Wednesday, 4 September 2013

Rizal Ramli Jadi Tokoh adalah Bukti Kekuasaan Tuhan, Bukan Karena Parpol, Orangtua atau Mertua


(AMS, opini)
MAU tahu, kenapa saya merasa “wajib” ikut mendukung Rizal Ramli agar selalu berjuang dan memperjuangkan hak-hak seluruh umat di negeri ini? Dan mau tahu, mengapa harus Rizal Ramli yang patut saya dukung bersama teman-teman lainnya agar bisa menjadi pemimpin, bahkan menjadi presiden di negeri ini?


Saya bahkan tak peduli, apakah ada ataupun tidak ada nantinya parpol yang akan mengusung dan “melahirkan” Rizal Ramli sebagai presiden maupun wakil presiden pada Pemilu 2014 mendatang. Sebab, bagi saya, Rizal Ramli sesungguhnya sudah “terlahir” sebagai pemimpin, paling tidak sebagai sosok yang patut dicontohi secara sadar oleh seluruh anak bangsa di negeri ini.

Rizal Ramli dapat menjadi tokoh nasional seperti saat ini, menurut saya, itu adalah berkat campur tangan LANGSUNG sekaligus sebagai BUKTI dari KEKUASAAN TUHAN. Mengapa? Cobalah Anda renungkan dengan memakai hati yang steril, dan mulailah membayangkan dengan pikiran jernih (jauhkan dulu dari bidang politik, atau hal-hal yang menyangkut egoisme), ajaklah hati dan pikiran Anda untuk menilai secara objektif sosok Rizal Ramli yang sudah harus menjadi seorang YATIM PIATU saat masih berusia 6 tahun tetapi “KOK BISA” menjadi seorang Doktor Ekonomi, Kabulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Komisaris Utama PT Semen Gresik, dan Penasehat Ekonomi PBB …??? Padahal Rizal Ramli bukan berasal dari keluarga berekonomi tinggi, apalagi dari keluarga konglomerat.

Maaf…tanpa bermaksud menyepelekan pihak lain. Bahwa sejauh ini, saya tidak menemukan adanya sesuatu yang patut ditunjuk sebagai hal istimewa dari figur-figur lainnya yang saat ini bisa berhasil muncul sebagai tokoh nasional.

Jika figur-figur lainnya dapat dikatakan sukses dan mampu tampil sebagai tokoh nasional, maka saya pikir itu WAJAR-WAJAR SAJA dan tak ada yang istimewa. Sebab, mereka memang ketika berusia 6 tahun tidaklah pernah merasakan bagaimana beratnya menjalani hidup sebagai bocah yang sudah harus ditinggal oleh kedua orangtuanya. Yakni, mereka masih memiliki orangtua yang bisa menopang langkahnya menuju sukses, apalagi jika memang di antara mereka ada yang berasal dari keluarga berekonomi sangat mampu, minimal karena berhasil mendapatkan mertua yang punya harta, pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi di mata masyarakat kebanyakan.

Ketika telah berstatus anak yatim-piatu, Rizal Ramli hanya dipelihara oleh neneknya di Bogor. Sehingga ia tak pernah merasakan sosok seorang ayah dan ibu yang bisa membelikannya buku-buku pelajaran, pensil, tas, baju, dan sepatu ketika harus mulai masuk bersekolah; di SD Hutabarat Bogor, SMP 1 Bogor; dan SMA 2 Bogor.

Rizal Ramli bahkan kerap menyendiri dengan air mata yang tak terasa menetes di pipinya. Seperti ketika harus makan sahur dan berbuka puasa di bulan Ramadan. Lalu disusul ketika takbir menggema di hari lebaran, tentunya membuat Rizal Ramli tak mampu membendung air matanya, meluap menggenangi hatinya yang terasa remas terkoyak. Terlebih ketika melihat anak-anak seusianya sedang berbagi kasih sayang dengan kedua orangtuanya dengan penuh canda dan tawa, Rizal Ramli di momen-momen seperti itu malah harus berjuang meredam dan berusaha mengatasi kesedihannya agar tidak membuat dirinya berprasangka buruk kepada Tuhan.

Dari situ, Rizal Ramli tentunya berangsur-angsur dapat memahami, bahwa untuk melalui hidup memang sangat membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Yakni berjuang di jalan kebenaran dan berkorban untuk kebaikan bersama.

Dari situ pulalah, semangat perjuangan dan pengorban Rizal Ramli mulai terbentuk secara alami di dalam jiwanya, bukan melalui sebuah partai politik atau semacamnya seperti yang kebanyakan ditempuh oleh figur-figur lainnya. Rizal Ramli murni secara alami sudah harus tampil berjuang dengan diawali pengorbanan (mengorbankan rasa kasih sayang yang sedianya masih harus dinikmatinya sebagai seorang anak dari kedua orangtuanya ketika itu). Dan inilah yang membuat dirinya mampu selalu tampil tegar dan kokoh dalam berjuang meski dalam kondisi sesulit apapun.

Seiring dengan wawasannya yang mulai meluas, wujud perjuangan dan pengorbanan Rizal Ramli pun semakin terbentuk ketika menjadi aktivis mahasiswa ITB dengan tak gentar sedikit pun maju menentang kebijakan rezim Orde Baru, yang saat itu dinilainya banyak tak berpihak kepada kepentingan rakyat jelata.

Padahal, ketika itu Rizal Ramli sadar betul, bahwa untuk masuk diterima sebagai mahasiswa Jurusan Fisika di ITB betapa tidak ringan. Semua ongkos perkuliahan dan biaya hidup sudah sepenuhnya harus disediakan dan ditanggung sendiri oleh Rizal Ramli, sebab neneknya juga masih harus menanggung biaya hidup untuk cucu-cucu lainnya yang juga tinggal serumah di Bogor.

Kendati begitu, Rizal Ramli tetap lebih memilih mengutamakan menumpahkan perjuangannya untuk membela kepentingan rakyat, meski harus mengorbankan kuliahnya sekalipun. Benar saja, Rizal Ramli pun akhirnya dipenjara, di Sukamiskin-Bandung, karena selalu tampil memimpin pergerakan perjuangan melalui aksi demo untuk melawan dan menurunkan kekuasaan Soeharto. Jadi tak perlu heran jika hingga saat ini Rizal Ramli selalu mengkritik pemerintah.

Namun dengan dipenjara, bukannya membuat Rizal Ramli harus jera dan menyerah sebagai tahanan politik. Semangat perjuangannya malah semakin bergelora. Ia pun mengubah pola perjuangannya ke arah yang lebih cerdas. Yakni, selepas dari penjara, ia langsung berusaha menyusun “strategi baru”, yaitu mundur beberapa langkah untuk kemudian berlari sekencang-kencangnya lalu melompat setinggi-tingginya. Tekad ini pun mulai di gerakkan, meski tak memiliki siapa-siapa lagi, orang-tua apalagi modal uang. Rizal Ramli hanya yakin, bahwa Tuhan selalu bersamanya.

Dan benar saja, “pintu keajaiban” pun mulai terbuka untuknya. Dengan hanya berbekal keterampilan berbahasa Inggris dan segudang penuh semangat sebagai anak bangsa yang ingin memajukan negerinya, Rizal Ramli pun mendapat beasiswa dari Ford Foundation yang mengantarnya bisa melanjutkan kuliah di Boston University, namun di saat itu bukan lagi sebagai mahasiswa jurusan Fisika. Rizal Ramli berputar ke jurusan Ekonomi sekaligus sebagai babak baru perjuangannya guna mengangkat derajat ekonomi rakyat di negeri yang telah memberinya “roh perjuangan” dan pelajaran yang amat berharga, yakni Indonesia. Hingga kemudian, Rizal Ramli pun akhirnya berhasil meraih gelar Ph.D sekaligus menjelma sebagai seorang ekonom.

Tentu saja ini bukan sekadar cerita, tetapi adalah sebuah kisah nyata dari seorang tokoh nasional yang harus mengawali perjuangan hidupnya yang begitu amat berat sebagai seorang BOCAH YATIM-PIATU, tetapi (sekali lagi) “KOK BISA” menjadi seorang Doktor Ekonomi, Kabulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Komisaris Utama di PT Semen Gresik, dan Penasehat Ekonomi PBB.…??? Padahal Rizal Ramli bukan sosok dari parpol, atau tidak berasal dari kalangan keluarga ekonomi atas. Tetapi “KOK BISA” anak yatim-piatu ini tampil sebagai tokoh nasional, bahkan disebut sangat cocok jadi capres???

Tak perlu terlalu heran! Sebab maaf…, saya tak ingin berlebihan mengatakan, bahwa Rizal Ramli mampu tampil sebagai tokoh nasional itu adalah bukti kekuasaan Tuhan. Bukan karena partai politik tertentu, bukan karena orangtua, dan bukan pula berkat mertua yang punya harta serta jabatan yang bisa diandalkan untuk meraih kesuksesan. Kalau bukan karena kekuasaan Tuhan, apalagi namanya…??? Lalu bagaimana dengan capres lain??? Adakah mereka pernah diuji oleh Tuhan dengan merasakan langsung kesusahan hidup seperti yang dialami oleh Rizal Ramli sejak masih bocah???

Sekali lagi MAAF… saya tak bermaksud menyepelekan figur lainnya. Saya hanya ingin mencari pembenaran, bahwa saya mendukung Rizal Ramli bukan karena dorongan emosi atau nafsu tanpa rasio dan logika, yang sangat jelas melihat kondisi negeri ini begitu dipenuhi dengan manusia-manusia yang bertopeng MALAIKAT tetapi sesungguhnya berhati IBLIS.

Tetapi di satu sisi, saya juga sangat memahami, bahwa tak ada manusia sempurna yang tak luput dari kesalahan. Begitu pun adanya dengan Rizal Ramli yang harus saya akui bukanlah manusia sempurna, tetapi jika mau menilai secara objektif, maka Rizal Ramli adalah sosok yang patut dicontohi. Bahkan lebih dari itu, Rizal Ramli adalah sosok yang paling cocok dipilih menjadi pemimpin di republik ini, demi mewujudkan Perubahan yang diharapkan oleh seluruh umat di negeri ini.

Satu hal lagi, bahwa apabila Rizal Ramli yang menjadi presiden, maka “kelompok” yang paling pertama mendapat pelayanan terbaik adalah ANAK YATIM PIATU, terutama yang berasal dari kalangan keluarga ekonomi lemah agar tidak menjadi anak terlantar, karena selama ini negara hanya bisa “menulis” dalam undang-undang bahwa fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara…tetapi pada kenyataannya malah koruptor yang dipelihara oleh negara. Selanjutnya, terserah Anda…!!?!!

Namun yang jelas, bagi saya, seribu tahun pun Indonesia belum tentu bisa memiliki dan “melahirkan” sosok seperti Rizal Ramli, yang meski sebagai anak YATIM PIATU tetapi ia mampu tampil sebagai tokoh nasional yang dapat sejajar dengan figur lainnya, yakni mereka yang jelas-jelas bisa disebut sukses karena memang berasal dari keluarga berada (ekonomi mapan), dan masih punya orangtua.

Sehingga, saya pun bertanya-tanya: “Andai ini ibarat dalam perlombaan, maka coba kalau start-nya (menuju sukses) dimulai dengan posisi dan kondisi yang sama. Sama-sama anak yatim-piatu, sama-sama pernah dipenjara, dan sama-sama bukan berasal dari keluarga berekonomi mapan…???” Parahnya, bahkan ada figur yang akan maju sebagai capres justru sumber dananya berasal dari luar-negeri..?? Celakanya, tak sedikit rakyat yang seakan tak mau tahu secara detail “kondisi-kondisi” dari para figur yang akan maju dalam pilpres nanti.

Tetapi, jujur saya tak perlu merasa risau, sebab saat ini saya merasa tenang mendukung sekaligus merasa bangga bisa ikut memperjuangkan sosok Rizal Ramli agar bisa menjadi presidenn ataupun wakil presiden di republik ini dengan satu keyakinan: bahwa Tuhan tak pernah salah “menggerakkan langkah, hati dan pikiran” anak yatim-piatu hingga pula bisa sukses adalah berkat bimbinganNYA.

Sebagai seorang muslim, saya tutup artikel ini dengan sebuah ayat, yakni: “……tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: ‘Mengurus urusan mereka (anak yatim) secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka (anak yatim), maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”–(al-Quran Surah: al-Baqarah, 220).