(AMS, opini)
SEJAK para parpol peserta Pemilu 2014 “sepakat” bertarung dengan hanya memunculkan dua pasang capres, maka sejak itu para politisi dan seluruh pengikutnya di masing-masing kubu pun tiba-tiba menjelma bagai malaikat “jadi-jadian”.
Mereka semuanya jadi rajin tersenyum manis kepada siapa saja, dan giat mengunjungi serta menyalami orang-orang susah (miskin) di daerah kumuh hingga ke pedalaman.
Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah menyampaikan “dakwah” dan mendesak rakyat agar bisa cepat-cepat sadar dan “bertaubat” untuk memilih pasangan capres tertentu saja. Sebab, katanya, jika memilih pasangan lain, maka negara ini bisa hancur.
Sehingga rakyat yang memang hanya diberi dua pilihan pasangan capres tersebut seakan-akan diperhadapkan hanya pada dua pilihan pula, yakni “surga atau neraka”.
Dan rakyat sama sekali tidak tahu capres mana yang benar-benar menawarkan “surga” dan mana yang “neraka”. Sebab, masing-masing kubu mengklaim jagoannya sebagai pasangan yang terbaik, dan tak jarang menyebutkan aib dan keburukan-keburukan pasangan capres lainnya dengan penggambaran yang sangat mengerikan.
Hal itu kemudian diperkuat dengan keterlibatan sebagian besar pemuka agama dan sejumlah artis ternama berbondong-bondong dan secara terang-terangan bergabung serta berpihak kepada pasangan capres menurut “selera” mereka masing-masing.
Keterlibatan kaum intelektual, pemuka agama dan sejumlah artis itu ternyata bukannya membuat suasana jadi sejuk dan tenteram. Malah, para pendukung di kubu masing-masing nampak makin ganas untuk saling menyerang dan menjatuhkan satu sama lain. Sehingga jurang pemusuhan dan perpecahan pun makin menganga.
Parahnya, negara kelihatannya lumpuh tak bisa berbuat banyak dalam menghadapi ulah dari elit-eli parpol bersama para pendukungnya yang ekstrem mendewakan capresnya, dan menyerang secara “brutal” capres lawannya dengan hujatan serta caci-maki secara berlebihan.
Tengok saja di sosial media (seperti facebook, twitter, dll) betapa banyak bertebaran dan berhamburan kalimat-kalimat hujatan, caci-maki, dan pula gambar-gambar hasil editan yang sangat di luar batas kewajaran. Misalnya, saling melontarkan kata: “anjing, babi, monyet, setan” dan lain sebagainya yang ditujukan tidak hanya untuk para pendukung tetapi juga kepada para capres bersangkutan.
Saling mendewakan (menjagokan) capres masing-masing tentulah tak ada salahnya, tetapi jika itu diikuti dengan hujatan dan caci-maki secara berlebih-lebihan kepada capres lainnya, dan menyebut capres lain dengan sebutan binatang tertentu dan hanya akan menghancurkan negeri ini ketika terpilih, maka tentu hal inilah justru yang akan memaksa Pilpres berubah menjadi momen jelang “kiamat” untuk saling menghancurkan satu dengan lainnya.
Anehnya, cara-cara seperti itu bisa dengan mudahnya terjadi di saat semua capres sedang mengusung jargon yang sangat positif, tetapi kenyataannya malah dilakukan dan dimulai secara negatif untuk saling menjatuhkan.
Bahkan salah satu capres jauh-jauh hari sudah mematok “Revolusi Mental” sebagai hal yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. Namun sayangnya, capres yang bersangkutan dan para pendukungnya sejauh ini belum juga mampu memperlihatkan cara-cara tepat dalam melakukan revolusi mental yang dimaksud tersebut.
Yang ada malah “sang pemilik” (timses dan pendukung) revolusi mental dengan mudahnya terlibat secara sengit dalam lempar-melempar hujatan dan caci-maki kepada pendukung capres lainnya.
Begitu pun dengan tagline “Indonesia Bangkit” yang menjadi jargon salah satu capres, pun sejauh ini para timses dan pendukungnya malah lebih banyak sibuk mencari-cari kelemahan dalam menjatuhkan lawannya.
Jika kubu capres pemilik jargon “Indonesia Hebat” yang dikemas dengan keinginan melaksanakan revolusi mental, dan juga kubu cares pemilik jargon “Indonesia Bangkit”, ternyata hanya bisa saling hujat, caci-maki disertai tautan gambar yang tak seronok, maka kemungkinan memang Indonesia saat ini sedang di ambang hari “kiamat”.