Thursday 16 June 2011

Wakil Walikota Gorontalo Terpaksa Ngantor Di Rumah Pribadi

(AMS, opini)
TARIAN dan nyanyian politik saat ini telah mulai terlihat dan terdengar di mana-mana sebagai tanda telah dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwako) Gorontalo untuk periode 2013-2018.

Gerakan dan iramanya, ada yang lembut serta merdu menyejukkan hati, namun ada pula yang kasar dan sumbang menyakitkan telinga. Dan masyarakat pun tentu tahu, mana yang kasar serta mana yang lembut dari tarian dan nyanyian politik yang dimainkan saat ini.


Bagaimana tidak, para pemainnya telah banyak memperlihatkan perbedaan yang menonjol satu sama lain, bahkan tak jarang beberapa pemain lainnya memainkan pola permainan ‘menyerang’ dengan maksud menjatuhkan  pemain lainnya.

Sehingga itu secara terang benderang, masyarakat di ‘zona netral’ pun telah mampu menilai pemain mana yang memiliki karakter dan perilaku politik yang dapat menguntungkan bagi banyak orang, dan pemain mana yang hanya menguntungkan kelompok tertentu saja.

Dari pengamatan secara langsung di lapangan terhadap kondisi jelang Pilwako 2013, dan tanpa bermaksud mengeyampingkan bakal calon walikota lainnya, menunjukkan bahwa, masyarakat Kota Gorontalo sebagian besar nampaknya kini lebih cenderung akan memilih sosok H. Feriyanto Mayulu, S.Ikom, MH untuk segera menjadi Walikota Gorontalo pada Pilwako Gorontalo 2013 mendatang.

Bagaimana tidak, sosok Feriyanto Mayulu dinilai adalah merupakan figur yang selama ini sangat jelas lebih mengedePANkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dibanding dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu saja.

Hal tersebut, menurut sebagian besar masyarakat, bisa dibuktikan dengan sikap dan pendirian Feriyanto Mayulu yang meski telah “dikucilkan” di kantor, namun Feriyanto Mayulu malah tetap eksis beraktivitas menunaikan amanat dan tanggung-jawabnya sebagai Wakil Walikota dengan menjadikan rumah pribadinya sebagai kantor guna melayani masyarakatnya yang datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru Kota Gorontalo.

Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata sosok Feriyanto memiliki perilaku politik “bertahan” alias sabar dan tegar dengan coba menghindari segala hal yang dinilainya sebagai belenggu arus kekuasaan.

Masyarakat Kota Gorontalo bahkan menerjemahkan perilaku politik Feriyanto Mayulu yang tak lagi berkantor di kantor Walikota itu adalah sebagai bentuk “protes” karena terinformasi telah adanya keterbatasan ruang gerak yang berlebihan dalam menunaikan tugas sebagai Wakil Walikota. Padahal, sebelum terpilih, tentu ada komitmen politik yang telah terbangun, namun setelah berjalan, hal itu tak ditemui. Akibatnya pecah kongsi pun tak bisa dihindari.

Terlepas siapa yang salah dan siapa yang benar, serta siapa yang membelenggu dan siapa yang dibelenggu, yang jelas masyarakat menilai pecah kongsi yang terjadi saat ini di tubuh pemerintahan “Damay” itu nampaknya tak lagi dapat ditemui kedamaian di dalamnya.

Tentunya, hal ini pula yang dirasakan oleh Feriyanto, sehingga harus mengambil sikap politik “anak panah dalam busur” yang digerakkan oleh kekuatan sendiri, yakni dengan mundur selangkah untuk berlari ke depan guna menerobos kekakuan dan mencairkan kebekuan politik dengan tetap memperlihatkan pe-rilaku yang pro-rakyat tanpa harus bergantung pada anggaran pemerintah.

Sikap politik Feriyanto ini pun dinilai oleh masyarakat sebagai bentuk kualitas kemampuan kemandirian yang dimiliki Feriyanto sebagai sosok pengusaha muda yang telah maPAN, baik dalam bidang ekonomi mau pun dalam dunia politik dan pemerintahan. Sehingga diyakini, apabila Feriyanto berhasil terpilih sebagai Walikota Gorontalo periode 2013-2018, maka benar-benar akan mampu mewujudkan haraPAN rakyat Kota Gorontalo.
Kita tunggu!!!