Saturday, 9 November 2013

SBY Banyak Mencetak “Orang Gila dan Penjahat”?


(AMS, opini)
JUDUL di atas mungkin boleh juga dijadikan sebagai indikator ketidakberhasilan SBY selama menjabat presiden dua periode dalam membangun ekonomi di negeri ini.

Alasannya, hingga saat ini kondisi ekonomi negara kita masih saja berantakan dan tak menentu. Sangat jauh dari janji-janji yang dilontarkan SBY.


Di saat ekonomi rakyat belum berhasil diiperbaiki, SBY dengan kekuasaannya malah memaksakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik. Seakan tak ada lagi cara lain yang bisa ditempuh selain menaikkan harga BBM, yang kemudian dari situ seluruh kebutuhan hidup masyarakat pun jadi ikut naik.

Sungguh, dalam kondisi seperti itu membuat masyarakat bawah makin terbebani dan sangat sulit berkembang: “...hidup segan, mati pun enggan...”. Dan hal ini pula yang mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia kian meningkat. Diperkirakan sekitar 50 juta atau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa akibat mengalami himpitan kebutuhan hidup (krisis ekonomi).

“’Jumlah ini cukup besar. Artinya, satu dari empat penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa dari tingkat paling ringan sampai berat,” ungkap mantan Ketua Persatuan Dokter Jiwa Indonesia, Prof Dr Dadang Hawari kepada SP di Jakarta, berkaitan dengan hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober.

Menurut Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, gangguan jiwa adalah sindrom atau pola tingkah laku dan psikologi yang secara klinis bermakna dari seseorang dan berhubungan dengan penderita (distress) atau disabilitas atau meningkatnya risiko untuk penderita sakit, disabilitas, kematian atau kehilangan kebebasan. Fakta meningkatnya penduduk yang mengalami gangguan jiwa akibat krisis ekonomi (beban hidup) di tanah air, sangat banyak.

”Kasus Pasuruan telah membuktikan bahwa masyarakat telah benar-benar dilanda depresi. Hanya demi uang Rp 30.000 rela berdesak-desakan, hingga 21 nyawa orang melayang,” ujarnya.

Juga dengan seorang berinisial AP menuturkan kenekatannya menjabret. karena desakan ekonomi serta banyak utang. Salah satunya ia merasa tersiksa menanggung sisa utang Rp.3 juta untuk biaya operasi istrinya yang mengalami keguguran. “Orang yang meminjami uang itu berulang-ulang menagih. Itulah sebabnya saya nekat berbuat jahat,” ujar AP, seperti dikutip suaramerdeka.

Begitu pun dengan Atun, seorang janda, saat tertangkap tangan mengaku sengaja mencuri 10 kilogram gula merah karena terhimpit kebutuhan ekonomi untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil karena suaminya telah meninggal dunia. Namun akibat dari perbuatannya itu, Atun di ancam penjara 7 tahun.

Hal yang sama juga dialami Agus yang terpaksa diancam penjara 5 tahun karena kepergok mencuri isi kotak amal pondok pesantren yang terpasang di pintu masuk Indomaret, Jalan Mangga, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, dini hari, pada Mei 2013 lalu. Di hadapan polisi, Agus mengaku nekat mencuri karena lapar.

Lalu pula seorang warga Gang Tani, Kelurahan Pringsewu Barat-Lampung, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, Rabu (9/10/2013), karena tidak kuat hidup miskin.

Pemerintah tidak boleh lagi menutup mata, jika tidak ingin tingkat depresi masyarakat semakin tinggi karena desakan ekonomi yang akan membuat orang mengambil jalan pintas, seperti bunuh diri dan melakukan kejahatan lainnya (misalnya mencuri, merampok, dan bahkan membunuh) karena telah mengalami gangguan jiwa ataupun skizofrenia.

Meski di sisi lain pemerintah sering membeberkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah semakin membaik. Menurut saya itu adalah bohong besar. Sebab faktanya, sangat banyak rakyat Indonesia yang melakukan bunuh diri dan berbuat kejahatan hanya karena terhimpit masalah ekonomi.

Jika angka pertumbuhan ekonomi itu memang benar, maka saya yakin yang paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut hanya selalu yang itu-itu saja, yakni mereka yang sejak dulu berada di kelas atas, bukan rakyat yang hingga kini masih tetap berada di level bawah dengan 1001 mimpi-mimpi indah yang tak kunjung terwujud.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, pernah menanggapi keras statement pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi yang disebutkan telah meningkat itu. Rizal Ramli mengatakan, pemerintah jangan terlalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi saat ini (yang mencapai 5,7 persen). Sebab, katanya, yang 5 persen lebih itu adalah hanya dinikmati oleh kalangan atas.

“Di Indonesia, mereka inilah (kalangan level atas) yang semakin makmur dan kaya. Bahkan 2,5 persennya sangat luar biasa kaya-nya. Sementara, terdapat 80 persen lebih rakyat Indonesia dari sisi kesejahteraan masih bermasalah. Daya beli masyarakat semakin merosot karena banyaknya pengangguran dan harga pangan yang kini meloncat luar biasa tingginya,” ujar Rizal Ramli yang kini memimpin Kadin selaku Ketua Umum periode 2013-2018.

Sehingga dalam hal ini, menurut saya, Rizal Ramli selaku ekonom senior tentu pula sangat prihatin dengan cara-cara kepemimpinan SBY yang selama ini cenderung sangat kurang peduli terhadap nasib rakyat serta masa depan negara ini. Apakah SBY tak punya kemampuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat kita?

Tetapi saya agak curiga, jangan-jangan SBY memang sengaja ingin menjadikan rakyat ini tetap berada di garis kemiskinan dan kebodohan, agar pada gilirannya (ketika Pemilu) rakyat bisa kembali dengan mudah dibeli suaranya?

Bukan hanya orang miskin yang berhasil dicetak sebagai penderita gangguan jiwa, SBY di sisi lainnya juga nampaknya “sukses” melahirkan “orang gila dan penjahat” di kalangan kelas atas, yakni sebagai koruptor. Pun “gila” harta, tahta dan wanita.

SBY sebagai kepala negara tidak bisa lepas tangan, misalnya dengan menuding bahwa munculnya orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dan yang melakukan kejahatan itu adalah karena faktor individu masing-masing. Jika pemikiran seperti ini yang ada di benak SBY, maka apa gunanya ada pemimpin dan apa manfaatnya ada pemerintah jika hanya menganut faham individualis...???

Kondisi penduduk Indonesia yang banyak mengalami gangguan jiwa ini juga bisa makin diperparah dengan program-program dan siaran dari sejumlah stasiun televisi yang sangat tidak mendidik. Misalnya, penayangan acara yang sengaja mempertontonkan pria berpakaian dan berlagak wanita. Tujuannya untuk menghibur, tetapi  tanpa disadari itu justru membuka lebar peluang penonton yang masih taraf gejala gangguan jiwa ringan, bisa menjadi berat, yakni dengan melakukan hal serupa seperti yang disuguhkan oleh stasiun televisi tersebut.

Dan inilah wajah Indonesia terkini: “.. berdebat bukan karena mencari solusi; diam bukan berarti sedang berpikir; menangis bukan karena sedih; dan tertawa bukan karena sedang bahagia..”, tetapi karena sedang mengalami gangguan jiwa. Penyebabnya, karena pemerintah tidak pernah memahami jiwa serta cita-cita luhur negara dan bangsa (manusia) Indonesia.