(AMS, Opini)
PASCA Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini, ada dua hal yang hingga kini sedang “berkecamuk” dan ramai diperbincangkan dengan 1001 pro-kontra yang mewarnainya. Yaitu pertama, tentang formasi kabinet kementerian amat diharapkan benar-benar bisa diisi oleh orang-orang tepat agar mampu melaksanakan seluruh agenda perubahan yang didorong oleh cita-cita ideologi Pancasila dan ajaran Trisakti. Seperti apakah agenda perubahan itu???
Kedua, tentang berhasilnya Koalisi Merah Putih (KMP) “menaklukkan” Kabinet Indonesia Hebat (KIH) dalam menggolkan Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) via DPRD pada sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada, Kamis (25/9/2014). Tentunya ini kemudian membuat rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak lagi bisa menggunakan hak pilihnya dalam setiap penyelenggaraan Pilkada.
Sekilas, dua hal tersebut memang tak punya hubungan permasalahan. Tetapi jika dicermati, keduanya sungguh sangat memiliki “kutub” berlainan yang saling tolak-menolak antara keinginan melaksanakan agenda perubahan dengan sistem pemerintahan yang akan diberlakukan melalui UU Pilkada via DPRD.
Artinya, seluruh agenda perubahan yang telah dipatok oleh KIH melalui pasangan Presiden terpilih Jokowi-JK akan sangat sulit ditunaikan apabila sistem pemerintahan Orba kembali diadopsi ke era reformasi yang demokratis seperti saat ini.
Pemahaman tentang adanya hubungan tolak-menolak dari kedua hal tersebut ternyata sudah dijawab Rizal Ramli dalam bukunya: “Lokomotif Perubahan” yang diterbitkan pada 2008 silam.
Dalam bukunya tersebut, Rizal Ramli menekankan, bahwa perubahan untuk perbaikan nasib rakyat dan kejayaan Indonesia dapat dan harus dilakukan dalam bingkai demokratis, yang diperlukan bukan pemerintahan yang kuat ala Orba, tetapi pemerintahan efektif dalam konteks negara demokratis.
---------------------------
RIZAL RAMLI bisa menarik pandangan seperti itu karena ia telah memulainya dengan semangat yang sejak dulu telah berkobar di dalam jiwanya, yakni dengan tak henti-hentinya mengajak bangsa dan negara ini untuk segera melakukan langkah-langkah perubahan. Meski ia sendiri harus menghadapi segala cemoohan dari pihak-pihak yang sudah pasti tak senang jika negara ini mengalami perubahan yang lebih maju.
Sejumlah uraian tentang pentingnya perubahan dijelaskan Rizal Ramli secara khusus dimulai pada halaman 210 dalam bukunya tersebut. Dari situ, secara runtut dari halaman ke halaman ia mampu memunculkan hubungan antara upaya perubahan dengan sebuah sistem pemerintahan.
Ia menyebutkan, perubahan harus membawa manfaat yang nyata dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, kedaulatan politik dan ekonomi, serta membuat Indonesia menjadi negara yang kuat dan dihormati di dunia. Perubahan itu akan menjadi awal dari Kebangkitan rakyat dan Kejayaan Indonesia.
Perubahan baru bermanfaat jika terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat sehingga rakyat mampu mendapatkan 5P (Pangan, Pekerjaan, Pendidikan, Pelayanan Kesehatan, dan Perumahan). Peningkatan penyediaan pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan perumahan juga akan meningkatkan lapangan pekerjaan.
Tujuan perubahan tersebut akan lebih cepat tercapai jika kita memperjuangkan kedaulatan politik, ekonomi, keuangan, pangan, energi, pertahanan, dan teknologi. “Kedaulatan itulah yang terabaikan, bahkan sengaja dilupakan selama 40 tahun terakhir, sehingga 80% rakyat Indonesia belum menikmati arti kemerdekaan dan Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya di Asia. Perubahan dari negara ‘terjajah’ menjadi negara yang berdaulat akan merupakan kekuatan dahsyat untuk mencapai tujuan kemerdekaan,” tulis Rizal Ramli dalam bukunya tersebut.
Rizal Ramli bahkan pada 6 tahun silam dalam bukunya tersebut ternyata telah ia tuangkan gagasan dan agenda Perubahan yang sama dengan agenda Perubahan yang dicanangkan dan dijanjikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK, yakni Rizal Ramli menulis :
Kedaulatan Politik:
Walaupun secara normatif dan formal Indonesia mengaku sebagai negara yang berdaulat, tetapi di dalam prakteknya pengaruh negara-negara besar dalam bidang politik, ekonomi, dan pertahanan masih sangat dominan.
Rizal Ramli mengungkapkan, negara-negara berkembang seperti malaysia, China, India, Brazil, dan Iran memiliki kedaulatan yang lebih kuat dalam bidang politik, ekonomi dan pertahanan. “Tahun ini harus menjadi awal dari kebangkitan kedaulatan politik bangsa Indonesia,” tulis Rizal Ramli.
Kedaulatan Ekonomi:
Dengan sengaja dan sistematis selama 40 tahun terakhir, kedaulatan ekonomi telah digadaikan kepada negara adidaya dan lembaga keuangan multilateral. melalui ketergantungan hutang, kekuatan-kekuatan luar tersebut kemudian mendikte, memesan, dan mengijon undang-undang dan peraturan Pemerintah, bahkan ikut menentukan dalam penunjukan pejabat-pejabat ekonomi sehingga sesuai dengan kepentingan strategis jerat Washington (Washington Concensus).
Tidak aneh, lanjut Rizal Ramli, bahwa strategi dan kebijakan ekonomi sering lebih menguntungkan kepentingan di luar Indonesia ketimbang memberi manfaat untuk rakyat Indonesia. “Kebijakan ekonomi bahkan sering menyebabkan proses pemiskinan struktural: rakyat Indonesia bagaikan ayam yang mati di lumbung padi, di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah dan alam yang indah,” tulis Rizal Ramli.
Ditekankannya, agar rakyat lebih sejahtera, dan Indonesia menjadi negara maju, maka kedaulatan ekonomi harus direbut sehingga proses pemiskinan struktural dihentikan dan kebijakan ekonomi memberi manfaat untuk rakyat dan kepentingan nasional.
Kedaulatan Pangan, Energi, Pertahanan dan Teknologi
Dalam bagian ini, Rizal Ramli menulis, bahwa sebagai negara dengan penduduk 220 juta jiwa, adalah sangat penting untuk memiliki kedaulatan di bidang pangan, energi, pertahanan, dan teknologi. Kedaulatan di keempat bidang tersebut merupakan prasyarat penting untuk menjadi negara besar dan dihormati di dunia.
Perubahan, Demokrasi dan Hak Asasi
Di bagian inilah kemudian yang membuat Rizal Ramli melihat adanya hubungan permasalahan antara keinginan perubahan dengan dengan sebuah sistem Pemerintahan.
“Banyak kalangan yang menilai bahwa 10 tahun demokrasi dan reformasi tidak membawa manfaat bagi rakyat dan kejayaan Indonesia adalah akibat sistem yang terlalu demokratis. mereka ingin mengembalikan jarum jam, ingin membawa Indonesia kembali kedalam sistem otoriter,” tulis Rizal Ramli.
Padahal, menurutnya, Indonesia telah mengalami pemerintahan super-kuat selama 32 tahun. Hasilnya Indonesia tertinggal dibandingkan negara-negara besar di Asia, kesejahteraan mayoritas rakyatnya menyedihkan, gap antara yang kaya dan miskin luar biasa, dan tindakan anti demokratis serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia sangat menonjol.
Upaya mengembalikan sistem otoriter justru akan membuat Indonesia semakin mundur kebelakang, sistem yang sangat tidak populer dalam dunia yang semakin demokratis.
“Perubahan untuk perbaikan nasib rakyat dan kejayaan Indonesia dapat dan harus dilakukan dalam bingkai demokratis, yang diperlukan bukan pemerintahan yang kuat ala orba, tetapi pemerintahan efektif dalam konteks negara demokratis,” demikian Rizal Ramli berkesimpulan.
Rizal Ramli tidaklah asal-asal menulis atau seenaknya menarik kesimpulan secara teori. Sebab diakui atau tidak, ia pernah terlibat dalam sejarah sebagai salah satu sosok penentang keras sistem pemerintahan Orba, juga sebagai salah satu tokoh yang paling aktif menyuarakan Perubahan di negeri ini sejak dulu, atau jauh-jauh hari sebelum Koalisi Indonesia Hebat beserta Tim Transisi Jokowi-JK merumuskan agenda Perubahan yang di dalamnya terdapat ruh Pancasila dan ajaran Trisakti.