(AMS, Opini)
KALAU Aa Gym dalam tweet-nya mengatakan: “Yang pilih Jokowi artinya memilih Ahok jadi gubernur, yang pilih Prabowo artinya memilih Jokowi jadi gubernur Jakarta.”
Tweet kiai kondang tersebut tersirat makna, bahwa memilih Prabowo itu sama dengan membuat Jokowi bisa menjadi pemimpin amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Menurut saya, statement versi Aa Gym via akun Twitter-nya @aagym tersebut tentu saja adalah murni menggunakan kacamata agama.
Tetapi jika menggunakan kacamata politik, maka statementnya akan berubah menjadi: “Memilih Jokowi berarti membuat Jusuf Kalla (JK) dan Megawati ‘menjadi’ presiden”.
Statement dengan menggunakan kacamata politik tersebut, adalah sama dengan pemahaman banyak pihak yang memandang bahwa jika Jokowi terpilih akan terjadi “matahari kembar”.
Lah.. jangan-jangan nomor urut 2 (dua) itu menandakan pula sebuah makna akan muncul benar-benar “matahari kembar”?
Artinya, akan ada 2 (dua) penguasa yang muncul dan berperan sangat dominan ketika Jokowi menjadi presiden. Dan kemungkinan ini sangatlah berpeluang terjadi dan tentulah punya alasan.
Di antaranya adalah, Jokowi bukanlah “pemilik” (ketua umum) di partai yang sedang ia “tunggangi” saat ini. Jokowi hanyalah seorang kader dadakan yang boleh dikatakan sosok “karbitan” yang bisa muncul tanpa mengeluarkan banyak “keringat” dibandingkan para seniornya.
Tapi persoalan seberapa banyak “keringat” yang sudah dikucurkan sebetulnya tidak terlalu perlu dipermasalahkan dalam dunia politik. Sebab, di dunia politik, keringat (kerja keras) yang sudah diteteskan biasanya lebih banyak tidak dihargai. Dan hal inilah kemudian yang memicu lahirnya partai-partai baru.
Misalnya, PDI pecah menjadi PDI-Perjuangan; juga Golkar “dahan-dahannya” patah menjadi Gerindra, Nasdem dan lain sebagainya.
Meski begitu, para parpol umumnya sama. Yakni sama-sama punya kepentingan dan nafsu besar untuk bisa menggenggam dan menguasai republik ini.
Bagai seorang pria yang ingin menikahi seorang wanita, para parpol sebelum menyalurkan “nafsunya” haruslah melalui lebih dahulu sebuah pesta demokrasi yang disebut Pemilu.
Di tahapan inilah biasanya terjadi “penyimpangan”. Boleh jadi seorang pria disorong maju untuk menikahi seorang wanita, tetapi setelah itu yang “menikmati malam-malam berikutnya” ternyata adalah “pria lain” sesuai kesepakatan.
Penggambaran sebuah “penyimpangan” pada paragraf di atas mungkin hanya sebatas dongeng, tetapi “sepenggal kisah” tersebut amat dan sangatlah berpeluang besar terjadi dalam dunia politik secara tersembunyi namun nyata.
Di mana seseorang bisa saja secara sengaja dimajukan sebagai cabup, cagub, dan bahkan capres oleh sejumlah kelompok tertentu yang amat “bernafsu” karena memiliki kepentingan super-besar. Orang yang dimajukan inilah lazim disebut sebagai “boneka”.
Dari dua pasangan capres-cawapres yang ada saat ini (Prabowo-Hatta Vs Jokowi-JK), kedua-duanya dapat berindikasi sebagai “boneka”.
Hanya saja, yang sangat jelas dan terang-benderang terlihat di mata publik sebagai pasangan capres “boneka” adalah pasangan Jokowi-JK.
Alasannya, Jokowi dan JK bukanlah “pemilik” (ketum atau pendiri) parpol koalisi mana pun yang sedang mengusungnya saat ini. Sehingga meski “kursi” Jokowi nantinya lebih tinggi, namun kursi tersebut BISA SAJA sewaktu-waktu “diisi” oleh “pemilik” parpol yang mengusungnya, juga oleh pendamping yang telah memberinya “bekal” dalam menduduki kursi tersebut. Apalagi memang JK adalah sosok “berpengalaman” sebagai wapres yang dinilai pernah lebih “menonjol” daripada presidennya (SBY).
Sehingga itu, posisi Jokowi ketika jadi presiden sesungguhnya sangatlah lemah dan rapuh. Tidak keliru jika banyak pihak yang menilai bahwa Jokowi nantinya tidak akan bisa berbuat banyak. Artinya, sangat memungkinkan Jokowi dalam hal ini hanya akan tersandera oleh kekuasaannya sendiri.
Sebab, di sana ada “matahari kembar” yang akan siap terbit. Satu di Timur, dan satunya terbit di Barat. Dalam kondisi seperti itu, Jokowi hanya bisa bilang: “rapopo… ga mikir”?
Mengenai Prabowo yang mendapat nomor urut 1 (satu), nampaknya juga bisa menjadi sebuah tanda pembenaran, bahwa hanya ada satu “boneka” di sana, yakni diduga kuat adalah Hatta Rajasa (HR).
Siapa yang bisa menampik jika antara SBY selaku “pemilik” Partai Demokrat dengan Hatta Rajasa tidak memiliki hubungan “spesial”? Sehingga itu, publik juga tak keliru apabila memandang HR adalah “bonekanya” SBY (PD).
Jika demikian tak keliru pula jika dikatakan, bahwa “lahirnya” boneka-boneka tersebut adalah berasal dari hasil “persetubuhan” antara elit-elit parpol dan para cukong atau bandar-bandar politik yang terselip banyak kepentingan kelompok masing-masing di dalamnya.
Dan sepertinya politik yang dimainkan saat ini lebih gila dibanding dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Sebab tampaknya Pemilu kali ini memang dipenuhi oleh elit-elit yang sangat “gila” kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.
Padahal suasana bathin rakyat saat ini sebetulnya sudah sangat mengutuk elit-elit parpol yang hanya lebih banyak berprilaku munafik dan kotor. Rakyat butuh perubahan!!! Tapi bisakah perubahan itu terwujud jika pemimpinnya adalah “boneka”…???
SALAM PERUBAHAN 2014….!!!