Tuesday, 28 August 2012

“Kita” yang tak Sama

Masa dalam Keluarga
AKU lahir dan dibesarkan oleh kedua orangtuaku yang amat teguh memegang budaya serta adat-istiadat dari dua suku yang serumpun. Ibuku Makassar, dan ayahku Bugis.

Kepada anak-anaknya, kedua orangtuaku sangat menekankan agar senantiasa berperilaku dan bertutur kata yang baik dan benar. Sehingga itu sejak kecil, aku telah dibekali sejumlah penekanan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-temurun diterapkan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sosial Makassar-Bugis.


Salah satu penekanan yang amat menonjol dari kedua suku ini, yaitu semua orang tanpa mengenal usia apalagi orang yang lebih tua, adalah patut dihormati, termasuk ketika sedang menyapa ataupun saat berbicara dengan menggunakan kata “kita”. Misalnya ketika aku harus bertanya kepada seorang pembantu di dalam rumah, “Ada berapa liter tadi kita beli bawang merah?”

Kata “kita” dalam kalimat di atas adalah hanya si pembantu, dan aku tidaklah terlibat dalam kata “kita” tersebut. Jika pertanyaan itu diucapkan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka penyebutannya adalah, “Ada berapa liter tadi kamu beli bawang merah?”. Jadi “kita” dalam hal ini sama dengan “kamu”.

Penekanan kata “kita” ini bukan hanya harus diterapkan di lingkungan keluarga, tetapi juga telah menjadi kepatutan di semua lingkungan untuk dapat dipatuhi, seperti di lingkungan sekolah, di kantoran, pasar dan lain sebagainya. Misalnya, ketika aku harus bertanya kepada seorang guru, “Pak, kalau tidak salah, minggu lalu kita bilang hari ini ujian?”.

Begitulah seterusnya, kata “kita” laksana kata yang wajib dipakai untuk menempatkan lawan bicara sebagai orang yang harus dihormati. Jika ada seseorang yang menggunakan kata lain selain kata “kita”, –seperti kamu, kau, atau anda– dengan pengujaran secara langsung, maka orang itu dinilai sebagai orang yang kasar, bahkan dianggap kurang ajar. Demikianlah salah satu ajaran bertutur kata dalam lingkungan keluarga Makassar, Bugis dan umumnya seluruh suku yang ada di Sulawesi Selatan.

Masa Berkeluarga
Secara berurutan, ada Andi Ria dari Kabupaten Wajo, Niny dari Kota Makassar, Feny dari Kota Kendari, dan Ana dari Madura (Keempatnya nama samaran) adalah wanita-wanita yang pernah singgah di hatiku. Namun terakhir, yang berhasil tertera di buku nikah adalah Indira (nama asli), seorang gadis asal Kota Gorontalo yang aku pacari selama lima tahun. Setahun apel malam mingguan secara langsung,  dan karena Indira harus pulang ke kampung halamannya, maka selama empat tahun harus dilalui dengan surat-menyurat (maklum ketika itu belum ada telepon seluler).

Saat Indira berhasil kujemput dari Gorontalo ke Makassar dengan status sebagai istri, kehidupan selaku kepala keluarga pun mulai kujalani dengan ikut menerapkan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat yang dianut oleh kedua orangtuaku, termasuk cara bertutur kata yang baik dan benar menurut adat yang berlaku di kalangan Makassar serta Bugis. Indira pun nampaknya tidak terlalu sulit mengikutinya, karena sebelumnya ia memang sempat menjadi penduduk Makassar selama tiga tahun.

Membina rumah tangga memang tidak segampang yang dibayangkan, terlalu banyak yang harus dihadapi sebagai tantangan, namun bukan sebagai hambatan besar hingga harus menyerah di tengah jalan, melainkan hendaknya semaksimal mungkin harus sabar melaluinya dan selalu tekun mencari jalan terbaik. Termasuk ketika berhadapan dengan masalah yang mungkin dianggap sepele, misalnya salah mengartikan atau salah memahami makna ungkapan dari bahasa yang digunakan dalam rumah tangga.

Misalnya suatu malam, aku yang saat itu berprofesi sebagai seorang jurnalis di salah satu media cetak harian ternama di Makassar, masih berada di kantor untuk menyelesaikan sejumlah berita serta artikel lainnya. Dan dari rumah istriku menelepon, lalu mengatakan kepadaku, bahwa besok ibunya dari Gorontalo akan tiba di Makassar menggunakan bus antarprovinsi, sehingga ia memintaku untuk cepat pulang istirahat.

“Pa, besok hampir siang ibuku tiba di Makassar. Bus hanya menurunkan semua penumpang di terminal. Dan ibu berharap bisa dijemput sebelum busnya tiba. Jadi usahakan malam ini cepat pulang, ya, Pa!,” ujar Indira membujuk. Dan aku pun menyahutinya dengan berkata, “Iya, tak usah cemas, sayang. Pasti dijemput.”

Terus terang, ketika Indira mengucapkan kalimat “…besok hampir siang…” aku tidak serta-merta harus bergegas beranjak pulang ke rumah. Bahkan malam itu, aku tak keberatan ketika teman sekantor minta tolong meminjam sepeda motorku guna mencari obat resep dokter di apotik untuk adiknya yang sakit. Sebab, perkiraanku tentang “besok hampir siang” yang dimaksud itu adalah antara jam 08.00 sampai 10.00 pagi. Aku pun baru bisa meninggalkan kantor dan tiba di rumah sekitar pukul 23.45.

Dengan memakai kunci duplikat cadangan, aku membuka sendiri pintu tanpa harus mengganggu istri dan bayi perempuanku yang sedang tertidur pulas. Namun seperti biasanya, aku yang meski telah lelah berburu berita seharian, tak bisa langsung tidur. Sebab, selain harus merapikan lembaran-lembaran catatan dan sejumlah kaset hasil rekaman berbagai narasumber, aku juga sejak dulu punya kesenangan mengendurkan kelelahan dengan duduk santai sejenak. Bukan sekadar menerawang masa depan dengan kekuatan inspirasi yang ada, tetapi juga adalah untuk mengintrospeksi dan mengevaluasi diri kembali secara jujur. Bahkan waktu santai tiap tengah malam, selalu kumanfaatkan untuk belajar dan mendalami program desain grafis di komputer. Dan otakku terasa agak ringan setelah melalui semua itu.

Pukul 01.20 dinihari, aku baru masuk ke kamar menengok bayiku yang nampak sesekali tersenyum di tempat tidurnya yang hangat. “Oh, dia sedang bermimpi indah. Semoga di suatu saat mimpimu bisa terwujud, sayangku,” bisikku dalam hati seraya kuelus pipinya yang sangat halus. Rasa kantuk yang mulai berlebih membuatku segera mendekat ke ranjang untuk menyetel jam alarm di posisi angka 07.30, dan aku pun berbaring pelan-pelan di samping istriku.————

Aku tersentak bangun setelah dikejutkan dengan deringan jam alarm yang diikuti isak tangis samar-samar bercampur nada omelan yang terdengar tidak jelas dari istriku. Aku terheran-heran, lalu menanyakannya, “Sayang, ada apa?”. Namun ia malah tetap mengomel sambil tersedu-sedu, kemudian beranjak bergegas ke kamar mandi.

Aku hanya bisa duduk terdiam menggaruk kepala menyaksikan tingkah aneh istriku, dan menunggu dirinya masuk kembali ke kamar tidur, sambil tetap coba berpikir mencari gerangan apa yang membuatnya tiba-tiba menangis. Hingga kemudian ia pun akhirnya masuk ke kamar tidur kembali.
“Pa, kasihan ibu….”
“Iya, ada apa dengan ibu?,” tandasku memotong ucapannya seraya mendekapnya untuk coba  menenangkannya, karena pikiranku pun mulai membayangkan hal-hal yang menakutkan.
“Sayang, ayo katakan dengan pelan-pelan dan jelas! Kenapa dengan ibu?,” pintaku membujuknya dengan suara manja.

Istriku melepaskan diri dari dekapan, lalu menuju ke lemari pakaian untuk menyiapkan baju serta celana buatku sambil menegaskan, bahwa ibunya sudah sejak tadi menunggu di terminal. “Bukankah semalam ia mengatakan ibunya akan tiba di terminal besok hampir siang?,” tanyaku dalam hati seraya melemparkan pandangan ke jam dinding yang masih menunjukkan pukul 07.45 pagi, artinya belum mendekati siang hari.

Namun setelah mendengar penjelasannya, ternyata pokok persoalannya adalah kesalahpahaman. Aku salah mengartikan kalimat “besok hampir siang” darinya, yang ternyata kalimat itu bermakna “sebelum hari terang” atau dalam artian adalah pagi-pagi buta sekitar pukul 04.00 hingga 05.00. Kalimat “besok hampir siang” itu ternyata juga merupakan rangkaian kata yang menunjukkan waktu, dan memang telah baku diucapkan serta lazim digunakan oleh orang Gorontalo sejak dulu.

Setelah mengetahui maksud kalimatnya itu, spontan aku pun tanpa basa-basi bergegas menyiapkan diri untuk menjemput sang ibu mertua di terminal. “Ya ampun, hanya karena kesalahan menggunakan Bahasa Indonesia, nyaris saja jantungku copot,” celotehku di sepanjang jalan menuju terminal.

Kesalahapahaman mengartikan Bahasa Indonesia yang sering diucapkan oleh lidah orang di kampung istriku tidak hanya sampai pada kalimat “besok hampir siang” itu.

Di lain waktu, kesalahpahaman kembali aku temui dalam suasana yang berbeda. Yakni diawali ketika aku telah bulat memutuskan diri untuk memilih merantau ke Kota Gorontalo, meski harus meninggalkan tempat pekerjaan dan tanah kelahiranku, Makassar.

Keputusan ini termasuk langkah yang amat nekat. Kusebut demikian, karena kala itu, tak ada satu pegangan pun yang dapat kujadikan jaminan agar hidupku dapat berubah sebagaimana yang diharapkan di sana. Tetapi bukan berarti aku melangkah tanpa alasan. Dan alasan yang paling terasa di dada selain untuk mencari pengalaman hidup yang lebih mandiri, yakni aku juga telah bertekad untuk ingin menjadi pelaku sejarah yang baik, bukan sebagai pembaca sejarah.

Namun ada tantangan sekaligus kesulitan awal yang kuhadapi sebagai penduduk baru di Gorontalo ketika itu, yakni persoalan dialek dan cara bertutur-sapa sebagai kebiasaan yang telah dianut di daerahku dalam memperlakukan seseorang secara hormat, ternyata penerapannya berbeda di Gorontalo.

Contohnya, ketika baru sehari berada di kota yang berjuluk Serambi Madina itu, aku sempat bertanya kepada adik perempuan istriku yang sedang ikut kongko-kongko dengan sejumlah keluarga lainnya di ruang tamu, “Ada di mana kita punya suami?”. Pertanyaan ini membuat ia bersama orang-orang di sekitarnya sontak tertawa.

Cara aku bertanya tentulah dianggap aneh dan lucu, sehingga membuat aku merasa jadi bego sendiri. Namun buru-buru pertanyaan itu aku ubah, “Suamimu ada di mana?”.
Pertanyaan yang kedua ini pun akhirnya disambut dengan jawaban sebagaimana mestinya, “Ada di rumah. Sebentar lagi dia menuju ke mari,” jawabnya tersenyum. Pembicaraan demi pembicaraan pun berlanjut dan saling bersambungan satu sama lainnya.

Namun sejak kejadian itu aku sudah harus mulai berhati-hati menggunakan kata “kita” di Gorontalo, sebab pengertiannya ternyata tak sama atau bermakna kebalikannya dengan kata “kita” yang lazim digunakan di Makassar.

Misalnya, kalimat: “Uang itu kita yang punya”, dari sudut pengertian orang Gorontalo kalimat ini berarti: “Uang itu aku yang punya”. Tetapi jika menurut orang Makassar, kalimat tersebut berarti: “Uang itu kamu yang punya”. Sehingga nampak sekali perbedaan kata “kita” menurut versi orang Makassar dan juga menurut versi orang Gorontalo.

Sebetulnya bukan hanya kata “kita” yang mengandung arti berbeda dari makna sebenarnya, di Gorontalo juga ada sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia yang digunakan sedikit keliru, dan bisa dinilai melenceng, bahkan kurang tepat pemakaiannya. Di antaranya kata “suka”, “ikan” dan “ikut”.

Kata “suka” dalam Bahasa Indonesia umumnya diartikan “senang”. Tetapi di Gorontalo, kata “suka” berarti  “mau” yang sering dipakai dalam kalimat seperti: “Dia suka jadi seorang penulis”, artinya: “Dia mau jadi seorang penulis”.

Selanjutnya, jika kata “ikan” dalam Bahasa Indonesia adalah hewan bertulang belakang yang hidup dalam air. Namun di Gorontalo, kata “ikan” bisa berarti ayam, daging sapi, kambing dan lain sebagainya. Misalnya, “Dia baru saja makan ikan ayam goreng”, artinya: “Dia baru saja makan ayam goreng”.

Sedangkan kata “ikut” dalam Bahasa Indonesia yang bermakna “turut, serta”, maka di Gorontalo bisa berarti “arah” atau “belok”. Misalnya, kalimat: “Waktu dikejar, pencuri itu lari di petigaan ikut kanan”, artinya: “Waktu dikejar, pencuri itu lari di pertigaan belok kanan”.

Dengan adanya kata “kita” yang tak sama serta kata-kata lainnya yang agak melenceng dari arti sebenarnya di Gorontalo, maka pada kesimpulannya membuat aku sadar, bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah menjadi pilihan satu-satunya buatku agar dapat menyatukan “perbedaan” yang ada pada diriku dan istriku.

Artinya, meski aku dan istriku dilatarbelakangi dengan perbedaan kultur bahasa daerah masing-masing, namun aku tak mungkin mengenyampingkan cara berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam membina rumah tangga bersama istri dan anak-anakku. Sebab, hanya dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka keluarga yang aku bina saat ini tentunya dapat berjalan dengan baik pula.