(AMS, Opini)
SUNGGUH, Indonesia hampir saja menjadi bangsa dan negara besar yang benar-benar bisa “bercahaya” dan berdikari di bidang ekonomi. Yakni ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden ke-4 di negeri ini. Ketika itu, Gus Dur mampu mengurangi beban Utang Luar Negeri (ULN) sebesar 9 Miliar US Dolar.
Gus Dur sungguh luar biasa. Sebab, sepanjang sejarah Indonesia, hanya Gus Dur yang mampu menurunkan jumlah utang luar negeri secara signifikan dalam waktu singkat, yakni hanya dengan waktu 1,9 tahun sebagai presiden. Sebelumnya, Presiden BJ. Habibie juga berhasil menurunkan ULN sebesar 3 Miliar US Dolar dengan masa jabatan 1,5 tahun.
Sayangnya, seberkas cahaya yang mulai terang (berdikari di bidang ekonomi mulai nampak) yang dimunculkan oleh Gus Dur itu, tiba-tiba dipadamkan secara paksa oleh “nafsu politik” dari sejumlah elit politik yang bejat dan rakus kekuasaan. Dengan berbagai upaya “membolak-balikkan” situasi dari para politisi busuk ketika itu, Gus Dur pun berhasil mereka lengserkan dengan alasan yang hingga saat ini tak bisa dibuktikan di muka hukum.
Meski begitu, setelah Tuhan yang hanya memberinya waktu 1,9 tahun sebagai presiden RI, Gus Dur pun ikhlas melangkahkan kakinya keluar dari Istana Negara dengan meninggalkan dan “menitipkan” warisan Utang Luar Negeri yang berhasil ia turunkan sebesar 9 Miliar US Dolar.
Dari catatan yang ada, Presiden Soekarno meninggalkan Utang Luar Negeri sebesar 6,3 Miliar US Dolar. Pada pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto menambah utang tersebut sebesar 144,7 Miliar US Dolar menjadi 151 Miliar US Dolar. Lalu utang Orde Baru itu berhasil diturunkan oleh Presiden BJ. Habibie sebesar 3 Miliar US Dolar menjadi 148 Miliar US Dolar dalam waktu 17 bulan kepemimpinannya.
Dari situ, Presiden Gus Dur juga kemudian berhasil mengurangi beban negara atas Utang Luar Negeri tersebut sebesar 9 Miliar US Dolar menjadi 139 Miliar US Dolar dalam waktu dan masa kepemimpinan yang juga sangat singkat, yakni 21 bulan.
Sayangnya, Gus Dur yang bekerja jujur dan mengabdi secara tulus itu tak disukai oleh para “mafia politik/kekuasaan” di negeri ini. Coba kalau Gus Dur bisa diberi kesempatan yang sama seperti SBY (dua periode atau 10 tahun), maka bisa diperkirakan utang luar negeri kita paling banyak hanya tersisa 50 Miliar US Dolar.
Setelah Gus Dur lengser, “budaya” mengurangi utang luar negeri ini tak bisa dipertahankan. Presiden Megawati dalam 3,3 tahun masa kepemimpinannya menambah utang sebesar 2 Miliar US Dolar menjadi 141 Miliar US Dolar.
Dan sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa selama 10 tahun, ULN malah semakin parah, bagai bisul-bisul yang terus membengkak. Di akhir masa jabatannya, Presiden SBY mewariskan utang sebesar 291 Miliar US Dolar.
Artinya, SBY selama 10 tahun hanya bisa memnambah beban negara dengan menambah utang sebesar 150 Miliar US Dolar. Bandingkan dengan masa Presiden Soeharto yang meski berkuasa selama 32 tahun tetapi hanya menambah utang sebesar 144,7 Miliar US Dolar. Atau dengan Presiden Gus Dur yang meski dalam masa pemerintahannya cukup dan serba sulit serta sangat singkat tetapi masih sempat berhasil menurunkan utang sebesar 9 Miliar US Dolar.
Lalu apa rahasia dan kiat Presiden Gus Dur yang mampu menurunkan ULN dalam tempo 21 bulan sebesar 9 Miliar US Dolar tersebut?
Adalah model kepemimpinan Gus Dur sangat patut diteladani oleh para pemimpin saat ini. Kkarakter bawaan yang menonjol pada diri Gus Dur cukup santai dan ringan. Ia memimpin negeri ini seakan tanpa beban yang berarti, karena kerangka berpikirnya selalu mengedepankan nilai-nilai demokratis, kejujuran, kesejukan dan perlindungan yang nyata terhadap semua golongan tanpa membeda-bedakan SARA. Sampai itu legacy Gus Dur juga adalah dikenal sebagai tokoh yang berhasil meletakkan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi.
Dalam memimpin dan mengambil kebijakan, sepanjang diyakininya sebagai sebuah kebenaran dan kebaikan untuk semua umat dengan tidak menabrak konstitusi, maka Gus Dur takkan menyerah sedikit pun atau sama sekali tak ingin mengikuti selera dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. “Saya lebih baik tak jadi presiden daripada harus mengkhianati konstitusi,” kata Mahfud menirukan ucapan Gus Dur.
Artinya, ketika menjadi presiden, Gus Dur sedikit pun tak ingin didikte, apalagi diintimidasi. Gus Dur benar-benar menunjukkan, bahwa dirinya bukan pemimpin boneka yang harus seenaknya tunduk pada kepentingan satu pihak atau kelompok tertentu saja. Termasuk ketika ia pernah “didesak” oleh beberapa parpol agar dapat membangun deal-deal politik dalam kekuasaan.
Boleh jadi ketika itu karena banyak pihak (elit politik) yang sudah merasa “terganggu” dengan kinerja Gus Dur sebagai presiden sudah dinilai cukup memuaskan dan sangat berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat, membuat hal ini pun dipandang sebagai sebuah “ancaman” tersendiri bagi parpol-parpol lainnya.
Artinya, boleh jadi ada pandangan “kecemasan” dari elit-elit parpol ketika itu, bahwa di saat Gus Dur dianggap berhasil dan sukses menjalankan tugasnya sebagai presiden dengan hasil yang memuaskan, maka jangan-jangan hal itu akan bisa membuat “lahan kekuasaan” parpol lainnya menjadi “kering”.
“Waktu itu sudah ada kesepakatan, mari Gus Dur diselamatkan, tapi kabinet harus dirombak dan menteri yang dari partai biar partai saja yang menentukan,” kisah Mahfud yang juga pernah jadi kader PKB ini.
Mahfud merasa lega dua partai besar tersebut akan membela Gus Dur di parlemen. jika Golkar dan PPP ditambah PKB kompak, Gus Dur tidak akan bisa dijatuhkan lewat parlemen.
Namun, lanjut Mahfud, ketika kesepakatan pertemuan itu disampaikan, lagi-lagi Gus Dur menolak. “Kata Gus Dur, itu berarti melanggar konstitusi. Menentukan menteri itu kewenangan penuh presiden. Kalau begitu saya menolak,” kata Mahfud menirukan tanggapan Dus Dur waktu itu.
Jadi, kata Mahfud, dalam pandangan Gus Dur, konstitusi menjadi suatu hal yang harus tetap dipertahankan. “Demokrasi bukan pasar, bukan seperti jual beli. kalau mau reshuffle kabinet, OK. Tapi mereka jangan ikut campur, saya yang menentukan orangnya,” ujar Mahfud mengutip ucapan Gus Dur lagi.
Sekali lagi, karena Gus Dur bukan presiden boneka, maka ia sangat menolak jika ada pihak yang coba-coba ingin intervensi dan ikut campur dalam hal menentukan orang-orang yang akan diposisikan sebagai menteri dalam “Kabinet Persatuan Nasional” yang dipimpinya.
Sebab, Presiden Gus Dur sangat tahu persis siapa-siapa yang patut diangkat dan siapa-siapa yang layak diberhentikan (dipecat) sebagai menteri. Dan semua itu bisa dengan tegas dilakukan oleh Presiden Gus Dur tanpa ada muatan dan desakan politik yang mempengaruhi atau yang menungganginya.
Terbukti Gus Dur mampu membangun sebuah kabinet yang benar-benar kuat secara “alami” yang dibentuk sesuai kebutuhan bangsa dan negara (bukan dari hasil rekayasa atau lobi-lobi secara politik). Dan dari kabinet inilah Gus Dur pun boleh dikata berhasil membenahi berbagai permasalahan negara, terutama mampu membenahi sebagian besar masalah ekonomi bangsa, salah satunya mengurangi utang luar negeri tersebut.
Berbagai keberhasilan Gus Dur sebagai presiden, yang meski hanya dijabat dalam waktu singkat itu, tentu saja tidak terlepas dari peran dan daya dobrak dari para menteri dalam menghasilkan kualitas kinerja yang tinggi. Misalnya, di sana ada Rizal Ramli yang sangat dipercaya oleh Gus Dur karena dinilai sangat ahli serta berkompeten sebagai tulang punggung dan ujung tombak di bidang ekonomi, yakni sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, lalu terakhir menjabat Menteri Keuangan.
Juga ada Mahfud MD yang diposisikan sebagai Menteri Pertahanan, kemudian terakhir dipercaya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Dan ada pula (Alm) Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, serta para menteri-menteri lainnya yang dianggap sangat loyal serta satu visi-misi serta se-ideologi dengan Gus Dur adalah mereka-mereka yang tentu memiliki kapasitas dan integritas yang cukup tinggi di bidangnya.
Dan diakui atau tidak, kenyataan menunjukkan, bahwa dari para menteri-menteri yang sejalan dengan Presiden Gus Dur ketika itulah yang mampu membuktikan bahwa Abdurrahman Wahid adalah Presiden Indonesia yang terbaik, khususnya dalam mengurangi utang luar negeri dalam waktu singkat.
Dan Presiden Gus Dur (serta menteri terkait) seharusnya mendapat pengakuan dari Rekor MURI sebagai Presiden/Pemerintah yang mampu mengurangi ULN sebesar 9 Miliar US Dolar.