SETIAP kali menghadapi ajang Pemilihan Umum (Pemilu), baik pemilihan presiden, gubernur, walikota maupun bupati, serta pemilihan calon legislatif (caleg), maka para figur yang menjadi pesertanya pastilah berusaha untuk selalu tampil mempesona dengan menggunakan bahasa politik yang amat memukau, baik bahasa lisan maupun bahasa tubuh.
Seakan mereka adalah manusia yang sudah sempurna, hebat dan mampu melakukan apa saja dengan memunculkan dan memperdengarkan janji-janji manis kepada masyarakat, baik melalui baliho, stiker, brosur, retorika di atas panggung kampanye maupun di berbagai media massa. Padahal bahasa yang digunakannya belum tentu benar, bahkan dipastikan sangat berlebih-lebihan dengan menghambur-hamburkan kalimat yang bermaksud hanya untuk meraih hati masyarakat.
Memang, tak ada aturan yang menyalahkan para calon kepala negara ataupun calon kepala daerah serta calon legislatif untuk menyuguhkan janji-janji manis kepada masyarakat. Sebab semua itu dianggap sah-sah saja, sepanjang tidak menghujat dan mendiskreditkan pihak lain. Tetapi yang parah adalah akibat dari kata-kata manis tersebut ternyata jauh dari kenyataan, itulah yang jadi masalah, yakni setelah calon yang bersangkutan telah berhasil terpilih ternyata tak bisa mewujudkan janji-janji yang telah diucapkannya.
Dan itu adalah fakta yang menunjukkan, bahwa bahasa hanya sering dijadikan sebagai salah satu alat bagi kalangan politisi dalam upaya meraih kekuasaan. Artinya, tidak sedikit elit politik yang telah menyalahgunakan bahasa sebagai senjata demi meraih maksud dan kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Yakni dengan memberikan janji-janji manis kepada masyarakat.
Janji-janji itu, sudah pasti lebih banyak melalui ucapan, seperti: “Kami bisa memberantas kemiskinan, dan mewujudkan kesejahteraan buat seluruh masyarakat melalui program-program pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Apalagi memang selama ini kami sangat paham apa yang menjadi keluhan masyarakat. Sehingga itu, setelah kami terpilih, tentulah keinginan rakyat akan kami utamakan,” demikianlah kurang lebih isi materi kampanye yang sering diteriakkan di mana-mana oleh banyak calon kepala daerah. Tetapi pada kenyataannya sangat sedikit yang bisa mewujudkannya, bahkan sejauh ini pula belum ada yang mampu menjadikannya sebagai kenyataan.
Parahnya, masyarakat tidak tahu-menahu tata-cara seperti apa yang bisa ditempuh dalam menagih janji kampanye. Sehingga itu pulalah yang menyebabkan suburnya bahasa politikus sebagai bahasa omong kosong.
Tak perlu ditunjuk apalagi disebutkan satu-satu, saksikan saja sendiri, bahwa begitu banyak pejabat negara dan pejabat daerah serta politisi yang pandai bersilat lidah dalam pidatonya, hingga dapat menghipnotis pendengarnya dengan janji-janji yang mampu menyegarkan telinga. Mulut mereka mengalir susunan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat indah, dengan intonasi serta nada suara yang sangat meyakinkan, sehingga membuat pendengarnya rela bertindak sesuai dengan isi pesan yang dilontarkannya.
Apalagi memang politikus menyadari betul, bahwa kekuatan bahasa dalam mempengaruhi pikiran manusia sangatlah besar. Olehnya itu, bahasa indah seperti apapun pasti mereka lontarkan demi meraih kemenangan politik, termasuk melakukan omong kosong dengan menggunakan bahasa rayuan yang di dalamnya banyak berisi janji-janji palsu.
Padahal, berbahasa dengan melontarkan janji-janji politik palsu itu identik dengan proses pembodohan terhadap masyarakat. Benarlah apa yang dikatakan Tjipta Lesmana dalam acara “Pemimpin Galau dan Bimbingan” di salah satu stasiun televisi di Indonesia, Senin 25 Juni 2012, bahwa, “Demokrasi kita terlalu kebablasan, kita belum siap tujuan politik hanya mengejar kekuasaan dan uang, janji-janji politik omong kosong apalagi rakyat mau diberi uang dengan serangan subuh oleh kandidat peserta pemilu sungguh menyedihkan demokrasi kita.”
Begitu pandainya politikus bermain lidah, sampai-sampai politikus ini nampaknya bagai makhluk hebat yang amat ahli memanipulasi apapun, termasuk memanfaatkan bahasa untuk dijadikan sebagai senjata ampuh dalam meraih kepentingan politiknya. Lalu menyadari hal tersebut, masyarakat hendaknya juga harus punya bahasa logika dalam menerjemahkan kalimat-kalimat yang berbau gombal dari seorang politikus. Artinya, masyarakat patut pula memanfaatkan bahasa sebagai alat ukur dalam menimbang ucapan-ucapan manis dari seorang politikus. Jika tidak, maka masyarakat diyakini akan selalu menjadi korban bahasa omong-kosong atau "permainan silat lidah" dari para politikus.