Friday, 29 November 2013

(Pengalaman Rizal Ramli Selamatkan Bank) No Problem: No IMF, No Bailout, No Politically!!

(AMS, opini)
AWAL Juli 2001, akibat dari imbas krisis 1998, pemerintah masih menghadapi situasi yang amat pelik. Salah satunya adalah dengan munculnya rush yang dialami Bank Internasional Indonesia (BII), yakni sebuah potensi yang tak kecil timbulnya krisis ekonomi nasional.


Ketika itu, BII sebagai bank yang sahamnya 100% telah dikuasai oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tiba-tiba diserbu nasabah. Mereka menarik dana simpannya di BII seiring dengan mencuatnya kontroversi kredit yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun.

Kredit yang disalurkan kepada kelompok usaha yang dipimpin konglomerat, Eka Tjipta Widjaya – pemilik lama saham BII – itu dikabarkan masuk kategori lima, alias macet total.

Kondisi tersebut tentu saja memancing isu miring: BII kesulitan likuiditas. Kondisi inil pula kemudian yang membuat nasabah BII mulai panik, lalu menarik simpanan mereka. Jumlah dana yang ditarik semula cuma puluhan miliar rupiah. Belakangan, kepercayaan nasabah terhadap BII kian goyah, sehingga pemilik duit pun ramai-ramai menarik hingga mencapai Rp.500 miliar.

Dapat digambarkan, situasi saat itu sudah mengalami lampu merah, alias dangerous! Sebab, jika tak segera diatasi, maka bukan cuma BII sendiri, melainkan juga bagi perbankan nasional secara keseluruhan akan kena imbasnya (efek domino). Artinya, jika rush terhadap BII terus berlanjut, maka akan muncul efek domino: yakni bank-bank lain akan ikut kena getahnya, diserbu nasabah yang juga panik menarik dananya. Yang pada akhirnya, krisis ekonomi pun tak bisa dihindari.

Tapi untung saja, Rizal Ramli sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) ketika itu, sungguh amat jeli melihat gelagat buruk yang dipicu oleh rush bank tersebut.

Rapat maraton pun segera digelar, melibatkan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution, pejabat tinggi Departemen Keuangan dan staf Menko Perekonomian. Tujuannya, mencari solusi untuk menghentikan “pendarahan” (bleeding) di BII.

Mengetahui kondisi tersebut, IMF dan Bank Dunia mengajukan dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp.4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII sengan konsekuensi biaya Rp.5 triliun –itu sudah termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

Di mata Rizal Ramli, apa yang disodorkan IMF-Bank Dunia tersebut bukanlah untuk memecahkan masalah karena hasilnya sama-sama pahit, dan justru akan memunculkan masalah baru lagi.

Apalagi memang secara pribadi, sebelum masuk di pemerintahan, Rizal Ramli adalah sosok yang memang paling tidak setuju dengan pola penyelesaian masalah yang “gampangan” seperti itu, yakni pemecahan masalah yang hanya mengandalkan pemakaian uang negara dalam jumlah besar.

Bukankah memang sudah terbukti, bahwa rekapitalisasi belasan bank yang diamputasi tahun 1998, membebani keuangan negara hingga Rp.600 triliun? “Biaya penyelamatan bank yang dilakukan atas rekomendasi IMF-Bank Dunia itu merupakan yang terbesar di dunia. Dan itu pada akhirnya menjadi beban rakyat Indonesia,” tutur Rizal Ramli.

Ketika itu, Rizal Ramli mengaku tak ingin mengulangi cara-cara pejabat Indonesia di masa lalu, yang hanya selalu manggut-manggut dan melaksanakan rekomendasi atau saran yang diajukan oleh IMF-Bank Dunia. Apalagi kemudian pula terbukti, rekomendasi yang diberikan oleh kedua lembaga keuangan internasional itu bukannya menyembuhkan krisis ekonomi, tetapi malah kian membenamkan Indonesia ke jurang krisis yang amat dalam. Jadi, No IMF, No Bailout..!!!

Rizal Ramli pun berpikir untuk segera bergerak cepat mencari jalan keluar yang berbeda ketimbang menerima saran IMF-Bank Dunia. “BII kan bank yang bagus. Jaringan cabangnya luas, punya basis bisnis kartu kredit yang cukup besar, dan namanya juga cukup baik di mata nasabah,” ucap Rizal Ramli.

Akhirnya, solusi yang smart pun ditemukan Rizal Ramli pada hari Sabtu 30 Juni 2001 (17 hari setelah Rizal Ramli dilantik sebagai Menteri Keuangan). Dari situ (tanpa pemikiran dan tendensi politik), Rizal Ramli pun mengundang rapat Anwar Nasution, I Putu Gede Ary Suta, Kepala Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo, dan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe.

Dalam rapat itu, Rizal Ramli memaparkan gagasan atau skenario penyelamatan BII dengan cara “membuat berita”, yakni seakan-akan Bank Mandiri men-take over BII. “Tapi, saya tidak mau Bank Mandiri mengeluarkan duit serupiah pun untuk menyelamatkan BII. Langkah ini kita ambil untuk buying-time, mengulur waktu, sehingga kepanikan nasabah BII tidak kian menjadi-jadi,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli pun meminta dan mengarahkan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe untuk mengadakan konferensi pers mengenai pengambilalihan kepemilikan BII oleh Bank Mandiri. Nah, kata Rizal Ramli, jika publik tahu bank dengan aset paling besar di Indonesia itu berada di belakang BII, maka situasi yang muncul adalah para nasabah BII bisa menjadi tenang, sehingga serbuan nasabah bisa diredam.

Maka, pada Senin tanggal 2 Juli 2001, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe pun mengikuti arahan Rizal Ramli mengumumkan di hadapan Pers bahwa Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. “Kemungkinannya, 70 hingga 80 persen Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. Tapi, terlebih dulu akan dihitung harganya, kemudian tinggal tawar-menawar berapa harga yang pantas,” ujarnya Neloe dalam jumpa Pers di dampingi Menkeu Rizal Ramli, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, Ketua Bapepam Herwidayatmo, dan Dirut BII Hiroshi Tadano.

Para wartawan terus “mengejar” Neloe dengan berbagai pertanyaan tentang biaya yang akan dikeluarkan Bank Mandiri untuk mengambil oper BII; nasib pinjaman yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun yang macet; dan kaitannya dengan rencana Bank Mandiri go publik pada Oktober tahun 2001. Neloe menjawab semua pertanyaan wartawan tersebut dengan tangkas dan meyakinkan sesuai yang telah diarahkan Rizal Ramli kepadanya.

Tak hanya sampai di situ. Keesokan harinya, hasil konferensi pers difotokopi dan ditempel di papan pengumuman di seluruh di kantor BII, sehingga para nasabah yang datang ke semua kantor cabang dan cabang pembantu BII bisa mengetahui, bahwa BII kini di-back up secara penuh oleh Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia.

Dengan hanya langkah cerdik seperti itu, nasabah pun menjadi tenang, trust-nya berangsur-angsur pulih menyusul kepanikan yang mulai mereda. Bahkan para nasabah kembali bersemangat menyimpan uangnya di BII, karena kala itu BII menerapkan pemberian suku bunga ekstra 1-2 persen di atas suku bunga perbankan pada umumnya.

Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.

Kepada jajaran Direksi baru BII tersebut, Rizal Ramli ketika itu memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, tapi saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli dalam Prime Times News Metro-TV, Selasa (26/11/2013) .

Alhasil, dalam tempo satu setengah bulan, jajaran direksi baru itu pun mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur. Dan dengan solusi kebijakan inovatif yang diterapkan Rizal Ramli terhadap masalah BII itu nyatanya berhasil meredam krisis tanpa menimbulkan efek domino kepada bank lain. Juga tak kalah menariknya, Rizal Ramli mampu menyelesaikannya tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sungguh sebuah terobosan yang jitu. Dan itu hanya bisa dilakukan jika tidak melibatkan pemikiran dan kepentingan politik “busuk” di dalamnya.

Dan inilah cara penyelamatan bank yang pernah dilakukan Rizal Ramli selaku Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur, yakni tanpa memakai uang negara dalam jumlah besar sama sekali. Dan  penyelamatan bank tanpa bailout, tanpa BLBI seperti yang telah dilakukan Rizal Ramli tersebut belum pernah terjadi dalam sejarah perbankan Indonesia, kecuali dalam kasus BII.

Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp.4 Triliun sampai Rp.5 Triliun. Dengan model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli itu biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” ujar Rizal Ramli sambil tersenyum seraya menambahkan bahwa yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya tanpa membuka ruang politik di dalamnya.

No IMF…, No Bailout…, No Politically… maka No Problem…!!! Dan “no” yang ditempuh Rizal Ramli inilah  yang patut disebut TINDAKAN MULIA, bukan budio-”NO“.