(AMS, opini)
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pada pleno terbuka rekapitulasi verifikasi faktual partai politik (parpol), selasa (8/1/2013), akhirnya menetapkan 10 parpol Memenuhi Syarat (MS) sebagai peserta Pemilu 2014. Kesepuluh parpol MS itu adalah 9 parpol yang seluruhnya masih bercokol di DPR-RI, dan satu lainnya adalah parpol pendatang baru tetapi orang semua tahu persis jika partai tersebut adalah pecahan dari Partai Golkar, yakni Nasdem “milik” mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Surya Paloh.
Sungguh ini adalah sebuah “arogansi politik” yang sedang berhasil dipamerkan oleh para komisioner KPU. Sehingga kiranya sangat patutlah KPU dianugerahi sebuah penghargaan khusus dari para “majikannya” di senayan karena dinilai berhasil dengan sadis melakukan pembunuhan 24 parpol kecil secara massal, yakni diduga kuat karena hanya menerapkan UU No.8 Tahun 2012 sebagai “pisau bermata tajam satu”.
Mengetahui terdapat 24 parpol yang dinyatakan tidak lolos, sungguhlah tidak sedikit pula orang (rakyat) yang merasa sangat dan teramat kecewa, bahkan merasa tersakiti dengan sebuah proses demokrasi yang sama-sekali tidak relevan dengan fenomena riil yang terjadi saat ini (korupsi di mana-mana yang melibatkan parpol penguasa beserta para parpol koalisinya), dan sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi di tanah air yang mengingkan perubahan di era reformasi ini.
KPU bisa saja bangga karena (mungkin) telah membuktikan janjinya kepada “sang majikan” dengan berhasil melaksanakan eksekusi “mati” kepada 24 parpol kecil. Tetapi KPU nampaknya tidak sadar bahwa rakyat di seluruh Indonesia ini sudah sangat mengetahui persis jika parpol yang dinyatakan lolos tersebut sebagian besar adalah parpol sarang koruptor.
Memang betul masalah korupsi itu adalah urusan KPK, dan KPU itu secara terpisah hanya menjalankan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Tetapi kendati begitu, KPU tidak serta-merta harus tunduk pada “aturan main” yang mungkin jauh-jauh hari telah dirancang sedemikian mulus sesuai fulus yang mungkin nantinya akan disajikan ketika semuanya bisa berjalan menurut selera sang majikan. Dan hal ini, nampaknya patut menjadi sebuah dugaan kuat, karena sekali lagi, KPU hanya meloloskan 10 parpol (9 yang di senayan, dan 1 parpol baru tetapi disinyalir ini adalah juga kolega dari parpol di senayan).
Memang, jumlah parpol yang akan diloloskan oleh KPU tidaklah jadi masalah. Berapa pun itu bisa? Tak mengapa, silakan KPU menetapkannya! Boleh jumlahnya 4, 11, 38 parpol tak ada masalah! Sepanjang bukan hasil kongkalikong, atas budi baik, atau karena dendam, dan sebagainya yang patut diduga sebagai sebuah hasil rekayasa atau mungkin sudah didahului dengan istilah main mata.
Dan juga sepanjang KPU bisa memegang teguh asas-asas sebagai penyelenggara pemilu seperti yang tertuang pada Bab II Pasal 2 dalam UU No.15 Tahun 2011. Di situ terdapat 12 asas, namun sementara ini 7 di antaranya nampaknya rapuh dan sulit dilaksanakan oleh KPU. Yakni: mandiri, jujur, adil, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, dan profesionalitas. Bahkan 5 asas lainnya pun masih dinilai belum sepenuhnya tercermin pada pola kerja KPU hingga saat ini. Sehingganya, KPU jangan marah dan merasa tersinggung jika dikatakan KPU adalah “Kupu-kupu malam politik, milik sang majikan”.
Sebab, sungguh aneh dan tak masuk akal kiranya ketika diketahui saat ini KPU hanya menetapkan 10 parpol tersebut. Sementara diketahui, bahwa sebagian besar di antaranya ada sejumlah parpol yang telah nyaris “lumpuh” di beberapa daerah (provinsi) akibat kasus hukum yang banyak melilit kadernya, baik yang sedang beratribut sebagai anggota dewan maupun sebagai kepala daerah (misalnya: kasus korupsi, mesum, narkoba dan lain sebagainya yang dapat dianggap sebagai tindak-tanduk yang kurang terpuji). Dan hampir di semua daerah kasus-kasus tersebut telah dilakoni oleh banyak kader dari parpol yang diloloskan oleh KPU saat ini. Aneh kan kalau kemudian bisa dengan mudahnya parpol-parpol yang dililit kasus korupsi, mesum, narkoba itu bisa lolos?
Sekali lagi, memang betul, KPU hanya menjalankan sebuah undang-undang, yakni UU. No.8 Tahun 2012. Tetapi bukan berarti KPU harus “buta” melihat fenomena-fenomena riil yang dilakukan oleh bajingan-bajingan politik yang saat ini masih banyak yang bertopeng malaikat tetapi sesungguhnya adalah berhati iblis.
KPU harusnya peka dengan sebuah “Undang-undang tidak tertulis dari rakyat” yang memang sudah lebih dulu lahir sebagai “roh hukum” sosial di tengah-tengah masyarakat, jauh sebelum UUD 1945 dilahirkan oleh negara ini. Undang-undang tidak tertulis itu boleh berupa rangkaian penilaian moral dari masyarakat terhadap sesuatu.
KPU nampaknya lupa (ataukah mungkin goblok), bahwa UU No.8 Tahun 2012 itu adalah produk ketentuan hukum yang 100 persen murni memiliki kadar kepentingan politik dari para penyusunnya? andai saja KPU sadar jika UU No. 8 Tahun 2012 memiliki muatan kepentingan politik yang sangat besar dari para penyusunnya, maka harusnya KPU memunculkan sebuah peraturan (PPKU) tentang Standar Kelolosan Parpol, bukan malah menelan mentah-mentah UU No. 8 Tahun 2012 tersebut.
Lihat saja, akibat dari KPU yang seakan “sok” tegas menjalankan UU itu, membuat hanya segelintir pihak yang merasa diuntungkan. Dan sungguh, woww…. ini akan berakibat fatal pada pelaksanaan pemilu 2014 yang hampir dipastikan para pemilih akan lebih cenderung menjadi pemilih golongan putih (golput).
Jika angka golput pada pemilu 2014 nanti bisa lebih banyak dari jumlah pemilih sah, maka itu pertanda sebuah kegagalan. Dan boleh dikata, bahwa KPU-lah sesungguhnya yang telah berhasil menggagalkan Pemilu, karena dalam menuju prosesnya KPU nampak sekali seakan telah bekerja secara kurang mandiri (diduga diintervensi), kurang jujur (salah satunya sulit menunjukkan kesalahan parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi), tidak adil (meloloskan sejumlah parpol yang diduga tak memenuhi syarat), tidak tertib (muncul 2 langkah tak terduga, yakni verifikasi faktual 16 dan 18 parpol), kurang mengedepankan kepentingan umum (Diduga pilih kasih hanya kepada parpol tertentu), tidak memiliki sikap keterbukaan (pernah mengulur waktu tanpa alasan jelas), kurang profesional (pernah berseteru dengan sekjen KPU).
Jika KPU tak mampu menjalankan 12 asas sebagaimana yang tertuang dalam UU No.15 Tahun 2011 itu, maka pemilu 2014 nampaknya memang akan terlaksana dengan kacau, dan bahkan jauh dari kualitas yang diharapkan. Lihat saja, pemilu belum dilaksanakan, tetapi sudah menyeret kekacauan ke bibir konflik. Sehingga boleh jadi potensi kegagalan pemilu 2014 sangat berpeluang terjadi. Salah satunya adalah dengan akan bertambahnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput), boleh jadi karena parpol mereka (dari 24 parpol itu) ternyata harus “ditaklukkan” sebelum perang.
Masalah munculnya golput dalam pemilu, tentunya bisa jadi barometer dari sebuah demokrasi yang dinilai tidaklah bisa diwujudkan secara berkualitas. Ibarat rumah tangga yang dibangun namun tidak direstui oleh orangtua atau keluarga lainnya, seperti itulah rasanya. Selalu dihantui dengan perasaan bersalah, tidak tenang, dan sulit mengambil sikap pada setiap persoalan yang melanda dalam rumah tangga tersebut.
Dan inilah sesungguhnya yang terjadi dan yang dirasakan oleh pemerintahan SBY saat ini. Yakni, pada Pemilu 2009, diketahui DPT (Daftar Pemilih Tetap) tercatat sebanyak 171.265.442 orang. Dari angka ini, terdapat suara yang tidak sah (termasuk golput) sebanyak 49.677.776 (29,006 persen), mendekati 30 persen (sumber: www.golput.com)
Dengan melihat data tersebut, maka tidak mustahil, apabila KPU masih ngotot pada “arogansinya” tanpa memperdulikan tuntutan 24 parpol yang telah dinyatakan TMS tersebut, maka hampir dipastikan “perlawanan” 24 parpol akan terus berlanjut hingga Pemilu 2014, salah satunya dengan menyerukan kepada seluruh kadernya di seluruh daerah untuk lebih memilih Golput. Boleh jadi, golput akan membengkak hingga mencapai dua kali lipat dari Pemilu 2009, atau sekitar 60 persen. Sungguh angka yang sangat fantastis, yang sekaligus menandakan rakyat sesungguhnya tak menerima para parpol peserta pemilu 2014 tersebut.
Golput adalah bukan peristiwa alam yang dapat terjadi sewaktu-waktu akibat pengaruh cuaca dan iklim alam tertentu. Golput adalah keniscayaan yang terjadi karena didorong oleh beberapa motivasi untuk tidak memilih dalam pemilu, di antaranya adalah karena:
1. Parpol mereka dinyatakan tidak lolos dari verifikasi faktual oleh KPU yang diduga telah “bermain” dengan para parpol tertentu yang sedang berkuasa.
2. Kondisi dan iklim politik yang monoton (amat menjenuhkan) karena sering terjadi pelanggaran-pelanggaran di dunia politik di depan mata tetapi tak bisa diselesaikan dengan cara-cara sesuai yang diharapankan.
3. Tak ada pilihan, meski misalnya banyak calon presiden dari parpol-parpol pendukung, tetapi figur atau sosok yang bersangkutan diyakini (karena memiliki catatan hitam) sulit untuk dipilih apalagi dipercaya untuk menjadi kepala negara.
Olehnya itu, jika “kedaulatan rakyat” yang menjadi patokan dasar agar dapat diwujudkan dalam pemilu, maka KPU hendaknya “wajib” merenungi kembali paragraf keempat Pembukaan UUD 1945: “….maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…dst”.
Kata kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas, sesungguhnya berlaku hingga saat ini (bukan hanya pada saat bangsa ini berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah), tetapi kemerdekaan yang dimaksud juga meliputi kemerdekaan untuk ikut serta dalam berpolitik, karena parpol yang ada saat ini dinilai tidak lagi bisa dipercaya yang nampaknya telah mengikuti prilaku penjajah yang hanya mengerut keuntungan sebanyak-banyaknya untuk pribadi dan kelompoknya saja. Dan salut buat Nazaruddin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat) yang tetap setia “berjuang” membongkar dugaan korupsi di tubuh parpolnya tersebut.
Juga salut buat Bang Rizal Ramli (mantan Menteri Perekonomian) yang terus berjuang memunculkan kebenaran dari semua kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM, serta kasus mafia lainnya tanpa mengenal lelah, dan diikuti oleh Bang Mahfud MD yang juga terpanggil untuk tetap bersuara dalam sebuah kebenaran. Tak lupa pula salut kepada menteri yang telah berani mengundurkan diri, yang sebetulnya semua itu adalah sebagai pertanda sekaligus “bukti” yang sangat jelas di depan mata, bahwa memang sesungguhnya negara ini sedang dipimpin secara tidak beres, alias gagal??!****(AM.Syam)