(AMS, Opini)
PEMERINTAH, terutama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah menyuarakan secara lantang keinginannya untuk segera menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Akibat dari rencana kenaikan harga BBM tersebut membuat masyarakat tiba-tiba panik, dan antrian kendaraan di SPBU pun mendadak terlihat di berbagai daerah yang kemudian memicu terjadinya kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok.
Meski aksi penolakan keras dari kalangan mahasiswa mulai digelar di berbagai daerah, terutama di Makassar, namun unjuk-rasa tersebut nampaknya tidak akan membuat surut “nafsu” JK untuk segera menaikkan harga BBM.
Bahkan JK makin mempertegas keinginannya tersebut dengan menyatakan, bahwa harga BBM harus naik, lebih cepat lebih baik. “Pokoknya bulan (Nopember) inilah (naik),” kata JK di kantor Wakil Presiden RI, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2014).
Demi menyelamatkan APBN agar tidak jebol akibat alokasi subsidi BBM yang begitu tinggi adalah salah satu alasan JK ngotot menaikkan harga BBM. Di sini JK seakan-akan melihat APBN sedang mengalami “sakit” akibat beban berat anggaran subsidi BBM. Padahal bukan di situ letak sakitnya, dan bukan begitu cara mengobatinya.
Pemerintahan-pemerintahan sebelumnya juga kerap menjadikan alasan tersebut dalam menaikkan harga BBM, tetapi kenyataannya, alasan tersebut hingga saat ini terbukti tidak mampu membuat APBN jadi sehat. Bahkan dengan menaikkan harga BBM, jumlah penduduk miskin malah semakin bertambah.
Dan hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa sesungguhnya langkah menaikkan harga BBM bukanlah cara “pengobatan” tepat untuk menyehatkan APBN apalagi untuk membuat rakyat jadi sejahtera. “Mana ada kenaikan harga BBM bisa menyejahterakan rakyat?” lontar seorang politisi PDI-P, Effendi Simbolon, beberapa waktu lalu.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman sebagai Wakil Presiden, JK seharusnya sudah punya cara lain dalam mengatasi persoalan subsidi BBM ini. Jika caranya hanya itu-itu saja, maka rakyat tentunya akan sangat menyesal telah kembali memilih JK sebagai wapres.
Dan apabila JK tetap memaksakan diri untuk menaikkan harga BBM, maka ada baiknya JK segera mengundurkan diri saja sebagai wapres. Sebab, apabila JK hanya pandai menaikkan harga BBM tanpa punya cara lain yang lebih aman buat rakyat, maka semua juga pasti bisa menjadi presiden ataupun wakil presiden. Artinya, apa hebatnya seorang presiden atau wakil presiden jika dalam mengatasi persoalan BBM selamanya hanya bisa dengan cara menaikkan harganya? Kalau cuma begitu, Tukul juga bisa?!
Apabila ingin disebut sebagai wapres hebat, maka seharusnya JK bisa menempuh cara lain dalam menangani persoalan subsidi BBM, bukan hanya semata dengan cara menaikkan harganya.
Dengan menaikkan harga BBM, tidak menjamin APBN bisa sehat. Sebab, beban terberat dalam APBN bukan subsidi BBM, melainkan utang luar negeri dan pos-pos belanja (pemborosan) lainnya, seperti anggaran rapat-rapat kementerian dan lembaga, perjalanan dinas kementerian, mobil dinas para menteri dan pejabat negara lainnya, belanja IT, belanja pegawai, dan lain sejenisnya.
Taruhlah misalnya memang subsidi BBM yang dipandang amat membebani negara hingga dianggap APBN berpotensi jebol, tetapi bukan berarti langkah penanganan masalahnya hanya terletak pada satu cara. Pemerintah harusnya bisa bekerja kreatif mencari solusi lain, jangan hanya dengan menaikkan harganya, sebab bukan di situ letak “sakitnya”.
Sebaiknya pemerintah tak perlu pura-pura panik memandang subsidi BBM sebagai momok yang bisa menjebol APBN dengan buru-buru ingin menaikkan harga BBM. Sebab selain sudah jenuh dan kecewa, publik juga sudah tidak buta melihat di mana sesungguhnya letak masalah subsidi BBM tersebut. Artinya, publik sudah sangat tahu bahwa soal subsidi BBM selama ini “sakitnya tuh di sini”, yakni:
(1). Adanya mafia-mafia minyak yang menguasi kegiatan jual-beli BBM di Petral;
(2). Terdapat sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh kalangan menengah atas dan kaya;
(3). Kapasitas dan jumlah kilang minyak tidak memadai dengan kebutuhan BBM.
Sehingga itu, apabila Jokowi-JK mengaku diri sebagai pemimpin rakyat, maka lindungi dan berikan yang terbaik buat rakyat, bukan malah menaikkan harga BBM yang justru dapat membuat rakyat jadi semakin sengsara. Dan jika benar-benar ingin bekerja untuk mengatasi soal subsidi BBM, maka Jokowi-JK seharusnya segera memberantas mafia-mafia minyak, bisa dengan membubarkan ataupun memindahkan lokasi Petral ke dalam negeri. Pakar perminyakan, Dr. Kurtubi, mengecam dominasi mafia migas yang membuat harga BBM di dalam negeri jadi tinggi.
Selanjutnya, pemerintah hendaknya menata ulang sistem dan mekanisme pemberlakuan subsidi BBM. Yakni, untuk bisa tepat sasaran, maka pemerintah jangan merasa gengsi atau malu-malu kucing mengadopsi ide dan gagasan dari Rizal Ramli yang menawarkan sebuah jalan tengah agar subsidi BBM bisa tepat sasaran.
Ide Rizal Ramli itu cukup sederhana tapi cerdas dan sangat adil. Ia mengusulkan agar BBM yang beredar di pasar segera dibagi jadi dua jenis, yakni:
1. BBM RAKYAT (untuk kalangan bawah: miskin dan hampir miskin);
2. BBM SUPER (untuk kalangan menengah ke atas)
Di sini Rizal Ramli mengusulkan agar Pemerintah membuat BBM RAKYAT yang beroktan 80-83 (yang ada saat ini adalah jenis premium beroktan 88). Sebagai pembanding, di Amerika oktan general gasoline 86 dan di negara bagian Colorado beroktan 83.
Selanjutnya, menurut Rizal Ramli, BBM SUPER dibuat dan disediakan dengan oktan 92 untuk jenis pertamax, dan Pertamax Plus beroktan 94.
Untuk diketahui, nilai oktan berhubungan dengan “ketukan” (knocking) yang mempengaruhi kinerja mesin. Mesin kendaraan yang ber-CC (cubical centimetre) rendah, cukup aman mengonsumsi premium oktan 80 atau 83.
Tetapi bagi mesin kendaraan yang ber-CC tinggi (mulai 350 cc ke atas) akan sering mengalami ketukan apabila mengonsumsi premium yang beroktan 80-83 sehingga sangat berpotensi mengalami kerusakan.
Jadi (tanpa menaikkan harga BBM) subsidi BBM dengan sendiri bisa tepat sasaran dan terlaksana secara adil. Sebab, masyarakat yang memiliki kendaraan yang ber-CC tinggi bisa dipastikan tidak akan berani membeli premium jenis BBM RAKYAT kecuali jika ingin mesinnya rusak.
Selain mendesak agar mafia minyak diberantas, dan menawarkan gagasan pembagian dua jenis BBM, Rizal Ramli juga mengusulkan agar pemerintah segera membangun kilang minyak. Sebab, Indonesia saat ini mengimpor sangat banyak minyak mentah dan BBM. Pasalnya, selain kebutuhan BBM tinggi, produksi minyak dan kapasitas kilang yang dimiliki selama ini tidak cukup.
Seperti diketahui, kilang-kilang yang dimiliki Indonesia saat ini masih peninggalan Belanda. Jumlah kapasitas kilang-kilang itu sendiri hanya mencapai 1 juta barel per hari, sementara kebutuhan BBM di Indonesia rata-rata mencapai 1,5 juta barel per hari.
Menurut Rizal Ramli, sebaiknya pemerintah juga segera membangun kilang minyak berkapasitas 600 MBSD (600 ribu Barrel Stream Day). Jika ini dilakukan, katanya, maka biaya atau ongkos produksi untuk premium dn minyak tanah akan turun atau bisa ditekan hingga setengahnya.
Jika ketiga hal yang menjadi masalah tersebut di atas mampu dilakukan oleh pemerintah, maka harga BBM tak perlu dinaikkan.
Tetapi apabila pemerintah enggan melakukan upaya pembenahan terhadap masalah BBM sebagaimana tersebut di atas, dan tetap ngotot serta bernafsu untuk hanya menaikkan harga BBM, maka hampir bisa dipastikan pemerintah Jokowi-JK adalah penganut neoliberal dan kaki-tangan negara asing beraliran kapitalis.
Jika saja demikian adanya “wajah dan bentuk” pemerintahan Jokowi-JK, maka bisa dipastikan rakyat kembali akan merasakan kesengsaraan, yakni terhimpit beban ekonomi yang amat berat dan berkepanjangan.
Padahal rakyat baru saja bermimpi indah akan bisa mendapatkan perubahan dari pemerintahan yang baru ini, tetapi apabila harga BBM kembali dinaikkan, maka rakyat miskin (dan yang hampir miskin) akan kembali harus menahan “sakit” ----“sakitnya tuh di sini”, yakni (kepedihan) di hati di saat uang mereka tak cukup atau bahkan tak ada di kala ingin membeli beras, ikan, bumbu dapur, gas elpiji, beli pulsa listrik, dan lain sebagainya.
Juga “sakitnya tuh di sini”, yakni (kepedihan) di hati di saat anak-anak mereka merengek meminta uang jajan atau bahkan uang transpor ke sekolah, tak dapat mereka penuhi karena uang tak cukup atau bahkan tak ada samasekali.
Kondisi kepedihan rakyat miskin tersebut akan semakin tertancap di hati ketika di sisi seberang mereka ternyata terdapat begitu banyak pejabat, dan kalangan PNS (termasuk golongan/eselon rendah) yang “sibuk” memamerkan dan bersaing memperlihatkan gaya hidup mewah.
Mulai dengan pamer dan gonta-ganti handphone terbaru, cincin dan kalung emas yang kinclong, sepatu dan busana serta polesan make-up bak seorang model dan artis ternama, keluar-masuk shopping di mall-mal dan di rumah makan berkelas dengan mobil mewah, hingga membeli dan membangun sejumlah rumah di beberapa tempat.
Fenomena lifestyle para pejabat seperti tersebut di atas tidak sulit ditemui dan disaksikan di daerah-daerah. Dan seharusnya, mental-mental pejabat (PNS) seperti inilah yang sesungguhnya sangat perlu direvolusi! Kalau perlu segera tindaki para PNS (terutama kepala dinas/badan) yang diketahui memiliki lebih dari satu rumah dan mobil mewah! Tanyakan ke para pejabat (PNS) bersangkutan, dari mana duit sebanyak itu bisa mereka sedot?
Pemerintah hendaknya jangan memandang remeh “kelakuan” para pejabat (PNS) seperti ini. Sebab, jika hal-hal tersebut (lifestyle para pejabat itu) masih terus berlangsung, maka pemerintah jangan pernah bermimpi bisa mensejahterakan rakyat miskin, meski mungkin pemerintah berhasil menyelamatkan APBN (tidak jebol) dengan menaikkan harga BBM sekali sebulan, ekonomi rakyat miskin tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Sebab, uang-uang rakyat selama ini sebetulnya lebih banyak mengalir ke dalam kantong-kantong para pejabat beserta para kelompok-kelompoknya. Pemerintah harus tahu, bahwa salah satunya, sakitnya (juga) tuh di sini!
Apa pemerintah selama ini tak pernah mendengar kabar tragis? Misalnya, ada seorang ibu yang harus di penjara karena terpaksa mencuri susu buat bayinya akibat kesulitan ekonomi keluarganya? Seorang remaja yang terpaksa menganiaya dan bahkan membunuh orangtuanya karena tak diberi uang untuk membeli sebuah sepeda? Seorang ayah yang tewas dikeroyok warga karena tertangkap tangan mencuri seekor ayam? Dan masih banyak lagi peristiwa kriminal yang cukup tragis semacamnya sebagai akibat dari beban ekonomi yang sangat berat, juga sebagai akibat terjadinya kesenjangan sosial dan jurang pemisah yang sudah sangat terang benderang terlihat di tengah-tengah masyarakat.
Mungkin tidaklah terlalu mengherankan, apabila orang seperti JK sangat ngotot ingin menaikkan harga BBM tanpa seakan tak mau tahu seberapa pedihnya penderitaan rakyat miskin akibat kenaikan BBM tersebut. Sebab JK sejak masih di dalam kandungan (belum lahir saja) memang sudah berstatus orang kaya dan terpandang di lingkungannya. Jadi boleh dipastikan, bahwa rakyat Indonesia sesungguh sangat beruntung bisa memiliki Wapres seperti JK yang selama hidupnya tak pernah mengalami apalagi merasakan bagaimana perih dan pedihnya hidup sengsara karena terhimpit ekonomi. “Pak JK, sakitnya tuh di sini ---> di hati dan di batin yang paling dalam!
Jujur, rakyat sesungguhnya tak butuh dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang prakteknya hanya menyerupai BLT. Rakyat (petani) juga tak butuh-butuh amat dengan subsidi pupuk dan lain sebagainya. Rakyat saat ini hanya minta dengan sangat agar harga BBM jangan dinaikkan. Karena jika harga BBM naik, maka “sakitnya” terasa di mana-mana. Dan “sakit” itu HANYA dirasakan oleh RAKYAT MISKIN, bukan pejabat, bukan pula pengusaha (kontraktor) yang berada di dalam lingkaran istana presiden/wapres, dan di rumah dinas gubernur/wagub, walikota/wawali, atau bupati/wabup.