Monday, 26 August 2013

Saya Amat Takut Jika SBY Marah


(AMS, reportase)
SELAMA ini, SBY sebagai presiden telah banyak memperlihatkan kelebihan dan kekurangannya. Dua hari yang lalu, aku sempat bincang-bincang dengan sejumlah warga di kampung istriku, Desa Deme I, di pesisir Pantai Gorontalo Utara yang penduduknya sejak dulu masih lebih banyak berstatus orang miskin. Begitu pun dengan penduduk di desa-desa tetangga lainnya yang juga berhadapan langsung dengan Laut  Sulawesi, masih saja tetap miskin.


Awalnya, perbincangan itu hanya seputar pada kepedulian pemerintah beserta para wakil-wakil rakyat daerah setempat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di antaranya, mengenai jalan desa, yang sebelumnya berpuluh-puluh tahun jalan tersebut tak pernah diaspal. Ketika telah diaspal, jalan itu malah sangat cepat rusak dan berlubang hingga kini.

Perbincangan lainnya, yakni tentang mata pencaharian penduduk di desa yang terkenal dengan kekayaan lautnya berupa ikan yang melimpah di Laut Sulawesi itu, ternyata tak bisa dikembangkan sebagai nelayan. Perahu yang “terparkir” di bibir pantai pun paling banyak jumlahnya hanya 4 buah perahu. “Biasanya kita kalau mau turun melaut cari ikan cuma bergantian pinjam perahu,” ujar seorang warga seraya mengungkapkan bahwa selama ini lebih banyak orang ke pantai adalah hanya untuk membuang sampah atau tinja.

Jika perahu-perahu terpakai semua, katanya, maka warga (nelayan) lain harus pandai-pandai cari kerjaan sampingan, seperti menjadi petani, cari kayu di hutan, dan ada pula yang dagang keliling dari pasar ke pasar dengan barang dagangan alakadarnya.

Tetapi sekarang, warga di desa ini mengaku mengeluh karena sangat mengalami kesulitan yang lebih tinggi lagi dibanding sebelumnya. Bagai orang yang babak-belur dihantam dengan kemiskinan, belum sempat menarik nafas, tiba-tiba kembali dihantam secara bertubi-tubi dengan kesulitan yang lebih mencekik. Yakni, sejak naiknya harga BBM yang diikuti pula dengan kenaikan harga seluruh kebutuhan pokok tepat bersamaan dengan tahun ajaran baru sekolahan, dan juga di saat-saat mendekati hari raya lebaran kemarin.

“Sebetulnya, di bulan April lalu, sempat ada acara penyerahan bantuan secara simbolis yang langsung diserahkan oleh Hatta Rajasa, tetapi bantuan itu sampai detik ini tidak sesuai dengan yang direalisasikan oleh pemda. Jadi sekarang itu bermasalah,” ungkap warga.

Perbincangan pun dengan sendirinya beralih ke masalah kepemimpinan SBY, yang dinilai hampir dua periode ini malah tambah tak mampu memberi solusi atas masalah-masalah kesulitan ekonomi yang tengah melilit rakyat. “Makanya, jujur, kami nanti hanya memilih presiden yang benar-benar jago dan ahli di bidang pembangunan ekonomi. Bukan yang jago di militer. Kalau di zaman perang pakai senjata memang cocok memilih presiden dari militer. Tapi sekarang ekonomi kita kan lemah sejak dulu, ya, jadi orang pakar ekonomilah yang mestinya jadi presiden,” ungkap polos seorang warga sembari lainnya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju.

Yang menarik, seorang tokoh pemuda yang juga terlibat dalam perbincangan pada malam itu mengatakan, SBY adalah presiden yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah sama dengan kelebihan yang dimiliki oleh rakyat miskin, yakni sama-sama suka mengeluh, bedanya SBY pandai melakukan curhat dan di mana-mana bisa curhat. “Kalau rakyat mau curhat di mana?” lontarnya.

Sedangkan kekurangan SBY, katanya, adalah sangat jarang terdengar marah dibanding dengan curhatnya. “Tapi saya malah amat takut jika dia (SBY) marah..,” katanya.

“Kenapa..?” tanyaku tergesa-gesa.
“Soalnya, tidak marah saja, nilai rupiah sudah jatuh seperti sekarang ini. Apalagi kalau dia (SBY) marah, wahh..bisa-bisa rupiah mati lemas,” katanya santai, lalu spontan diikuti ledakan tawa yang disusul tepukan ombak di bibir pantai malam itu.