(AMS, opini)
SEJAK rezim SBY berkuasa (hingga kini), sungguh begitu banyak sudah “peristiwa” atau kejadian tercela dan memalukan yang dilakoni oleh para elit maupun pejabat di negeri ini, baik di daerah terlebih di pusat. Salah satunya adalah dengan “merampok” uang negara (korupsi) yang begitu leluasanya dilakukan oleh para elit dan pejabat tersebut melalui banyak modus, baik yang telah terungkap maupun yang masih tersembunyi. Seakan ada “kekuasaan” yang “membolehkan” untuk melakukan perbuatan tercela dan kotor itu.
Di sisi lain, institusi hukum kita juga nampaknya memang terlalu gampang disuap, sehingga koruptor dapat diperlakukan secara “manja”. Misalnya, mereka yang masih terduga, tersangka, dan yang telah terdakwa pun masih juga bisa “lolos” dan terhindar dari jeratan sanksi, atau tak setimpal dengan perbuatannya. Bahkan tidak sedikit koruptor yang bisa lolos dengan cara melarikan diri ke luar negeri karena lambatnya aparat hukum melakukan proses eksekusi.
Itulah kemudian yang membuat para elit dan pejabat di negeri ini merasa tak perlu amat risau ketika ingin melakukan korupsi. Apalagi karena ketika mereka mengetahui, bahwa saat ini kader atau elit parpol penguasa saja banyak yang gemar berkorupsi, maka tentu akan makin menambah “mantaplah” hati mereka untuk ikut “berjamaah” melakukan korupsi, sekaligus merampas hak-hak rakyat.
Kegemaran para elit parpol dan pejabat melakukan korupsi di era pemerintahan SBY inilah yang membuat Indonesia jadi “kotor”. SBY sebagai Presiden memang memiliki jargon: “Katakan Tidak pada Korupsi”. Tetapi sejumlah pihak menilai jargon ini ibarat hanya sebagai lipstik atau mungkin hanya sebagai topeng semata. Sebab, jika SBY memang serius ingin memberantas korupsi, maka tentu ia harus memulai tindakan tegasnya dari lingkungan Istana, tak peduli apakah yang terindikasi itu adalah istri atau anaknya sendiri.
Sayangnya, keseriusan SBY itu cuma sebatas di iklan dan hanya sampai di bibir saja. Dan rakyat pun tentu saja tidak mendukung “jargon” SBY itu. Sebab, semua itu dinilai hanyalah sebuah pencitraan belaka, dan sama sekali tidaklah sesuai dengan kondisi saat ini yang justru menunjukkan korupsi lebih mengarah ke istana sebagai sarang korupsi. Jika istana saat ini betul-betul sebagai sarang korupsi, maka apa dan siapa lagi yang diharapkan agar rakyat miskin bisa sejahtera???
Pertanyaan itu memang sangat sulit dijawab, dan tidak akan terjawab hingga Pemilu 2014. Sebab menjelang Pemilu 2014 ini, seluruh parpol dan pihak-pihak berkompeten dapat dipastikan lebih fokus bermanuver politik untuk membersihkan dan “mengamankan” diri sendiri. Sehingga masalah-masalah hukum (terutama masalah Tipikor) akan sulit dituntaskan. Jadi boleh dikata, selama 10 tahun SBY berkuasa itu hanyalah berhasil mencetak banyak koruptor.
Namun di saat Indonesia kini telah terlanjur dikenal sebagai negara “kotor” karena banyak dikuasai koruptor, maka di sisi lain Indonesia tentunya juga masih memiliki sejumlah tokoh Indonesia yang dinilai mampu membersihkan, merapikan, dan bahkan berani “melawan” pemerintahan SBY yang diduga kuat sebagai rezim yang sangat gemar melakukan korupsi.
Tokoh-tokoh nasional itu adalah:
1. Rizal Ramli.
Sosok yang satu ini boleh dikata sangat fenomenal. Roh dan kekuatan membela serta memperjuangkan hak-hak rakyat sangatlah kuat dimiliki oleh sosok yang sejak usia 6 tahun ini telah menjadi anak yatim-piatu.
Rizal Ramli saat ini adalah Ketua Kadin Pusat. Dan ia bisa menjadi seorang tokoh nasional yang disegani karena keberaniannya melawan rezim yang dianggapnya tak berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Dan perlawanannya itu telah diawali sejak era Orde Baru yang dengan gigih dan bertubi-tubi meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, yakni apabila terus-terus menimbun kekayaan dari negara untuk keluarga dan diri sendiri. Namun kala itu Rizal Ramli harus dipenjara.
Sehingga tak heran jika mantan Menko Perekonomian ini pun tetap terpanggil melakukan perlawanan terhadap rezim SBY yang dinilainya lebih korup daripada Orde Baru.
Sayangnya, sejumlah pihak masih banyak yang keliru menilai setiap pergerakan yang dilakukan oleh Rizal Ramli saat ini. Mereka yang keliru menilai itu menganggap Rizal Ramli hanya melakukan perlawanan karena ingin mendapatkan posisi atau jabatan. Padahal, jika ditengok ke belakang, Rizal Ramli pernah mengorbankan jabatan dan posisinya sebagai Komisaris Utama di PT. Semen Gresik. Yakni ketika itu ia dipecat karena didinilai menentang kebijakan pemerintah dengan melakukan aksi demo di depan istana mendesak SBY agar tidak menaikkan harga BBM, dan meminta harga sembako diturunkan.
Dan semua perlawanan dan perjuangan ini dapat dilakukan Rizal Ramli sejak dulu hingga saat ini dengan gagah berani meski tanpa melalui sebuah partai politik pun. Sehingga aneh jika ada pihak tertentu yang menuding Rizal Ramli melakukan semua itu karena gila jabatan dan berambisi ingin menjadi presiden.
Bukankah yang pantas disebut gila jabatan itu adalah figur yang hanya ingin berjuang atas nama partai? Dan bukankah yang patut disebut berambisi untuk menjadi presiden (penguasa) itu adalah figur yang buru-buru mendirikan partai, termasuk mereka yang buru-buru merebut posisi ketua umum atau sebagai pemilik partai?
2. Ratna Sarumpaet.
Ratna boleh dikata adalah seorang pendekar wanita masa kini. Ia juga pernah di terlibat menurunkan Soeharto di era Orba. Ia lalu ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan makar sehari sebelum Soeharto diangkat jadi Presiden untuk ke-7 kalinya. Ratna kemudian dibebaskan sehari sebelum Soeharto lengser. Sejak itu, Ratna tidak pernah masuk Partai, atau jadi pejabat. Ia lebih memilih kembali ke dunianya sebagai seniman dan tetap jadi Aktivis kemanusiaan.
Namun, sebagai salah satu yang terlibat memperjuangkan reformasi, Ratna Sarumpaet merasa tetap bertanggungjawab ketika cita-cita reformasi dilencengkan. Ratna menilai MPR dimandulkan, konstitusi, sistem dan perundang-undangan diintervensi IMF, Worl Bank, WTO, kekayaan SDA tergadai, kerukunan dan kedamaian berbangsa hilang, serta 104 juta lebih rakyat berada di posisi miskin/tidak berdaya.
Menurutnya, kondisi Indonesia, terutama kedaulatan rakyatnya tidak mungkin dikembalikan hanya dengan mengganti Presiden melalui Pemilu yang digelar rezim yang notabene korup dan tidak bermoral. Apalagi Ratna menilai KPU telah dikuasai Asing dan diikuti para parpol yang juga korup.
Sehingga itu Ratna mendirikan MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) untuk dengan tegas meminta dan menyatakan bahwa Rakyat butuh Pemerintahan Transisi untuk merevolusi sistem dan seluruh perundang-undangan yang sudah dirusak, yakni dengan menggelar pemilu yang bersih dan bertanggung-jawab.
Nah, mari kita merenungi, adakah tokoh nasional seperti Rizal Ramli dan Ratna Sarumpaet (tanpa melalui parpol) yang MAU BERANI dan TERANG-TERANGAN melawan rezim SBY yang dinilai sangat korup itu???
Sebenarnya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang juga sangat membenci “perilaku” elit dan pejabat korup yang terjadi pada rezim saat ini. Tetapi nampaknya, mereka masih menunggu momen tepat untuk melakukan gelombang pergerakan Perubahan, atau bahkan revolusi apabila rakyat telah menghendakinya.
Salam PERUBAHAN…!!!