau bangkrut. Keuangan PLN harus sehat,” ungkap
Rizal.
“Presiden Jokowi sudah paham ini. Saya pasang badan
buat Pak Jokowi supaya PLN nggak bangkrut. Cuma masih ada pejabat ABS (Asal Bos
Senang) yang bilang ini bisa, itu bisa. Jangan menawarkan mimpi yang solusinya
juga nggak ada, terus bisanya cuma nyalahin PLN,” tandas Rizal Ramli.