(AMS, opini)
MAAF, artikel ini harus saya beri judul seperti di atas, bukan karena SBY maupun sejumlah anggota DPR-MPR (yang pria) sudah memakai gaun dan berdandan layaknya seorang wanita. Sekali lagi, bukan seperti itu! Kalau pun iya, maka tentu itu terpulang dari masing-masing individu yang bersangkutan, atau mungkin menurut cara pandang berbagai pihak saja.
MAAF, artikel ini harus saya beri judul seperti di atas, bukan karena SBY maupun sejumlah anggota DPR-MPR (yang pria) sudah memakai gaun dan berdandan layaknya seorang wanita. Sekali lagi, bukan seperti itu! Kalau pun iya, maka tentu itu terpulang dari masing-masing individu yang bersangkutan, atau mungkin menurut cara pandang berbagai pihak saja.
Yang jelas, artikel ini bertujuan untuk hanya mencari sebuah pembenaran, sekaligus bermaksud sebagai “nyanyian” kekecewaan dari saya terhadap kondisi bangsa kita yang saat ini masih banyak dirundung nestapa karena kemiskinan, karena kebodohan, dan karena ketidakberdayaan akibat kesulitan ekonomi yang belum jua sejauh ini bisa diatasi pemerintah.
Sementara di sisi lain, dengan kondisi negeri yang masih begitu banyak bertumpuk dengan masalah, pemerintah (terutama presiden dan sebagian besar anggota DPR-MPR) malah nampaknya hanya pandai berbicara dan sibuk ke sana ke mari mengejar kepentingan kelompok dan diri sendiri. Sampai-sampai, anggaran yang sedianya menjadi hak rakyat pun boleh jadi tak sedikit dilahap, dari jumlah kecil hingga yang bernilai besar, semuanya disikat, seakan sudah menjadi sebuah “budaya” dalam sebuah lingkaran kekuasaan yang menganut prinsip “memanfaatkan kesempatan selagi ada”.
Sesungguhnya, hal itu sudah menjadi rahasia umum, artinya semua orang sudah tahu. Sebab, hal itu telah lama menjadi perbincangan di mana-mana tentang kondisi bangsa yang masih berlangsung begitu-begitu saja, juga dengan masih terpeliharnya “budaya” elit parpol dan pejabat negara yang banyak gemar melakukan perbuatan “kotor” itu, seperti korupsi-nepotisme-kolusi dan lain sebagainya.
Sejauh ini, publik juga sangat yakin, bahwa sesungguhnya SBY sebagai presiden tentu tahu persis dengan kondisi negeri yang masih memiliki banyak persoalan yang belum teratasi hingga saat ini. Dan sangat mungkin SBY pun sangat tahu siapa-siapa yang saat ini sedang “asyik” berkorupsi-ria. Hanya sangat disayangkan, ketika telah mengetahui kondisi seperti itu, SBY sebagai presiden justru terlihat hanya lebih banyak cincong (banci) atau banyak bicara, curhat, jumpa Pers, bahkan membuat sejumlah album lagu dan lain sebagainya.
Jika SBY tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi tersebut di atas (termasuk tidak mengetahui siapa-siapa yang melakukan korupsi), maka menurut saya, SBY memang benar-benar bukanlah presiden yang baik, serta bukan sosok pemimpin yang dibutuhkan dan yang diharapkan rakyat saat ini.
Ketegasan SBY dalam menyikapi setiap persoalan negara dan bangsa, selama ini sebetulnya sangat diharapkan rakyat agar dapat segera diikuti dengan aksi gerak cepat melalui tindakan nyata. Bukan hanya sekadar mengajak atau mengimbau, apalagi jika cuma curhat-curhatan melalui corong (jumpa Pers) yang ujung-ujungnya SBY malah bisa disebut sebagai “banci” (banyak cincong) tanpa solusi.
Jika memang SBY tak ingin disebut “banci”, atau kalau memang SBY ingin disebut orang yang paling di depan dalam hal memberantas korupsi, maka SEGERA lakukan terobosan, misalnya, BANTU dan LINDUNGI KPK dalam membongkar serta mengungkap semua pegiat dan pelaku korupsi...!!!! Tetapi apabila SBY hanya banyak cincong (tidak melakukan terobosan apa-apa seperti yang dimaksud), maka JANGAN SALAHKAN jika saat ini mata publik menyorot tajam ke diri SBY sambil berkata: “jangan-jangan tuan Presiden juga terlibat..???”
Sangat disayangkan, karena ketika sorotan tajam mata publik tersebut sudah mengarah kepada kebenaran, DPR dan MPR (juga dengan lembaga hukum lainnya) justru nampaknya juga hanya “bencong” (benyai dan congak). Benyai artinya terlalu “lembek”, dan congak artinya hanya mampu mengangkat dan menunduk-nundukkan muka (kepala), karena tak berkutik dan tak berani mengambil langkah tegas atas seluruh indikasi yang sesungguhnya telah terang benderang terlihat di depan mata.
Jika memang DPR-MPR dan lembaga hukum lainnnya tak ingin disebut “bencong”, atau kalau memang DPR-MPR dan lembaga hukum lainnnya ingin disebut lembaga yang paling di depan dalam hal pemberantasan korupsi, maka.... SEGERALAH lakukan terobosan atas nama rakyat, misalnya, BANTU dan LINDUNGI KPK dalam membongkar serta mengungkap semua pelaku dan pegiat korupsi...!!!!
Tetapi apabila DPR-MPR dan lembaga hukum lainnnya hanya tetap benyai dan congak (tidak melakukan terobosan apa-apa seperti yang dimaksud), maka JANGAN SALAHKAN jika saat ini mata publik pun menyorot tajam ke diri DPR-MPR dan lembaga hukum lainnnya sambil berkata: “jangan-jangan kalian juga terlibat..???”
Sayangnya, yang paling banyak bersuara dan mendesak melalui gerakan saat ini hanyalah dari rakyat yang terdiri dari sejumlah LSM anti-korupsi. Yakni di antaranya ICW= Indonesian Corruption Watch, KoMpAK= Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, GeRAK= Gerakan Rakyat Anti Korupsi, For-GeBRAK= Forum Gerakan Barisan Rakyat Anti Korupsi, Pukat= Pusat Kajian Anti Korupsi, S@MAK=Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi, GeMPita= Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara, OAK= Organisasi Anti Korupsi, SorAK= Solidaritas Gerakan Anti Korupsi, MTI= Masyarakat Transparansi Indonesia, TII= Transparency International Indonesian, dan lain sebagainya.
Ada juga sejumlah tokoh-tokoh nasional pemberani yang turut giat mengumandangkan dan menyerukan agar KPK segera menuntaskan dugaan kasus korupsi yang melibatkan banyak elit dan pejabat di negeri ini. Tokoh-tokoh itu di antaranya adalah Rizal Ramli (Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan-ARuP), Fadjroel Rahman (Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi-Kompak), KH. Hasyim Muzadi (Tokoh lintas agama Asia), Ratna Sarumpaet (Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia-MKRI), dan lain-lainnya.
Rizal Ramli bahkan mendesak KPK agar tidak segan-segan “mengamputasi kepala ikan busuk”. Sebab, menurutnya, ikan busuk itu dimulai dari kepala, bukan dari ekornya. Bukan cuma itu, aktivis 77/78 ini juga meminta KPK agar tidak mengulur-ulur kasus Century, IT KPU, Hambalang, dan lain sebagainya.
Fadjroel Rahman pada 2011 juga sempat mencukur rambutnya hingga berkepala gundul di halaman depan gedung KPK. Selain untuk memenuhi nazarnya karena Nazaruddin telah tertangkap dari pelariannya kala itu, Fadjroel juga mengaku sengaja berkepala gundul sebagai kado ulang-tahun SBY pada September 2011 yang lalu.
Kembali mengenai Presiden SBY “Banci” dan DPR-MPR “Bencong”. Pada tahun lalu, seperti dilansir Republika, di Bandung ternyata ada waria, Anggie yang telah menyebut Presiden SBY dan DPR-MPR lebih banci. Saat itu, ia turut bergabung dalam aksi unjuk-rasa menolak kenaikan BBM dan mengecam kebijakan Pemerintah SBY. Ia menilai SBY seperti banci. Bukan hanya SBY yang disentil dalam orasinya, tetapi juga DPR dan MPR.
Benarkah SBY “banci”..??? “Kalau SBY banci, dandan dong seperti saya,” teriak Anggie melalui corong orasi yang diikuti ledakan tawa dari para pendemo, seperti dikutip oleh suarapembaruan.
Nampaknya memang, banci yang mencari nafkah secara halal (misalnya bekerja di salon kecantikan) atau bahkan sebagai pengamen jalanan guna mempertahankan hidupnya itu lebih patut kita hargai, daripada presiden atau pejabat negara yang hidup kaya dan serba berkelebihan tetapi hanya berasal dari hasil korupsi..?!!
---------------------
Salam PERUBAHAN...!!!