Monday, 12 August 2013

Indonesia, “Bukan Lagi Milik Beta”


(AMS, opini)
INDONESIA adalah negara dengan kekayaan alam yang sangat besar dan melimpah. Di sanalah tempat lahir beta, menyimpan banyak sumber mineral, energi, perkebunan, hasil hutan dan hasil laut yang sungguh amat melimpah.
Di bidang pertambangan:
1. Peringkat 6 cadangan Emas;
2. Nomor 5 dalam produksi Tembaga;
3. Urutan 5 dalam produksi Bauksit;
4. Penghasil Timah terbesar di dunia setelah Cina;
5. Produsen Nikel terbesar kedua di dunia;
6. Tambang Grasberg Papua adalah tambang terbesar di dunia
7. Kesimpulannya, Indonesia berada dalam urutan teratas dalam hal bahan mentah (Raw Material)

Negara ini juga adalah produsen sumber energi terbesar :
1. Berada pada urutan nomor 2 eksportir Batubara di dunia setelah Australia;
2. Eksportir Gas Alam bersih LNG (Liquefied Natural Gas) terbesar di dunia, seperempatnya dikirim ke Singapura;
3. Eksportir terbesar Gas Alam Cair setelah Qatar dan Malaysia.

Dalam hal komoditi perkebunan:
1. Indonesia berada pada nomor 1 dalam produksi CPO (Crude Palm Oil);
2. Produsen Karet terbesar di dunia;
3. Urutan 3 dalam hal produksi Kakao;
4. Merupakan produsen Kopi terbesar di dunia bersama Vietnam dan Brazil.

Dan masih banyak lagi kekayaan alam yang Indonesia miliki, yang akibatnya menjadi sasaran utama investasi Internasional dalam rangka memburu bahan mentah. Umumnya investasi internasional berasal dari negara-negara industri maju. Tujuan utama investasi internasional di Indonesia ini tidak lain adalah untuk mengeruk bahan mentah yang menjadi kekayaan milik rakyat Indonesia.

Indonesia Sudah Jadi “Milik Negara Asing”
Sesungguhnya, saat ini Indonesia kembali di jajah dan sudah berhasil ditaklukkan oleh para kolonial dari Eropa dan negara-negara lainnya. Parahnya, bentuk penjajahan itu malah didukung oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam wujud MoU maupun kontrak yang berbau kongkalikong dalam mengeruk dan melahap habis kekayaan alam milik rakyat, sehingga sesungguhnya saat ini Ibu Pertiwi telah menangis terkapar tak berdaya karena “diperkosa” di depan anak bangsanya sendiri.

Tengok saja, total tanah atau lahan di Indonesia yang sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa dari negara asing:
1. Sekitar 42 juta hektar untuk pertambangan Mineral dan Batubara;
2. terdapat 95 juta hektar untuk Minyak dan Gas;
3. Ada 32 juta hektar di sektor kehutanan;
4. Sekitar 9 juta hektar untuk Perkebunan Sawit.

Luas keseluruhan yang telah dikuasai dan dikontrol oleh negara luar telah mencapai 178 juta hektar. Padahal luas daratan Indonesia adalah 195 juta hektar.

Investasi di Indonesia benar-benar sudah didominasi oleh perusahaan asing:
1. Sedikitnya 95% kegiatan investasi mineral dikuasai dua perusahaan AS, yakni PT. Freeport Mc Moran, dan PT. Newmont Corporation;
2. Sebanyak 85% eksploitasi Minyak dan Gas sudah dikuasai oleh negara asing, termasuk 48% migas dikuasai Chevron;
3. Sebanyak 75-85% perkebunan Sawit dikuasai negara luar;
4. Sebanyak 95% Air minum juga dikuasai asing;
5. Infrastruktur jalan tol 95% milik asing;
6. Industri farmasi dikuasai asing sebesar 75%, juga industri asuransi 80%;
7. Sudah 99% sektor Perbankan kini dikuasai negara asing;
8. Sebanyak 100% Mineral diekspor;
9. Sekitar 85% gas diekspor;
10. Terdapat 75% hasil perkebunan diekspor.

Hal tersebut di atas diungkapkan Salamuddin Daeng, dari Indonesia for Global Justice (IGJ), saat mengisi diskusi pada acara Rakernas MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia), Sabtu-Minggu (18-19 Mei 2013) yang lalu, di Jakarta.

Ia mengungkapkan bahwa investasi dalam rangka memburu bahan mentah di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Yakni sejak era kolonialisme Eropa tahun 1600-an.

Hingga tahun 1870-an, kata Salamuddin, kekuasaan Kolonial Belanda hanya meliputi Jawa dan Sumatera. Wilayah-wilayah lain hanyalah kekuasaan yang sifatnya administratif belaka. “Namun sekarang dominasi modal asing telah meliputi seluruh wilayah Nusantara hingga ke pulau terluar dan pulau-pulau kecil pun telah jatuh ke tangan modal asing,” ungkapnya.

Di sebutkannya, corak investasi di Indonesia saat ini bercirikan investasi kolonial, dengan tiga ciri utama, yaitu : Pertama, investasi menguasai tanah dalam skala yang sangat luas; Kedua, investasi hanya berorientasi mencari raw-material untuk kebutuhan industri di negara-negara maju; Ketiga, seluruh keuntungan atas investasi dilarikan ke luar negeri dan ditempatkan di lembaga keuangan negara-negara maju.

Secara detail, dikatakannya, di Nusa Tenggara Barat (NTB), PT. Newmont Nusa Tenggara menguasai 50% wilayah NTB dengan luas kontrak seluas 1,27 juta hektar. Di Pulau Sumbawa salah satu wilayah NTB, Newmont menguasai 770 ribu hektar, atau setara dengan 50% lebih luas wilayah daratan Pulau Sumbawa yang luasnya 1,4 juta hektar. Sementara para bupati/walikota di tiga 5 kabupaten kota di Pulau Sumbawa juga terus memberi izin tambang di atas lahan-lahan yang tersisa. Saat ini lebih dari 150 izin usaha pertambangan yang beroperasi di NTB, baik yang sedang melakukan eksplorasi maupun produksi.

Di Papua, Kontrak Karya (KK) Freeport seluas 2,6 juta hektar, HPH 15 juta hektar, HTI 1,5 juta hektar, Perkebunan 5,4 juta hektar, setara dengan 57% luas daratan Papua. Ini belum termasuk kontrak Migas yang jumlahnya sangat besar, sehingga diperkirakan Papua telah habis terbagi ke ratusan perusahaan raksasa asing.

Sementara di Kalimantan Timur (Kaltim) diperkirakan seluruh wilayah daratannya seluas 19,8 juta hektar juga telah dibagi-bagikan kepada modal besar dari negara asing. Izin tambang Mineral dan Batubara sekitar 5 juta hektar, Perkebunan 2,4 juta hektar, izin Hutan (HPH, HTI, HTR dan lain sebagainya) telah mencapai 9,7 juta hektar (data MP3EI). Ini pun belum termasuk kontrak Migas, sebagaimana diketahui Kaltim adalah salah satu kontributor terbesar pendapatan Migas negara.

Di Madura, luas kontrak Migas malah sudah melebihi luas Pulau Madura itu sendiri, yang diserahkan pemerintah kepada kepada Petronas, Huskil Oil, Santos, dan perusahaan asing lainnya.

Keseluruhan dan penguasaan asing itu adalah untuk menambah laju kemajuan negara-negara asing. Sementara Rakyat Indonesia hanya sibuk “menyanyi” dan “berjoget” seakan tak mau tahu dengan keadaan yang semakin dapat menghancurkan negeri ini. Sebagian lainnya hanya sibuk gasak, gesek, gosok antar-sesama, dan saling konflik antarsuku agama dan ras. Sungguh Pancasila juga ikut terkapar, terutama Sila ketiga dan Sila Kelima.

Sesungguhnya, terdapat salah seorang tokoh nasional yang sangat memahami kondisi ini, termasuk kiranya amat mengetahui strategi yang harus ditempuh agar Indonesia tidak “lumpuh” dikuasai oleh asing, yakni DR Rizal Ramli yang kini dikenal sebagai ekonom senior sekaligus tokoh oposisi yang selama ini sangat menentang kebijakan-kebijakan Pemerintahan SBY yang dinilainya hanya menguntungkan dan mengenyangkan negara-negara asing.

Sayangnya, langkah Rizal Ramli pada pilpres 2009 lalu mendapat hambatan hebat dari pihak-pihak yang diduga kuat antek-antek asing, sehingga Rizal Ramli tak bisa berbuat banyak.

Namun untuk memastikan rakyat Indonesia sejahtera, Rizal Ramli menyatakan jika rakyat memberinya amanah sebagai presiden 2014, maka akan mengamandemen UUD 1945 lagi, dengan tambahan utama kalimat “dimiliki oleh rakyat Indonesia” pada pasal 33. Kalimat inilah yang kelak benar-benar menjamin SDA Indonesia sepenuhnya dimiliki dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Bahkan Rizal Ramli mengaku berani menentang dominasi asing yang memang kini telah menguasai Indonesia. “Saatnya seluruh kedaulatan di negeri ini diserahkan kepada rakyat, bukan kepada dan untuk negara asing,” lontar Rizal Ramli.