Wednesday, 27 November 2013

Teriris Hatiku Mengetahui Kasus Bank Century

(AMS, opini)
MENGIKUTI perkembangan kasus Bank Century, rasanya hanya membuat hati rakyat kecil jadi sakit dan terkoyak perih, termasuk saya sebagai warga negara.

Bagaimana tidak. Dari kasus Bank Century itu dapat disimpulkan salah satunya adalah, bahwa BETAPA GAMPANGNYA PEMERINTAH MENGUCURKAN DANA talangan (bail-out) kepada bank “kecil” seperti Bank Century. Nilainya pun sangat fantastis dan tak tanggung-tanggung, yakni Rp.6,7 Triliun.


Alasan pemerintah bersama Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya menggelontorkan dana sebesar itu adalah demi sebuah “penyelamatan”, yakni agar tidak terjadi krisis ekonomi yang hebat secara nasional. Masuk akal tidak alasan ini jika diketahui bank tersebut hanyalah bagai ombak kecil di tengah lautan luas..???

Apalagi ketika itu pihak pemilik bank Century sebetulnya hanya membutuhkan dana talangan (yang lebih pas disebut plafon) Rp. 1 Triliun, tetapi kok bisa digelembungkan hingga mencapai Rp. 6,7 Triliun sebagai bail-out? Ibarat hanya butuh sepeda tapi diberi mobil. Ada apa ini? Sungguh sebuah misteri yang sangat luar biasa, dan siapa pun itu yang terlibat di dalamnya tentunya wajib untuk segera diungkap!!!

Namun terlepas apakah pihak pemilik Bank Century kemudian benar-benar menerima dana yang telah dikucurkan oleh “pemerintah” itu atau tidak, dalam hal ini tentunya tak ada hubungannya dengan saya. Artinya, itu bukanlah urusan saya.

Tetapi ketika saya mengetahui bahwa betapa GAMPANGNYA “pemerintah” (Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya) mencairkan duit hingga triliunan rupiah kepada bank kecil seperti Century tersebut, maka inilah yang kemudian “berdampak sistematis dam sistemik” terhadap sekujur tubuh saya. Hahahaaa…Mengapa???

Sebab, darah saya terasa mendidih dan hati saya terasa teriris ketika  mengetahui betapa gampangnya “pemerintah” menyalurkan dana sebesar itu kepada bank kecil (Century) yang telah diketahui sejak dulu memang sudah “sakit-sakitan”, tetapi toh tetap dipaksakan oleh “pemerintah”.

Sungguh, saya merasa sakit hati! Sebab di sisi lain, saya beberapa kali telah pernah mengajukan permohonan bantuan modal usaha kepada sejumlah bank, tetapi semuanya ditolak. Padahal, jika permohonan saya dikabulkan, maka usaha ini bisa memberi lapangan kerja buat sedikitnya 150 orang.

Saya memang sangat memaklumi kekurangan saya yang tak punya nilai agunan cukup sebagai dasar utama penolakan tersebut. Sehingga itu saya tak ingin menabrak aturan yang sudah disyaratkan oleh semua bank tersebut.

Tetapi terus terang, hati saya terasa sangat memberontak, seakan tak menerima  ketentuan tentang agunan tersebut. “Bank Century bisa dengan amat… sangat.. sangat mudahnya disuntik uang Triliunan Rupiah, ekornya saja Rp.700 miliar (dari Rp.6,7 Triliun tersebut) sudah sangat besar, tapi kok saya tak bisa??? Padahal saya cuma butuh 4 sampai 6 miliar??” begitu celoteh saya ketika itu, dan kalimat inilah yang terus menari-nari di benak saya hingga saat ini.

Suatu ketika saya pernah bincang-bincang dengan seorang teman yang sudah sukses menjalankan usaha kulinernya. Dalam perbincangan tersebut terungkap beberapa hal menarik.

Pertama, teman saya itu ternyata menceritakan bahwa dirinya adalah seorang “buronan” bank yang sudah lari ke sana-ke mari karena dililit utang bank atas usahanya yang macet di tempat sebelumnya.

Merasa lelah dikejar-kejar, ia pun mendapat ide untuk kembali meminta modal di bank tetapi dengan identitas (namanya) yang sudah berubah dan bermukim di daerah lain, tentunya dengan KTP yang sudah berubah pula. Ini yang kedua.

Ketiga. Untuk mewujudkan idenya itu, ia hanya butuh modal kecil untuk menyewa/kontrak rumah setahun sebagai tempat usahanya (sebagai pancingan) dan juga modal alakadarnya untuk pengadaan bahan baku jualan kulinernya.

Hal menarik yang keempat, saat usahanya itu telah berjalan, ia kemudian mencari rumah yang ingin dijual oleh pemiliknya. Ia berani melakukan tawar-menawar harga meski uang belum ada di tangannya. Setelah sepakat, ia pun meminta foto-copy akte kepemilikan tanah/rumah tersebut. Foto-copy akte inilah yang dijadikan sebagai bahan ajuan permohonan modal ke bank.

“Berapa Bapak nilai rumah ini ketika saya jadikan agunan untuk mendapatkan modal usaha?” begitu bekal pertanyaannya (teman saya tersebut) kepada pihak bank.

Alhasil, ada bank yang siap memberikannya jumlah dua kali lipat dari harga jual rumah yang telah disepakati (dalam tawar-menawar) dengan pemiliknya itu. Padahal sebelumnya, ia bukanlah nasabah (tabungan) di bank bersangkutan.

Dari dana yang telah cair dari bank, ia pun bisa membayar harga rumah tersebut, dan selebihnya ia pakai untuk modal usaha.

Dari hal-hal menarik dalam perbicangan tersebut, saya kemudian tertarik untuk mengikuti langkah tersebut. Tetapi karena saya bukan seorang “buronan” jadi saya tak perlu mengubah identitas saya hehehee…!?!

Pada Maret 2013, saya pun mengajukan permohonan permintaan modal usaha kembali ke sejumlah bank dengan menggunakan jurus seperti yang dilakukan oleh teman saya itu. Yakni, saya berhasil meminjam foto-copy sebuah akte tanah/rumah yang oleh pemiliknya memang ingin dijual seharga Rp.3 Miliar.

Bank yang menjadi harapan saya adalah Bank Muamalat, sebab saya merasa yakin bank inilah yang mungkin bisa lebih mulia, dan juga menilai bahwa mungkin bank inilah yang lebih mampu menentukan orientasi terhadap keunggulan tersembunyi yang dimiliki oleh pemohon modal. (Termasuk motto fanpage Bank Muamalat ini: Kami hadir untuk melayani Anda & siapapun punya kesempatan yang sama untuk meraih mimpinya bersama Bank Muamalat)

Dengan berharap bisa mendapat penilaian dari harga rumah tersebut di atas, Bank Muamalat pun melakukan survei ke lokasi. Alhasil, mereka hanya bisa menilai tanah dan rumah tersebut sebesar Rp.3,8 Miliar. Dan saat itu saya nyatakan setuju dan minta untuk segera diproses lebih lanjut.

Tetapi, esoknya terjadi pergantian pimpinan cabang Bank Muamalat di daerah saya, Gorontalo. Dan saya merasa perlu untuk melakukan silaturahmi kepada pimpinan baru tersebut pada keesokan harinya. Tetapi, sungguh di luar dugaan, pimpinan yang baru itu menolak proses permohonan saya, dan dengan angkuhnya mengatakan: “…maaf, kalau Bapak bukan nasabah (tabungan) kami, maka saya pastikan proses ini tidak akan bisa direalisasikan…”.

Mendengar itu, saya tak mau berdebat, saya lebih memilih untuk mengalah dan bergegas untuk mengembalikan urusan ini kepada Yang Maha Pemberi Kesuksesan. Seperti biasa, saya hanya berceloteh dan menyayangkan proses awal sebelum survei lokasi, yakni mengapa pihak Bank Muamalat tak mengatakan memang sejak awal jika ada syarat yang mengharuskan pemohon adalah hanya berasal dari nasabahnya.

Secara lembaga memang saya tidak tercatat sebagai nasabah (tabungan) Bank Muamalat. Tetapi secara moral saya adalah “nasabah” atau bagian dari simbol kental yang menjadi nuansa di Bank Muamalat tersebut, yakni nuansa Islam.

Tetapi tak mengapalah, itu hak mereka. Sehingga penolakan-penolakan dari bank tak jadi soal buat saya. Lagian saya selalu berprasangka baik dan positif kepada Tuhan, dengan merasa yakin bahwa di balik semua itu tentu ada rencana Tuhan yang lebih baik untukku.

Oh..iya, usaha yang kugeluti itu adalah penerbitan media cetak bulanan. Dan sekadar diketahui, embrio usaha ini lahir sejak awal dari perjalanan hidupku sebagai seorang freelance (tahun 1992-1994), lalu bergabung sebagai seorang jurnalis di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup tahun 1994-2000). Tahun 2000 saya mengundurkan diri dari harian terkemuka di Makassar itu karena tuntutan hati untuk bisa segera mandiri.

Upaya mandiri itu sebetulnya sudah saya lakukan di tahun 1998 sebagai awal perjuangan memasuki dunia usaha Penerbitan Media Cetak milik sendiri. Entah mengapa keinginan saya begitu sangat besar untuk menjadi seorang pengusaha penerbitan media cetak. Padahal dari segi ukuran kemampuan modal secara finansial saya nol besar. Berharap dari orangtua tidak mungkin, karena saya tahu, ayah saya hanya seorang pensiunan PNS golongan rendahan, ibu saya juga hanya seorang penyemangat dalam rumah tangga untuk ayah dan anak-anaknya.

Tetapi saya tetap saja berapi-api untuk ingin melalui hidup sebagai seorang pengusaha penerbitan media cetak. Sehingga kemudian harapan itu benar-benar kuperjuangkan dan kulakukan di tahun 1998.

Dan sejak tahun itu (hingga saat ini), saya tak pernah mendapat sokongan modal usaha sepeser pun dari bank atau dari lembaga-lembaga keuangan lainnya, apalagi dari pemerintah. Sehingga inilah alasan, mengapa hati saya merasa sangat teriris ketika  mengetahui “pemerintah” dengan sangat… sangat MUDAHNYA menggelontorkan dana triliunan rupiah kepada “bank kecil” seperti Bank Century, mengapa bukan pengusaha “kecil” seperti saya ini dan kepada mereka (rakyat kecil) yang juga punya potensi besar untuk menjadi sukses. Ini pula sekaligus yang menjawab tentang mengapa saya sangat “membenci” pemerintah saat ini.

Tetapi kebencian saya ini bukanlah sebuah dendam. Karena hati saya selalu mulia dan tulus demi menghidupi keluargaku melalui jerih-payah dan dari tetesan keringatku sendiri meski tanpa bantuan modal dari bank.

Satu-satunya fasilitas sebagai penopang operasional “start” awal menjalankan usaha saya adalah hanyalah satu unit komputer bekas, atau setara Rp. 750 ribu. Tetapi dari komputer “jadul” itulah saya bisa berkreasi dan menata helai demi helai lembaran media cetak dengan harapan kelak saya bisa mendapatkan modal usaha yang besar untuk meraih sukses besar pula.

Salah satu dasar pemikiran yang menjadi motivasi saya untuk mendapatkan modal usaha dari bank adalah, bahwa tanpa bantuan modal dari bank saja, toh..selama ini saya masih mampu menjalankan usaha penerbitan ini, apalagi seandainya diberi bantuan, maka tentu akan lebih dahsyat lagi.

Buktinya, dari satu unit komputer bekas itu (Alhamdulillah) saya mampu menafkahi seorang istri dan 3 orang anak saya, membeli mereka sebuah rumah, mampu gonta-ganti (memiliki) kendaraan, mulai motor hingga mobil. Dan sempat memperkerjakan 20 orang, masing-masing 15 orang sebagai wartawan dan 5 orang staf. Meski saat ini wartawan yang masih bertahan hanya tersisa 5 orang, dan staf tak ada lagi. Tapi jika diakumulasikan dari tahun 1998 hingga sekarang, saya sudah memperkerjakan orang sekitar 350 orang.

Kembali pada urusan proses di Bank Muamalat. Mengapa saya setuju dengan harga (Rp.3,8 M) yang sudah dimunculkan oleh pihak Bank Muamalat ketika itu. Sebab, Rp.3 M bisa saya kondisikan sebagai harga rumah tersebut yang di atas bidang tanahnya juga terdapat usaha kos-kosan yang sedang  berjalan (terisi full) sebanyak 30 kamar (Rp.500 ribu-Rp.750 ribu perkamar/bulan). Artinya, dengan usaha kos-kosan itu beban saya sudah tidak terlalu berat pada bank.

Selanjutnya, sekitar Rp.800 juta bisa saya arahkan untuk pengadaan mesin cetak standar, penambahan beberapa unit komputer, dan fasilitas penunjang operasional lainnya seperti kertas, tinta dan lain sebagainya. Semuanya akan saya gunakan untuk memunculkan sebuah media cetak harian.

Sebab, di Gorontalo hanya terdapat dua media cetak harian, itu pun kedua-duanya masih “satu atap”, yakni di bawah manajemen “Jawa Pos Grup”. Artinya, persaingan usaha bisnis media cetak di Gorontalo saat ini ibarat di atas sebuah ring tinju yang petinjunya adalah dua orang bersaudara yang saling menyayangi. Apa hebatnya..??? Dan untuk urusan kontrol sosial dari Pers terhadap Pemda-pemda, kepada bank-bank, dan aparat-aparat hukum nakal lainnya, silakan pembaca sendiri yang terjemahkan, apakah bisa berjalan dengan baik atau tidak…???

Berikut perjalanan usaha kemandirianku (tanpa bantuan modal dari bank) dalam menjalankan “JASA” Penerbitan Media Cetak (termasuk penerbitan buku-buku):
1.    Surat Kabar Umum “PAKARena” Makassar (1998-1999) — Status: independen;
2.    Tabloid “PARIWARA” Makassar (1999-2000) — Status: kerjasama dengan salah satu sekolah tinggi di Makassar; — tahun 2001 hijrah ke Gorontalo. Sehingga:
3.    Tabloid “PARIWARA” Gorontalo (2001-2003) — Status: independen;
4.    Buku “Menabur Anggaran, Menuai Kinerja”  (2003) — Status: Penulis, kerjasama Biro Keuangan Pemprov Gorontalo;
5.    Buku “Katalog Penduduk Miskin Prov. Gorontalo (Hasil Investigasi 2004) — Status: Penulis, kerjasama Pemrov. Gorontalo;
6.    Majalah “BENTOR” (2003-hingga sekarang, periodik dwi-bulan) — Status: Independen;
7.    Buletin “Modilito” (2005) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo (sekali terbit);
8.    Buletin “Caleg Kita” (2009) — Status: Kerjasama dua orang caleg DPRD Prov. Gorontalo dari dua partai berbeda;
9.    Majalah “Lampu Kuning” (2009-sekali terbit) — Status: Independen;
10.    Majalah “Fitrah Mandiri” (2009-2010) — Status: Kerjasama BUMD (PT. Gorontalo Fitrah Mandiri);
11.    Majalah “Berguru” (2010-sekali terbit) — Status: Kerjasama Pribadi Rusli Habibie (saat itu menjabat Bupati Gorontalo Utara);
12.    Majalah “Seputar Pohuwato” (2010) — Status: Kerjasama DPRD Kab. Pohuwato;
13.    Majalah “Gerbang Emas” (2010-2011) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
14.    Buku “Berkarya Nyata, bukan Berkarya Kata” — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
15.    Majalah “Matahati dan MADU” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 2 Calon Walikota 2013-2018;
16.    Majalah “Harapan Rakyat” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 1 Calon Walikota 2013-2018.

Sekali lagi, jika saja tak ada kasus Century yang dengan mudah dan gampangnya pemerintah mencairkan uang negara, dan jika saja tak ada pengalaman dari seorang teman saya yang pernah jadi “buronan” itu lalu tiba-tiba bisa sukses karena kembali berhasil “memperdaya” bank tersebut, maka pastilah hati saya tidak terlalu perih ketika harus mendapat penolakan dari bank.

Demikianlah artikel ini saya tulis, yang sekaligus sebagai sebuah “warisan” buat anak-anak dan cucu-cucu saya kelak. Yaitu sebagai bukti, bahwa ayah dan kakek mereka pernah hidup di zaman edan. Lalu mereka pun tentu akan berkata: di zaman edan itu ada bank yang hanya butuh satu motor namun pemerintah memberinya sejuta mobil. Lalu giliran ayah dan kakek saya cuma butuh angin untuk sepedanya yang kempis malah tak digubris. Sungguh menyakitkan…!!??!!

“Tapi hebat mana, apakah para bank dan pengusaha yang bisa sukses karena dapat bantuan modal miliaran hingga triliunan itu, atau ayah/kakek saya…???” ujar anak-anak dan cucu saya kelak.

Salam Perubahan…