(AMS, opini)
MASYARAKAT (terutama petani) kini makin geleng-geleng kepala, dan bertambah menduga bahwa pemerintahan SBY sepertinya amat dipenuhi dengan “permainan kotor” untuk pemenuhan keuntungan kelompok tertentu saja. Kecurigaan ini makin membesar saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah indikasi kejanggalan atas kebijakan impor beras dari Vietnam, belum lama ini.
Dari situ, kontroversi pun bermunculan. Tetapi publik nampaknya lebih banyak mencium: …jangan-jangan parpol penguasa sedang melakukan “pengumpulan modal” untuk ongkos politik jelang Pemilu 2014???
Meski sudah ada upaya klarifikasi dari pemerintah, seperti dari Menkeu yang menyebut bahwa beras impor tersebut masuk ke Indonesia secara legal (bukan dengan penyelundupan). Tetapi sebagian besar publik memandang klarifikasi seperti itu tidak mampu menghilangkan kecurigaan terhadap kemunculan beras impor yang dinilai sangat aneh dan “misterius” itu.
Ekonom senior, DR Rizal Ramli (RR1), adalah salah satu pihak yang merasa sangat yakin dengan adanya ketidakberesan dan keanehan atas impor beras tersebut.
Selaku tokoh yang paling giat membela kepentingan rakyat, Rizal Ramli menyatakan, bahwa sangat aneh jika beras premium dimasukkan ke Indonesia dalam jumlah sangat banyak, padahal yang mengonsumsi beras tersebut jumlahnya tidak banyak. “Yang namanya beras khusus, ketan, premium kebutuhannya relatif kecil dibandingkan dengan total permintaan beras di Indonesia,” ujar RR1 di salah satu stasiun televisi, baru-baru ini.
Dijelaskannya, di saat beras-beras premium itu lebih banyak hanya dikonsumsi oleh kalangan-kalangan ekonomi menengah ke atas, maka sangat aneh jika di sisi lain Indonesia melakukan impor beras (premium) dalam jumlah besar.
RR1 menyatakan, selain hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya sistem monitoring di Departemen Perdagangan, juga izin impor beras premium itu diubah atau dimanipulasi dengan memasukkan beras medium (beras biasa). “Dan ini menunjukkan bahwa sistem control in-check tidak jalan (tidak dilaksanakan),” ujar Rizal Ramli.
Dari hasil uji laboratorium juga membuktikan bahwa beras impor yang beredar di pasaran itu nyatanya memang jenis khusus (premium), bukan medium. Tetapi karena disebut itu seolah-olah medium, maka harganya sangat murah. Sehingganya, harga jual dari petani akan terpaksa (mau tak mau) harus bisa jauh lebih murah jika ingin laku. Dan ini sama saja membuat petani jadi makin menderita di “rumah sendiri”.
“Menurut saya, ini tidak ruwet-ruwet amat kok buat diperiksa. Kalau diperiksa yang betul akan ketahuan siapa saja pemainnya, apa motifnya, keuntungannya berapa?” tutur RR1.
Dan ini, menurut RR1, bukan persaingan (kompetisi) antar pedagang. Sebab, persaingan dagang tidak harus selisih sampai loncat Rp.2 ribu. “Kalau hanya kompetisi itu selisih harganya paling cuma Rp10 hingga Rp30. Tetapi kalau selisih harganya sudah mencapai hingga Rp.2.000 atau Rp.3.000 ribu, maka pasti ada aspek manipulatifnya memasukkan barang impor yang tidak diizinkan,” ujar RR1.
Mantan Menko Perekonomian ini pun memprediksi, keuntungan dari permainan ini sekitar Rp.2 ribu hingga Rp.3 ribu perkilo, atau antara sekitar $2 ribu sampai $ 3ribu perton. “Kalau dikalikan (dengan) nyaris 200 ribu ton, (maka) paling tidak 40 juta dollar atau 400 miliar,” katanya.
Ditanyakan seputar siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini, RR1 menanggapi, bahwa memang biasa terjadi saling melempar tanggungjawab antar-departemen. Tetapi, kata RR1, di sinilah peranan seharusnya dari Menko Perekonomian untuk meneliti di mana saja pola permainannya.
“Dan menurut saya ada hal yang lebih besar, (yakni) kebijakan khusus impor pangan itu harus segera dikurangi dan dihentikan. Tidak masuk akal negara sekaya Indonesia, banyak hujan, tanahnya luas, tapi harus melakukan impor pangan. Motifnya kebanyakan bukan karena kebutuhan sungguh-sungguh dari konsumen di Indonesia, tetapi motifnya karena ada komisi ada feed-back yang mencapai jumlah triliunan kalau misalnya dilakukan impor hingga 2 juta ton. Seharusnya dalam kondisi yang memiliki lahan dan tanah luas serta subur, Indonesia semestinya menjadi negara eksportir,” jelasnya.
Rizal Ramli yang kini juga sedang digodok sebagai Capres ideal 2014 oleh Komite Konvensi Rakyat ini, lebih dalam menyebutkan adanya semacam trik untuk mendapatkan biaya politik di Indonesia sejak zaman dulu, biasanya dikumpulkan: 1). Dari perdagangan dan impor beras, dan impor pangan lainnya; 2). Dari perdagangan minyak bumi dan gas; serta 3). Dari merampok bank, seperti Bank Century.
Pembelian beras (impor) selalu menjadi pilihan. Karena, ungkap RR1, selain mudah dilakukan dengan cara, misalnya, rakyat atau bangsa kita yang gampang ditakut-takuti, bahwa jika tidak segera melakukan impor maka rakyat akan kekurangan pangan dan sebagainya.
“Padahal sebetulnya, tidak ada kebutuhan mendesak untuk impor. Tetapi setiap tahun terus impor 2 juta ton. Dari impor sebesar itu bisa mencapai sekitar Rp.3 Triliun hingga Rp.4 Triliun sebagai komisi (fee) yang dibagi-bagi buat mereka yang terlibat dalam permainan impor tersebut,” ujar RR1.
Terlepas dari itu, mantan Kabulog era Presiden Gus Dur ini juga menawarkan alternatif solusi agar Indonesia benar-benar bisa menjadi lumbung pangan, dan tidak lagi ada impor beras yang hanya patut diduga sebagai “lumbung modal” untuk ongkos politik parpol penguasa.
“Sebetulnya ada cara yang lebih mudah (agar tidak lagi impor). Kita bangun 4 waduk dan sistem irigasi sepanjang Sulawesi Selatan, Indonesia akan surplus beras 2 juta-3 juta ton dalam waktu kurang dari 2-3 tahun. Aneh, BPS katakan surplus, (tapi) kok tiap tahun impor?” pungkas penasehat ekonomi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini.