(AMS, opini)
KALAU seandainya ada pendapat yang menyebutkan: “Hasil kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah awal dimulainya kembali sebuah babakan baru dalam kesinambungan pelaksanaan ‘bernegara’”, maka saya sangat setuju.
Namun sungguh tidak dapat dibayangkan betapa pelaksanaan perjalanan pemerintahan di negara ini akan kembali mengalami ‘kekacauan dan kehancuran’ jika KPU ternyata bekerja secara tidak profesional, dan mungkin juga bekerja di bawah tekanan dari parpol-parpol besar. Kenapa? Karena parpol-parpol yang terindikasi kuat sebagai penghisap dan pelahap uang negara dan rakyat selama ini, kembali lolos!
KPU mungkin bisa saja ‘berusaha’ meloloslan parpol-parpol besar atau juga parpol baru yang punya share kekuatan dengan parpol-parpol yang telah besar, karena yang memilih anggota KPU adalah orang-orang yang hanya duduk di DPR, bukan rakyat. Sehingga segalak-galaknya anjing, pasti akan tetap berusaha melindungi majikannya.
Maaf! saya tidak bermaksud mengibaratkan KPU sebagai seekor anjing. Sebab kalau KPU adalah anjing, maka pemimpin negara yang akan dihasilkan dari prosedur kerja KPU saat ini dipastikan nantinya akan pula berprilaku layaknya anjing.
Sayangnya, KPU tidak bisa bekerja seperti cara kerja malaikat (karena memang bukan malaikat), yang mampu mencatat kebaikan dan keburukan parpol. Jika KPU adalah malaikat, maka sudah pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak meloloskan parpol-parpol yang telah terindikasi melahap uang rakyat melalui perbuatan korupsi secara berjamaah.
Sehingga, karena KPU bukanlah malaikat, maka hampir dipastikan korupsi dan sejumlah perbuatan lainnya yang akan menyakiti hati rakyat, hampir pula dipastikan akan kembali terjadi sepanjang masa di negeri ini. Sebab, lihat saja, parpol-parpol yang penuh dengan catatan kelam itu kembali melenggang sebagai kontestan pemilu 2014! Kalaupun ada parpol yang ‘bersih’, maka tentu itu tidak akan berpengaruh apa-apa untuk mewujudkan sebuah harapan dan perubahan yang besar bagi seluruh Bangsa Indonesia.
KPU DINILAI TIDAK PROFESIONAL
Menengok kembali proses kerja KPU dalam tahapan verifikasi parpol peserta pemilu 2014, terdapat beberapa hal yang bisa dinilai bahwa KPU bekerja tidak profesional dan terkesan di bawah tekanan parpol-parpol tertentu.
Sebut saja misalnya, hasil verifikasi administrasi parpol yang sedianya harus diumumkan oleh KPU paling lambat tanggal 25 Oktober 2012 (sesuai lampiran Peraturan KPU No.11 Tahun 2012), ternyata meleset, dan baru bisa diumumkan pada tanggal 28 Oktober 2012. Pertanyaannya, mengapa tidak ada sanksi ketika KPU melakukan pelanggaran terhadap peraturannya sendiri? Jika tak ada sanksi, maka itu artinya KPU bisa seenaknya melaksanakan kerja menurut kemauan dan seleranya saja, dan boleh jadi menurut selera “pelanggan”, sampai-sampai surat rekomendasi Bawaslu pun ‘dicampakkan’ oleh KPU.
Sehingga, KPU jangan menyalahkan siapa-siapa ketika,–spontan–, hal ini mengundang reaksi dari banyak pihak, dan menjadikannya sebagai tanda tanya besar. ADA APA??? Tentu saja ada apa-apanya!?! Satu-satunya alasan klasik dari KPU adalah masih perlu hati-hati memeriksa kelengkapan administrasi parpol.
Dari sejumlah keganjilan yang diperlihatkan KPU, maka tidak sedikit dugaan bermunculan, misalnya jangan-jangan KPU sengaja mengulur waktu agar parpol-parpol besar yang belum lengkap administrasinya bisa mendapat ruang gerak berupa penambahan waktu dalam melengkapi administrasinya.
Pun, memang KPU telah mengumumkan ada tiga DPP parpol besar yang tidak lolos dalam verifikasi faktual, yakni Partai Golkar, PKS, dan PBB (Ketiga parpol ini masih tetap diberi kesempatan pada masa perbaikan). Tetapi sesungguhnya, boleh jadi atau jangan-jangan pengumuman 3 DPP yang tidak lolos itu hanya sebagai upaya untuk menutupi sinyalemen kesalahan yang telah dilakukan oleh KPU terhadap 18 parpol yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi.
Dugaan-dugaan di atas tidak salah dalam dunia politik, sebab, selama ini panggung politik nampaknya memang tidak pernah lepas dari lakon sandiwara yang harus tetap dimainkan demi eksistensi dari sebuah ‘sistim’ yang sedang dijalankan oleh sang ‘sutradara’.
Dan satu hal lagi, KPU hendaknya tidak perlu melakukan verifikasi faktual, dengan cara turun ke lapangan meneliti kebenaran orang (masyarakat) yang memegang Kartu Tanda Anggota (KTA) seluruh parpol, cukup dengan mengecek kebenaran anggota parpol yang tercatat sebagai pengurus parpol yang bersangkutan. Sebab, masyarakat (rakyat) dalam hal ini hanyalah konstituen, bukan pengurus. Dan untuk mengukur ada tidaknya parpol di daerah adalah cukup diteliti kebenarannya dengan menemui para pengurus parpol bersangkutan yang dibuktikan dengan KTA, bukan konstituennya.
Keterlibatan konstituen hanya dilibatkan pada saat pemilu berlangsung, bukan saat proses verifikasi untuk menentukan lolos tidaknya parpol. Dan ada dampak negatif yang sangat parah saat rakyat dilibatkan dalam verifikasi faktual melalui pembuktian KTA, yakni sebelumnya sangat banyak masyarakat tidak mau direkrut (diambil nomor KTPnya) sebagai bukti pendaftaran pemegang KTA parpol jika tidak ditukar dengan nilai uang, besarannya bervariasi dari Rp.50 ribu hingga Rp.300 ribu perorang. Jika tidak dipenuhi nilai tersebut, maka dipastikan parpol yang berburu anggota sebagaimana yang disyaratkan KPU pasti tidak akan bisa pula terpenuhi. Apa ini yang dikehendaki oleh KPU????
KPU harusnya cukup menerima pendaftaran parpol-parpol dengan persyaratan verifikasi faktual kepada para pengurusnya saja dari pusat hingga ke tingkat Kecamatan. Dan membiarkan parpol-parpol baru itu lahir (bukan seperti sekarang yang seakan parpol-parpol kecil itu karena ‘mungkin’ tak punya kursi di DPR hingga sepertinya sengaja diaborsi).
Saat ini KPU boleh saja ‘mengaborsi’ atau tidak meloloskan parpol-parpol kecil (padahal mungkin memiliki kadar kemurnian yang pro rakyat) dengan memunculkan persyaratan yang sangat suulit dipenuhi oleh parpol-parpol kecil. Namun pikiran, mulut, mata, dan telinga rakyat tidak bisa disumbat tentang parpol mana saja yang betul-betul layak untuk mereka pilih. Dan andai parpol mereka yang tidak lolos, maka sebetulnya KPU sudah melahirkan pemilih Golput yang lebih besar lagi untuk di tahun 2014.
KPU hendaknya memahami sebuah konsekuensi logis, bahwa karena negara ini telah dikuasai oleh parpol yang tidak lagi cenderung berpihak kepada rakyat, maka pelaku-pelaku politik pun lalu terpanggil berkiprah dengan memunculkan parpol baru demi memperbaiki alur cerita demokrasi dari sebuah negara yang sudah rapuh, bukan malah memunculkan sebuah “kegiatan” yang disebut verifikasi sebagai persyaratan lolos-tidaknya sebuah partai (kayak masuk mendaftar di CPNS saja???).
Visi atau motif yang melatarbelakangi hingga dibentuknya KPU harusnya adalah: memberikan keleluasaan kepada seluruh parpol yang ada untuk berkreasi melahirkan produk-produk politik yang bisa menghidupkan dan menyejahterakan rakyat. Bukan meneliti dan “menentukan” lolos-tidaknya parpol sebagai peserta pemilu.
KPU juga hendaknya bisa membuka keran selebar-lebarnya, dengan memberi keleluasaan bagi parpol-parpol untuk berusaha menjadi ‘pejuang politik’. KPU harusnya hanya sebagai penyaji yang menyajikan parpol-parpol kepada masyarakat, dan biarkan rakyat pula yang menentukan parpol mana yang menjadi pilihan dan selera mereka, bukan menurut selera KPU dengan ‘sengaja’ memunculkan persyaratan yang super sulit untuk bisa dipenuhi oleh parpol.
Tentang hidup-matinya sebuah parpol, biarkan masyarakat (rakyat) yang menentukan. Yakni, ketika rakyat tidak lagi memilih parpol yang bersangkutan, maka secara alami parpol tersebut pasti akan mati dengan sendirinya karena telah ditinggalkan oleh konstituen, bukan karena verifikasi KPU!
Jika cara-cara KPU saat ini yang dipertahankan, maka sampai kapan pun kekuasaan atau kedaulatan tertinggi di negeri ini tidak akan pernah kembali ke pangkuan rakyat. Sehingganya rakyat hanya selalu menjadi ‘komoditas’ politik dari penguasa yang berwajah malaikat namun sesungguhnya berhati iblis!