Thursday, 30 October 2014

Ketika Harga BBM Naik, JK Juga Bisa Naik Jadi Presiden?

(AMS, opini)
ADA “hadiah” pertama buat rakyat Indonesia dari pasangan presiden terpilih Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP beserta para koalisinya (KIH: Koalisi Indonesia Hebat), yakni harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan, atau dalam pengertian lain subsidi BBM akan segera dialihkan untuk membiayai hal-hal lain.

Padahal tahun lalu, PDIP adalah parpol yang sangat ngotot dan paling keras menolak kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Ketika itu PDIP beralasan, kenaikan harga BBM hanya membuat rakyat makin sengsara.

Melalui Ketua Fraksi PDIP, Puan Maharani, ketika itu menyatakan, kenaikan harga BBM akan memberikan dampak secara signifikan terhadap kenaikan harga bahan pokok. “Dengan kenaikan BBM tentu saja secara otomatis barang-barang kebutuhan pokok akan merangkak naik, kemudian distribusi barang pokok itu akan semakin naik juga dan tentu saja akan memberatkan dan membuat rakyat makin sengsara,” kata Puan di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2013).

Pernyataan “merdu” dari Puan itulah sedikit banyaknya telah berhasil membuat rakyat “jatuh hati” dan merasa simpatik kepada perjuangan PDIP.

Sayangnya, “nyanyian pelipur lara” seperti itu tak bisa lagi diperdengarkan apalagi diperjuangkan oleh PDIP setelah kini berhasil tampil sebagai pemenang Pileg dan Pilpres pada Pemilu 2014 kemarin. Sebab sebagai partai penguasa baru, PDIP bisa dipastikan akan mendukung penuh kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK dalam menaikkan harga BBM, yang paling lambat akan diberlakukan pada akhir tahun 2014 ini juga.

Hal ini tentu saja membuat rakyat benar-benar kaget, merasa tak percaya dan amat diliputi banyak tanda tanya: PDIP dan Jokowi yang sejauh ini dianggap hebat, kok bisa-bisanya dan dengan mudahnya berubah hati serta pikiran? Dari situ, sebagian besar rakyat sudah pasti sekaligus merasakan ada “kekuatan aneh” yang mampu membuat PDIP bisa secepat itu berubah hati dan pikiran. Apa itu?

Saya bersama kawan-kawan yang sedang aktif berada di barisan pergerakan perubahan untuk kedaulatan rakyat, rasa-rasanya terlalu bodoh jika harus mengabaikan kehadiran sosok JK yang “tiba-tiba” dapat dipersandingkan dengan Jokowi dalam Pilpres 2014 kemarin. Padahal, begitu banyak sesungguhnya orang dan tokoh lain yang jauh lebih layak berduet dengan Jokowi, tetapi mengapa “harus” kembali JK yang dipilih oleh PDIP untuk maju sebagai cawapres berpasangan dengan Jokowi?

Tetapi saya bersama kawan-kawan sebetulnya sudah tak merasa heran memandang sosok JK kini. Dan sebagian besar kalangan juga sudah sangat mengetahui, bahwa mantan Ketua Umum Partai Golkar itu adalah seorang pengusaha papan atas yang punya ambisi yang sangat besar, yang boleh dikata takkan pernah merasa puas berburu kekuasaan demi kepentingan usaha dan bisnisnya.

Olehnya itu bisa dipastikan, bahwa persaingan memperebutkan tempat sebagai cawapres pendamping Jokowi kemarin tersebut, adalah betapa bisa dengan mudah dimenangkan JK, sebab memang hanyalah JK satu-satunya sosok yang nampaknya lebih berani dan kiranya siap menggelontorkan dana untuk membiayai pertarungan politik pada Pilpres 2014 tersebut. Jika ada pihak yang menampik hal ini, maka sangat patut dipertanyakan: dari mana sumber dana yang menopang aktivitas KIH saat kampanye? Tidak mungkinlah dari rakyat, sebab rakyat sendiri hingga saat ini saja masih sangat sulit memenuhi kebutuhan ekonomi hari-harinya.

Jika hal itu benar, maka “kewenangan dan hak” JK tentulah bisa lebih besar daripada Jokowi dan KIH sendiri. Untuk mengukur seberapa besar “hak” JK tersebut, bisa kita lihat dari kronologis penyusunan pengisian kabinet kementerian yang sempat mengalami penundaan hingga seminggu lamanya. Dan diduga kuat semua itu karena adanya “pengaruh” dan campur-tangan JK yang begitu besar terhadap penentuan kabinet. Yakni mulai dari label atau nama kabinetnya yang sebelumnya telah diwacanakan secara luas akan diberi nama “Trisakti” tiba-tiba dan tak disangka-sangka malah disepakati bernama “Kabinet Kerja”, hingga pada siapa-siapa yang akan ditempatkan untuk mengisi posisi di kabinet semuanya harus sesuai “porsi dan selera sang penentu”.

Tentang adanya campur-tangan JK dalam menentukan label dan isi kabinet ini diakui sendiri oleh JK secara halus dan penuh diplomasi. “Saya merekomendasikan, memberi masukan,” ujar JK dalam Prime Time News Metro TV, Kamis (18/9/2014).

Untuk kali ini, JK nampaknya sedang bermain cantik seolah-olah tidak dilibatkan dalam penentuan isi kabinet. Yakni dengan tidak lagi menunjuk atau menempatkan seorang pun dari Sulawesi Selatan, boleh jadi itu karena ia menghindari kesan SDM (Semua Dari Makassar) yang dulu pernah dilakukannya ketika bersama Presiden SBY. JK kali ini sepertinya lebih memilih loyalis-nya dan sejumlah “titipan” dari para koleganya untuk ditempatkan sebagai menteri.

Silakan ditengok sendiri siapa-siapa menteri di Kabinet Kerja saat ini yang layak disebut loyalis dan orang-orang “titipan” dari kalangan kolega JK! Orang-orang itulah patut diduga sengaja diposisikan ditempatkan startegis. Tujuan bisa ditebak, yakni untuk “mengamankan” kepentingan usaha bisnis JK agar tetap berotot melalui injection sejumlah proyek-proyek infrastruktur yang akan digarap oleh grup perusahaan, kolega dan keluarga JK.

Lalu apa hubungannya dengan harga BBM yang ngotot ingin dinaikkan oleh JK? Lagi-lagi untuk menjawabnya sangat mudah ditebak. JK sendiri bahkan sudah memberikan jawaban “pembuka”.  ““Mau kita habiskan BBM itu di jalan atau kita bikin jalan (baru), bikin sekolah, rumah sakit (dan proyek-proyek lainnya). Pilihannya di situ,” tegas JK usai pertemuan dengan Amien Rais di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (29/10).

JK kelihatannya sangat “bernafsu” melontarkan statement tersebut, sebab besaran total subsidi BBM nantinya akan dialihkan untuk mengerjakan sejumlah proyek-proyek infrastruktur yang boleh jadi sebagiannya akan dikerjakan oleh grup perusahaan, perusahaan keluarganya dan perusahaan koleganya. Kiranya pantas saja kabinet kali ini namanya Kabinet Kerja, mungkin maksudnya agar sebagian besar proyek-proyek fisik bisa “dikerjakan” oleh perusahaan dan jaringan JK.

Sungguh sangat ironis, rezim Jokowi-JK ternyata seakan tak ada bedanya dengan rezim sebelumnya yang tetap dan selalu bersikukuh menaikkan harga BBM. “Tidak ada cara lain selain menaikkan harga BBM,” kata JK usai berbicara di acara Sekolah Legislatif NasDem, Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (22/8/2014).

Rencana JK untuk menaikan harga BBM ini secepatnya kemudian didukung penuh oleh salah seorang yang diduga sebagai cukong pemenangan JK sebagai wapres mendampingi Jokowi, yakni Sofjan Wanandi. Selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan meminta harga BBM subsidi dinaikkan sebesar Rp3.000 per liter pada bulan November (2014) mendatang.

“Bila dibiarkan dan tak ambil langkah strategis dikuatirkan APBN tak mampu lagi menanggung beban subsidi. Karena pemerintah ngga bisa bayar 1 hari Rp1 Triliun, gaji-gaji pemerintah bayarnya pakai utang. Kalau utang melulu, bangkrut negara ini,” celoteh Sofjan.

Sepertinya Wapres JK dan Sofjan benar-benar kompak ingin kembali membodoh-bodohi rakyat dengan berusaha mencari pembenaran melalui argumen masing-masing, namun sesungguhnya argumen tersebut patut diduga hanyalah kedok untuk meraih kepentingan dan keuntungan bisnis mereka.

Subsidi BBM, katanya, membebani APBN. Tapi benarkah selama ini pemerintah memberikan subsidi atau sebaliknya justru rakyat yang memberikan subsidi untuk pemerintah dan kepentingan para kapitalis?

Pemerintah telah membohongi rakyat, dan sungguh pemerintah tidak peka dengan kehendak rakyat. Beberapa waktu lalu, Lembaga Survei Nasional telah melakukan survei untuk mengetahui apakah rakyat bisa menerima kebijakan kenaikan harga BBM atau tidak? Hasilnya, sebanyak 86,1% respoden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, dan  yang setuju hanya sebesar12,4 %, selebihnya tidak tahu.

Urusan subsidi BBM selalu saja “divonis” sebagai penyebab utama sulitnya sebuah pemerintahan bisa dijalankan. Dan masalah subsidi BBM selalu saja dijadikan kambing hitam dan alasan sulitnya pemerintah memberikan anggaran lebih untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Padahal sesungguhnya beban APBN yang terberat adalah utang luar negeri dan pemborosan APBN (seperti anggaran rapat kementerian dan lembaga, perjalanan dinas kementerian, mobil dinas para menteri dan pejabat negara, belanja IT, belanja pegawai, dan lain sebagainya), bukan subsidi BBM!

Kalau pun memang subsidi BBM yang selalu jadi masalah, sebagai pihak yang diberi kepercayaan dan amanah dari rakyat, pemerintah sudah seharusnya bisa mencari jalan keluar untuk mengatasinya, bukan dengan  hanya pandai menaikkan harga ataupun menghilangkan subsidi BBM!

Pemerintah harusnya jangan gengsi atau sok jago terhadap upaya mengatasi persoalan BBM ini, yakni dengan enggan menerima gagasan maupun ide dari sejumlah pihak untuk membantu memecahkan masalah BBM. Salah satunya adalah gagasan dari Dr. Rizal Ramli.

Menurut Rizal Ramli, jika rencana harga BBM ini disetujui naik sekitar Rp. 3.000 perliter, maka akibatnya lebih dari 10 juta rakyat Indonesia yang selama ini statusnya near poor alias hampir miskin, tiba-tiba saja jadi benar-benar miskin.

Dari patokan Bank Dunia, orang yang disebut miskin adalah mereka yang berbelanja kurang dari US$2 perhari. Siapa saja mereka? Data Korlantas tahun 2014 Mabes Polri menyebutkan, saat ini ada sekitar 86,33 juta pengguna sepeda motor. Jumlah ini ditambah dengan 2,2 juta nelayan (Kiara, 2012), dan 3 juta angkutan umum (organda, 2013). Jumlah kelompok ini sekitar 91,5 juta. Semuanya mengkonsumsi BBM jenis premium dengan harga Rp6.500 per liter. Di luar mereka adalah masyarakat menengah ke atas yang berjumlah 10,5 juta orang yang menggunakan mobil pribadi.

Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini menawarkan solusi kepada pemerintah guna mengatasi masalah BBM tersebut.

Ia mengusulkan agar BBM yang beredar di pasar segera dibagi jadi dua jenis. Jenis pertama, katanya, adalah BBM rakyat yang beroktan 80-83 (saat ini jenis premium oktannya 88). Sebagai pembanding di Amerika, oktan general gasoline 86 dan di negara bagian Colorado 83. Selanjutnya jenis kedua, BBM super dengan oktan 92 untuk jenis pertamax dan 94 Pertamax Plus.

Rizal Ramli menjelaskan, nilai oktan berhubungan dengan “ketukan” (knocking) yang mempengaruhi kinerja mesin. Semakin rendah nilai oktan mesin akan lebih sering mengalami ketukan, dan sebaliknya.

Rizal Ramli menguraikan, bahwa perbedaan oktan yang tinggi antara BBM rakyat dan BBM super akan membuat pengendara mobil menengah atas was-was dan jadi takut untuk menggunakan BBM rakyat. Pasalnya, mereka tidak ingin mesin mobilnya menggelitik (aus) karena akan mempercepat kerusakan mesin dan biaya perbaikannya tentu lebih mahal.

Rizal Ramli mengungkapkan, bahwa data BPH Migas tahun 2013, terdapat kelompok menengah bawah mengonsumsi sekitar 55 persen. Dengan kuota BBM tahun 2015 yang 50 juta kiloliter (kl), maka jatah mereka mencapai 27,5 juta kl. Sedangkan sisanya yang 45 persen atau sekitar 22,5 juta dikonsumsi kalangan menengah atas. BBM super ini dijual seharga Rp 12.500 per liter.

Rizal Ramli yang dikenal sebagai tokoh oposisinya Indonesia karena konsisten memperjuangkan ekonomi konstitusi sejak dulu dalam haluan ajaran Trisakti Bung Karno, menyatakan, agar dapat meringankan beban rakyat, harga BBM rakyat tak perlu dinaikkan atau tetap Rp 6.500 per liter. “Ini menyangkut nasib sekitar 100 juta penduduk miskin yang terdiri atas para pengguna sepeda motor, nelayan, dan pengemudi angkutan umum,” ujarnya.

“Pada 2013 Kementerian ESDM menyatakan harga keekonomian BBM Rp 8.400 per liter. Itu artinya pemerintah harus menyubsidi Rp 1.900 perliter. Tapi dari hasil penjualan BBM super, pemerintah untung Rp 4.100 per liter,” ujar Rizal.

Simulasi di atas, kata Rizal, pemerintah memang harus menyubsidi BBM rakyat sebesar 27,5 juta kl x Rp1.900= Rp.52,25 triliun. Namun di saat yang sama, pemerintah meraih laba dari penjualan BBM super yang 22,5 juta kl x Rp 4.100 = Rp 92,25 triliun. Dengan begitu, pemerintah sebetulnya masih mengantongi selisih positif sebesar Rp 40 triliun pertahun.

Dari uraian tersebut, solusi yang ditawarkan Rizal Ramli telah “menyulap” subsidi BBM yang kerap diangga momok bagi APBN akan menjelma menjadi keuntungan yang menggiurkan. Bayangkan saja, sebelumnya RAPBN 2015 dibayang-bayangi jebol karena subsidi BBM yang mencapai Rp363,5 triliun. Tetapi dengan solusi sederhana tapi cerdas itu, pemerintah bisa mengantongi surplus sebesar Rp 40 triliun.

“Solusi ini juga sekaligus menghapus praktik subsidi BBM yang tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas yang tidak berhak. Solusi berupa subsidi silang memungkinkan subsisi BBM betul-betul tepat sasaran, betul-betul untuk rakyat,” tegas Rizal seraya  mencoba meyakinkan bahwa gagasan berupa PEMBAGIAN DUA JENIS BBM ini bisa diterapkan di lapangan. Termasuk untuk menghentikan kelompok menengah atas yang kerap bandel dengan tetap membeli BBM rakyat.

Pertama, kata Rizal, kedua jenis BBM tersebut warnanya harus dibedakan dengan mencolok. Misalnya, warna biru untuk BBM rakyat dan BBM super berwarna merah. Tangki dan dispenser di SPBU-SPBU juga sebaiknya diberi warna pembeda, yakni biru untuk BBM rakyat dan merah untuk BBM super. Perbedaan harga dan spesifikasi produk ini adalah pelaksanaan dari prinsip subsidi silang.

Kedua, melakukan razia secara rutin terhadap kendaraan kelas menengah atas oleh aparat Dishub, Polantas, dan kalau perlu dengan melibatkan LSM. Siapkan juga sanksi berupa denda untuk setiap pelanggaran penggunaan BBM rakyat. Selain itu, juga ada sanksi sosial berupa dipermalukan di depan umum bagi pengendara kalangan menengah atas yang melanggar.

Gagasan Rizal Ramli ini sebetulnya jauh-jauh hari sudah digemakannya. Bukan bermaksud agar dirinya dapat dipilih menjadi menteri dalam kabinet Jokowi seperti para penjilat dan pemburu jabatan lainnya yang tahunya hanya mengekor dan setor wajah di hadapan Jokowi atau di muka Megawati Soekarnoputri. Rizal Ramli melakukan semua ini karena sekali lagi memang sejak dulu sangat mendambakan pemerintah di negara ini bisa benar-benar mengurus dan melayani kepentingan bangsa tanpa menyakiti dan menciderai hati rakyat. Dan apabila ada pihak yang coba-coba mempermainkan kedaulatan rakyat, maka Rizal Ramli bersama “barisan” rakyat tentu takkan diam untuk melakukan perlawanan yang bertujuan menunjukkan kebenaran kepada siapa saja, termasuk pemerintahan Jokowi-JK sekali pun apabila telah dianggap melenceng dan ingkar janji kepada rakyat.

Kembali mengenai masalah BBM. Dalam akun twitternya, beberapa jam lalu Rizal Ramli menulis sejumlah tweet seputar persoalan BBM. Di antaranya, ia tak menampik, bahwa kenaikan harga BBM memang juga bisa memperbaiki APBN, tetapi dampaknya terhadap pengurangan deficit current account, relatif kecil.

Rizal Ramli juga menulis beberapa tweet bernada pertanyaan. Misalnya, terlebih dahulu harus dijawab, harga minyak mentah dunia turun dari $110 ke $80/barrel, tapi mengapa pemerintah mau menaikkan BBM dalam negeri?

“Apakah adil menaikkan BBM tetapi tidak berani memberantas Mafia Migas (yang jelas-jelas) merugikan negara puluhan trilliun? Ingat pidato Pak Jokowi sikat mafia,” tulis Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Apakah adil menaikkan BBM tapi tidak berani dan tidak bisa menekan biaya cost recovery yang merugikan negara lebih dari 60 trilliun?” tulis Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Apakah adil menaikkan BBM, sementara negara membayar subsidi bunga obligasi BLBI 60 Trilliun/tahun kepada pemilik bank kaya sampai 20 thn yang akan datang?” tanya Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Apakah adil naikkan BBM, tapi tidak ada langkah konkrit untuk bangun 600.000 barrel sehingga biaya produksi BBM bisa turun 50%, tambah lapangan kerja?” tanya Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Apakah adil naikkan tarif listrik karena salah urus PLN, yang beli/sewa ratusan diesel yang boros solar sehingga biaya bikin listrik $30cent/kw?” tanya Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Kalau pakai batubara, biaya listrik hanya 6cent$. Salah urus, PLN harus disubsidi 107 trilliun, tarif listrik harus naik setiap 3 bulan. Adilkah (menaikkan tarif dasar listrik)?” tanya Rizal Ramli dalam tweetnya.

“Revolusi mental: jangan lihat masalah hanya di hilirnya (harga BBM), lihat dan selesaikan dulu di hulunya (mafia, KKN, salah urus, cost recovery)!” imbau Rizal Ramli dalam tweetnya.

Sekali lagi saya sebagai salah satu pengamat politik dan sosial sangat percaya, bahwa sikap yang diperlihatkan Rizal Ramli selama ini bukanlah bermaksud menyerang apalagi menjatuhkan pemerintah yang ada. Justru masukan, gagasan dan kritikan Rizal Ramli sejauh ini adalah salah satu bentuk partisipasi dan perhatiannya agar pemerintah benar-benar bisa memberikan yang terbaik buat kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan orang-orang atau kelompok tertentu saja.

Saya dan kawan-kawan justru akan memandang sangat aneh apabila ada gagasan yang bermanfaat dari sejumlah pihak untuk kebaikan rakyat, misalnya gagasan yang dapat diterapkan sebagai jalan keluar untuk atasi masalah BBM, tetapi kenyataannya malah diabaikan oleh pemerintah dengan memaksakan kehendak sendiri untuk tetap memberlakukan kenaikan harga BBM tersebut.

Boleh jadi di balik ngototnya JK untuk menaikkan harga BBM terselip sebuah peribahasa: “bakar tidak berbau” yang sangat patut diwaspadai oleh semua pihak, terutama Presiden Jokowi, para relawan Jokowi, dan juga kubu PDIP.

Artinya, Jokowi dan PDIP harus bisa benar-benar mempertimbangkan sikapnya sebagai satu-satunya partai oposisi selama 10 tahun, yang sangat getol memperlihatkan penolakan keras terhadap hampir seluruh kebijakan pemerintah SBY, misalnya kebijakan menaikkan harga BBM.

Ingatlah dalam dunia politik, sikap seperti itu bisa sangat berpotensi menjadi bumerang dan bisa menjadi hantaman balik dan “balas dendam” untuk PDIP sendiri. Apalagi jangan lupa saat ini ada sederet partai oposisi yang sudah siap-siaga “mengintai” setiap tingkah-laku Pemerintahan Jokowi-JK.

Untuk itu, Presiden Jokowi dan kubu PDIP (KIH) jangan mau gegabah mengikuti selera dan kehendak satu-dua orang atau kelompok tertentu saja dalam menaikkan harga BBM. Sebab, rakyat pasti akan sangat kecewa apabila Jokowi-JK yang diketahui belum jua memperlihatkan pekerjaan dan kinerjanya namun sudah buru-buru menaikkan harga BBM. Rakyat pasti melawan..!!! Ujung-ujungnya, Jokowi bisa saja terkapar jatuh seketika dari kursi kekuasaannya sebagai Presiden, dan secara konstitusi JK seketika itu pun bisa dinobatkan sebagai Presiden.

Momen seperti ini sudah pasti menjadi mimpi buruk bagi Jokowi dan PDIP, tetapi akan menjadi mimpi terindah bagi JK. Dan tak menutup kemungkinan momen seperti ini pula akan menjadi peluang KMP (di sana ada salah satunya Golkar) untuk bisa kembali masuk dalam pemerintahan di bawah penguasaan JK.

Olehnya itu, Jokowi dan PDIP jangan pernah “meremehkan” sosok JK yang kini kembali berhasil menjadi wakil presiden. Sebab bukan hal mustahil dalam dunia politik, seseorang pengusaha berduit gede seperti JK yang pernah dipecat sebagai menteri, pernah menjabat Wapres berpasangan SBY, juga pernah ngotot ingin naik kelas untuk menjadi seorang presiden sebagai capres pada Pilpres 2009, dan kemudian kembali “mau-maunya” turun kelas bertarung di posisi wapres sebagai cawapres mendampingi Jokowi pada Pilpres 2014 kemarin, bisa saja punya ambisi untuk merebut kekuasaan Jokowi sebagai presiden. Bukankah JK sendiri yang pernah mengatakan bahwa:  “dalam arena politik tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”? Semoga saja Presiden Jokowi tidak berubah menjadi lawan bagi JK demi Indonesia Hebat. Mari kita selalu ingatkan dan memberi masukan, kritik, saran serta gagasan cerdas bagi pemerintahan Jokowi agar bisa benar-benar mewujudkan Indonesia Hebat, bukan Indonesia Kombat.