(AMS, Opini)
RAKYAT lebih tertarik memilih Jokowi pada Pilpres 2014 kemarin bukan karena Jokowi bagai dewa yang hebat dan super-power.
Dengan jujur harus disadari dan diakui, bahwa Jokowi bisa menjadi pilihan karena selain mampu tampil ndeso dan lugu, kemenangan Jokowi juga boleh dikata adalah sebagai akibat kejenuhan rakyat yang telah lama mengendap terhadap karakter kepemimpinan yang diperagan SBY selama dua periode.
Artinya, rakyat sesungguhnya telah jenuh dan lelah selama 10 tahun di bawah kepemimpinan presiden SBY yang punya karakter yang nampak tampan, perkasa dan berwibawa, namun wajah ekonomi bangsa Indonesia di ujung pemerintahannya tidak setampan, seperkasa dan tidak sewibawa sebagaimana yang diharapkan. Atau dengan kata lain, kemenangan Jokowi “diuntungkan” oleh adanya kejenuhan rakyat terhadap kepemimpinan SBY.
Selain itu, kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 kemarin juga karena Jokowi memang berhasil meyakinkan rakyat, bahwa dirinya adalah sosok pembawa ajaran Trisakti dari Soekarno, yakni melalui PDIP sebagai parpol oposisi yang bertindak membela kepentingan wong cilik selama 10 tahun.
Sayangnya, Jokowi bersama parpol pengusung utamanya melakukan kekeliruan fatal. Jokowi yang dinilai masih “steril” itu dimajukan sebagai Capres berpasangan dengan seorang pedagang (pengusaha) tulen yang juga mantan wapres (mantan pemerintah) yang pernah PDIP protes keras karena ngotot menaikkan harga BBM, yakni berturut-turut pada tahun 2005 dan 2008 silam, yaitu Jusuf Kalla (JK).
Ketika itu, PDIP tetap menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan itu dinilai menyalahi prosedur karena tidak dikonsultasikan kepada DPR hingga final. Hal itu dikatakan Ketum DPP PDIP Megawati usai Rakor dan pemantapan Kongres PDIP di Hotel Ina Grand Bali Beach, Sanur, Bali, Senin (21/3/2005).
Bukan cuma itu, JK bahkan pernah melontarkan statement keras, bahwa negara ini bisa hancur jika Jokowi dimajukan sebagai capres.
Dan kini, sepertinya Indonesia memang benar-benar sedang menuju ke ambang kehancuran. Yakni kehancuran ideologi (UUD 45, Pancasila, dan Trisakti). Di sana ada Pasal 34, terutama ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Tapi nyatanya, negara ingin lepas tangan dengan ingin melakukan pengurangan atas subsidi BBM, listrik, elpiji dan lain sebagainya.
Juga di bidang ekonomi, yang nampaknya menjauh dari penekanan ajaran Trisakti yang menghendaki keberdikarian dalam bidang ekonomi, di mana negara asing kini makin nampak diberi keleluasaan untuk menguasai ekonomi bangsa ini.
Salah satunya dengan menaikkan harga BBM jenis premium oktan 88 yang dijual oleh SPBU Pertamina dengan harga Rp.8.500/liter, ini cuma beda tipis dengan harga premium oktan 92 (setara Pertamax) di SPBU Shell milik asing dengan harga Rp.9.500/liter.
Artinya, jika dulu perbedaan harga antara Shell dan Pertamina masih cukup tinggi, kini tidak ada lagi perbedaan signifikan antara harga BBM Shell dan Pertamina. Sungguh, kiat menaikkan harga BBM oleh rezim Jokowi-JK ini telah sukses menghidupkan dan “memberi makan” investor asing Shell secara lahap. Dan pada tahun 2015 mendatang, Chevron dan perusahaan milik konsorsium china juga akan mendirikan SPBU nya di Indonesia.
Ekspansi asing menancapkan usaha SPBU-nya ini sudah pasti bukan hanya mencekik rakyat miskin tetapi juga bisa membuat Pertamina jadi terkapar akibat kalah bersaing. Dan jika sudah demikian, pemerintah punya alasan untuk segera menjual Pertamina ke negara asing.
Artinya, pemerintah saat ini sepertinya sangat membuka peluang jatuhnya Pertamina ke “pelukan” modal swasta asing dan pasar keuangan internasional. Apalagi memang sebagai perusahaan migas nasional terbesar dan masuk dalam 500 fortune dengan peringkat utang yang tinggi sangat memungkinkan terjadinya akumulasi modal asing dalam Pertamina. Dan inilah ancaman terbesar yang mengancam kedaulatan negara kita atas migas untuk dikuasai oleh asing. Akhirnya, ekonomi rakyat kita pun bergantung kepada asing pula. Sungguh menyedihkan!
Mengetahui kondisi ke arah kehancuran tersebut, ekonom senior yang pernah sukses mengurangi utang luar negeri sebagai Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Dr. Rizal Ramli, tak henti-hentinya mengajak Jokowi untuk segera kembali ke jalan yang benar, yakni ke ideologi bangsa dan ajaran Trisakti.
“Harus kembali ke Trisakti agar arah dan keperpihakan jelas,” tulis Rizal Ramli dalam akun twitternya.
Sejauh ini, Rizal Ramli tak hanya sekadar mengajak, tetapi juga tak lelah memberi dan menawarkan jalan keluar dari sengatan dan lilitan dampak buruk paham neoliberalisme, neokapitalisme, dan neokolonialisme yang kesemuanya hanya menghancurkan negara ini.
Terkadang selama ini pula, Rizal Ramli memang harus terpaksa mengeluarkan kritikan-kritikan yang sedikit pedas, itu seharusnya diharap maklum saja. Sebab, Rizal Ramli memang sejak muda, yakni di saat masih sebagai aktivis mahasiswa memang sudah terbiasa tampil dan berada di garis terdepan menantang rezim yang dinilai otoriter dan tak berpihak kepada wong cilik.
Lagi pula, kritikan-kritikan pedas dari berbagai pihak, termasuk dari Rizal Ramli sebetulnya bisa bernilai positif dan boleh menjadi barometer yang dapat sekaligus menunjukkan: “apakah rezim Jokowi benar-benar bermental pemimpin rakyat atau bermental asing?”.
“Semula sih saya sangat optimis dengan Jokowi, tagline-nya, jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dan, tema itu penting sekali karena ekonomi kita sudah terlalu kanan. Kanan itu artinya siapa yang punya duit punya kuasa. Kanan itu artinya yang kaya makin kaya, yang menengah ke bawah itu ya nggak dapat apa-apalah. Kalau saya sih dari dulu inginnya ke tengah, ke ekonomi konstitusi. Begitu Jokowi pidato, bicara macam-macam soal Tri Sakti, oh saya lihat ada harapan, ini arah akan bergeser. Tapi, menit-menit terakhir dibelokkan, berubah menjadi Kabinet Kerja. Nah, kerja itu kan, kerja buat siapa? Dulu zaman Belanda, waktu tanam paksa, Belanda juga mendidik kita kerja, kerja, dan kerja. Tapi, yang dapat surplusnya, yang dapat untungnya, ya Daendels, ya pengusaha Belanda. Jepang dulu juga begitu, kerja, kerja, kerja, bangun ini, bangun itu, yang dapat manfaatnya kan hegemoni kekuasaan Jepang. Jadi, kerja itu nggak ada nilainya. Nggak ada orientasinya, buat apa, buat asing?” ujar Rizal Ramli dalam wawancaranya dengan zonalima.com.