(AMS, opini)
KEPUTUSAN Partai Demokrat (PD) dalam menunjuk dan memilih Jusuf Kalla (JK) sebagai Cawapres untuk diduetkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Capres pada Pilpres 2004, adalah dinilai sangat tepat untuk menghadapi pasangan-pasangan calon dari para parpol lainnya, yang ketika itu terdapat 5 pasang capres.
Saat itu, JK yang lahir pada tahun 1942 masih berusia 60 tahun. Dan usia seperti ini memang dipandang sebagai usia produktif dan matang di dunia kepemimpinan negara.
Dan ketika itu, JK memang menjadi sosok “hangat” yang sangat penting dan strategis untuk dijadikan Cawapres SBY, sebab ia baru saja mengakhiri jabatannya sebagai Menko Kesra.
Boleh jadi juga karena waktu itu JK dianggap memiliki “financially the big power” (punya kekuatan keuangan-bisnis) yang dapat membantu mengatasi persoalan pembiayaan politik PD pada pilpres 2004 tersebut. Bukankah PD waktu itu boleh dikata memang masih “kere” untuk bertarung dalam Pemilu (istilah anak gaul: tidak punya uang cukup)..???
Mungkin itulah kiranya JK benar-benar menjadi sosok yang sangat “something” di mata PD ketika itu. Sehingganya, JK pun dipersunting sebagai pendamping SBY pada Pilpres 2004 silam.
Tidak hanya di mata PD, JK juga kemudian “menjelma” menjadi sosok yang sangat berarti di mata Partai Golkar. Yakni saat JK telah berhasil terpilih dan menjabat sebagai Wapres, seketika itu warga Partai Golkar sepakat dan bulat menunjuk JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung.
Namun bagai drama telenovela, pada Pilpres 2009, karena mungkin sudah merasa punya “modal” untuk biaya politik, SBY pun memantapkan diri “bercerai” dengan JK. Dan sebagai gantinya, SBY “meminang” Boediono untuk dijadikan sebagai pendamping baru.
Begitu pun ketika JK takluk dalam Pilpres 2009 sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto, Partai Golkar tak lagi bisa mempertahankan JK sebagai Ketua Umum.
Dan jelang Pilpres 2014 kini, mantan “istri tua” SBY itu pun nampaknya masih memiliki “nafsu” tinggi agar dapat dipersunting sebagai cawapres oleh Jokowi, Capres dari PDI-P itu.
Meski keinginan untuk maju bertarung dalam Pilpres adalah juga dapat menjadi hak seorang JK, namun banyak kalangan menilai, bahwa dengan usia yang sudah uzur saat ini JK sebaiknya tak usah memaksakan diri untuk mengejar kedudukan dan kekuasaan lagi, berilah kesempatan kepada orang lain yang belum pernah mendapat kesempatan namun layak untuk juga dilahirkan sebagai pemimpin baru.
Sekaitan dengan hal tersebut, saya sependapat dengan pandangan seorang pengamat dari Cyrus Network, Hasan Nasbi. Ia mengatakan, orang seperti mantan Wapres Jusuf Kalla tidak perlu mencalonkan lagi sebagai Wapres pada Pemilu 2014 ini.
Meski dinilai berpengalaman, namun menurut Hasan Nasbi, sosok ini (JK) dianggap tidak tepat untuk berpasangan dengan kandidat capres yang ada saat ini.
“Orang seperti Pak JK buat saya seharusnya menjadi mentor bagi siapa pun presidennya bukan berburu jabatan. Siapa pun presidennya maka JK bisa menjadi mentor bagi presiden terpilih,” ujar Hasan dalam sebuah diskusi bertema: “Kawin Paksa, Hancurkan Bangsa”, di Menteng-Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2014).
Dua dari kalangan lain juga menilai sama. Yakni, Lieus Sungkharisma selaku Koordinator Forum Rakyat dan Didied Mahaswara selaku Direktur Eksekutif The President Center, sepakat menyebutkan, bahwa JK sebaiknya lebih memilih menjadi negarawan ketimbang melibatkan diri dalam politik praktis dengan berambisi menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi karena pertimbangan usianya yang sudah sepuh.
Namun meski begitu, baik Lieus maupun Didied berharap (semoga) JK dapat menjadi orang pertama Indonesia yang bisa meraih Nobel Perdamaian.
“Pak JK sebaiknya memilih jadi negarawan atau jadi peraih Nobel Perdamaian saja, karena prestasinya sangat bagus, misalnya, dalam perdamaian berbagai konflik di tanah air, seperti Poso, Aceh, dan lainnya. Beliau kan nominator Nobel,” kata Lieus.
Saran dan penilaian lainnya terhadap ambisi JK yang ngotot kembali maju pada Pilpres 2014 juga disuarakan oleh sejumlah pengamat serta aktivis dalam sebuah diskusi bertema: “Pengusaha Hitam dan beban Demokrasi” yang digelar oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), di Hotel Aulia, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014).
Boni Hargens selaku pengamat politik dari UI menilai, terjunnya para pengusaha khususnya mengincar kursi wapres karena ada kepentingan ekonomi dan akses sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan kelompok usaha atau koleganya.
Seirama dengan Boni, Adhie Massardi dari Koalisi Masyarakat Bersih juga mencurigai ngototnya JK sebagai pedagang yang digadang-gadang untuk maju kembali sebagai cawapres, adalah karena faktor kepentingan ekonomi sekelompok pengusaha.
“Kalau Jokowi ingin didampingi orang yang mengerti ekonomi, jangan pengusaha atau pedagang, cari ekonom yang bersih, masih banyak,” kata Adhie.
Di tempat yang sama, Darmawan Sinayangsah selaku Direktur Freedom Foundation menyebutkan, JK terlalu tua untuk menjadi wapres bagi Jokowi. Lebih baik JK jadi negarawan yang mendidik saja, jadi politisi senior. Darmawan pun memaparkan kedekatan JK sebagai pengusaha dengan para pengusaha lainnya dapat menyebabkan fokus utama ekonomi nantinya hanya berpihak kepada bisnis mereka. Ini bertentangan dengan sosok Jokowi yang digambarkan sebagai wakilnya ‘wong cilik.’
Selain itu, politisi senior PDI-P, Sabam Sirait, jauh-jauh hari juga sudah pernah memberikan pandangannya bahwa wacana Jokowi-JK adalah pasangan yang tidak layak.
Dan semua yang dikatakan oleh para teman-teman pengamat, aktivis, maupun politisi seperti di atas, adalah sangat tidaklah keliru, termasuk jika ada pengamat politik atau pihak lain yang menuding bahwa JK selama ini boleh jadi hanya memburu kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya saja.
Sebab, bisa ditengok “perjalanan” JK yang berlatar-belakang sebagai pengusaha itu. Yakni dari Kabulog (dipecat), menteri perdagangan era Gus Dur (dipecat), selanjutnya naik menjadi Wapres (“dicerai” pada periode berikutnya). Lalu masa iya setelah tidak berhasil terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2009, JK kini malah lebih ngotot untuk kembali menjadi Wapres..???
Sehingga itu, dosen dan pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Herdi Sahrasad juga mengingatkan, agar JK mengurungkan niatnya maju ke bursa cawapres. Pasalnya, selain sudah berumur (tua), nama harum JK sebagai pemimpin dan negarawan akan tercoreng apabila terjebak dalam ambisi untuk kembali menduduki kursi wapres.
—————
SALAM PERUBAHAN 2014…!!!