Monday 29 August 2016

Ahok Cemas, Hanya Parpol ini yang Dipastikan Mengusung Rizal Ramli


(AMS, Artikel)
HINGGA saat ini, dari 10 partai politik (parpol) yang mengisi kursi di DPRD DKI Jakarta, baru 4 parpol yang telah menunjuk sosok calon gubernur yang akan dimajukan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Yakni, Gerindra yang mengusung Sandiaga Uno. Sedangkan Partai Golkar, Hanura dan Nasdem berkoalisi mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Status Sandiaga sebagai calon gubernur masih belum aman. Sebab, Gerindra yang memiliki 15 kursi masih harus mencari parpol lain untuk memenuhi syarat usung pasangan calon sebesar 20% atau 22 kursi.

Sampai itu, Sandiaga sepantasnya harus terus “menjelajah” agar bisa “membujuk” parpol lainnya untuk dapat bergabung dengan partai yang pernah ditumpangi oleh Ahok pada Pilkada DKI 2012 silam itu.

Artinya, jika saat ini Sandiaga masih harus terlihat berusaha mencari parpol lain untuk pemenuhan syarat usung tersebut, maka tentu itu adalah hal yang wajar.

Lalu bagaimana dengan Ahok yang meski sudah diusung oleh Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi) serta Nasdem (5 kursi), ditambah Teman-Ahok, dan bahkan oleh sebuah lembaga survei sudah sesumbar menelorkan Ahok sebagai calon dengan elektabilitas yang paling tinggi. Tetapi kok sampai saat ini Ahok sepertinya juga terus “mengemis” dukungan dari PDI-P dan sejumlah parpol lainnya? Ada apa? Bukankah seharusnya Ahok tenang-tenang saja karena dukungan sudah aman?

Secara politik, pertanyaan seperti ini amat mudah dijawab, dan sangat bisa ditebak gerangan apa yang membuat Ahok kelihatan “serakah” mencari dukungan dari parpol lain.

Yakni, bahwa hal itu sangat jelas adalah bentuk kecemasan Ahok. Kecemasan pertama adalah, Ahok cemas jangan-jangan 3 parpol yang telah mengusungnya (Hanura, Golkar, Nasdem) salah satunya akan menarik diri pada detik-detik akhir penentuan.

Dan untuk menghilangkan kecemasan seperti itu, Ahok pun berupaya untuk sebisa mungkin mendapatkan parpol “serep” untuk “diperalat” demi memuluskan ambisinya sebagai “pemburu” kekuasaan. Bukankah hal ini memang telah terlihat pada diri Ahok, yang sejak awal perjalanannya dalam dunia politik memang sudah berulang-ulang melakukan “loncatan-loncatan” bak kutu loncat?

Kecemasan kedua adalah, Ahok saat ini sepertinya sangat ketakukan melihat begitu derasnya aspirasi murni rakyat dari segala penjuru yang terus bermunculan mendukung Rizal Ramli untuk maju menjadi pemimpin di DKI sebagai gubernur pada Pilkada DKI 2017.

Tanda-tanda kecemasan dan ketakutan Ahok terhadap Rizal Ramli yang disebut-sebut sangat layak dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta, yakni terlihat dan dimunculkan pertama kali oleh Ahok sendiri. “Jadi Gubernur BI (Bank Indonesia), kalii. Dia (Rizal Ramli) Gubernur BI mungkin kali ya? Gubernur DKI enggak saya kira,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (29/7).

Kalau orang jeli mengamati pergerakan politik di DKI Jakarta, maka ia akan melihat sangat jelas, bahwa Ahok sebetulnya tidaklah terlalu cemas melawan dan berhadapan dengan semua figur (misalnya, Sandiaga Uno dan lainnya) yang sejak awal disebut-sebut akan maju sebagai calon gubernur.

Kecemasan dan ketakutan Ahok tiba-tiba muncul dan membesar, yakni sesaat Rizal Ramli usai dicopot sebagai Menko yang ketika itu disambut dukungan dari rakyat secara spontan dan bersahut-sahutan untuk maju dalam pilkada DKI.

Saking cemasnya, Ahok akhirnya tergopoh-gopoh menghadap ke Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk meminta dukungan. “Pada kesempatan tersebut, Pak Ahok secara khusus menegaskan telah memutuskan untuk menempuh jalan kepartaian (membatalkan jalur independen) dan mengharapkan dukungan PDI Perjuangan,” ujar Ketua DPP PDI-P, Andreas Hugo Pariera, Kamis (18/8/2016).

Namun belakangan Ahok menyangkal, bahwa pertemuannya dengan ibu Megawati bukan untuk mendaftarkan diri sebagai cagub, dan juga tidak meminta PDI-P untuk menjadi pendukungnya, melainkan meminta Djarot untuk jadi cawagub.

“Kita gak pake daftar, jadi yang saya datang itu ke DPP menghadap ibu (Megawati) sebagai Ketum ketemu, jadikan ada protokolnya. Saya nanyain, eh saya sudah mau maju nih, udah ada tiket tiga nih, aku minta Djarot boleh nggak,” kata Ahok di Jakarta, Jumat.

Penyangkalan Ahok itu pun membuat kader dan elit-elit PDI-P merasa dilecehkan dan direndahkan oleh Ahok. Padahal semua orang juga bisa merasakan, bahwa Ahok akhir-akhir ini nampak sekali sangat “mengemis” (cari-cari muka dan berusaha sekuat tenaga) agar dapat didukung oleh parpol lainnya terutama dari PDI-P.

Sikap Ahok yang sangat mengharap dukungan dari PDI-P tersebut seolah tidak percaya kepada Golkar, Hanura dan Nasdem bakal mampu membawanya sebagai pemenang Pilkada.

Namun terlepas dari itu, kecemasan dan ketakutan Ahok yang sangat besar terhadap Rizal Ramli sejauh ini memang tak bisa ia sembunyikan. Dan satu-satunya cara untuk menyingkirkan (menghambat) langkah Rizal Ramli, adalah (bukan tidak mungkin) Ahok akan berusaha “membeli” sejumlah parpol agar turut bergabung dalam koalisinya (Golkar, Hanura, Nasdem)

Sehingga hampir dapat dipastikan, Ahok sesungguhnya sangat menginginkan Pilkada DKI 2017 ini hanya diikuti oleh 2 pasang calon, yakni dirinya vs Sandiaga dengan perkiraan formasi dukungan parpol sebagai berikut :
1. Ahok dan Djarot = PDI-P, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, PKB, PAN (70 kursi)
2. Sandiaga dan ...? = Gerindra, PKS, Demokrat (36 kursi)

Sangat boleh jadi formasi seperti itu bisa “dibentuk” dengan mudah oleh Ahok apabila mendapat “suntikan” dari para pengembang serta kelompok Taipan. Sebab dengan formasi seperti itu, Ahok merasa sangat percaya diri dan yakin bisa memenangkan Pilkada DKI meski sebagian besar rakyat sangat tidak menghendakinya dengan jalan (misalnya) memilih golput.

Sebaliknya, Ahok bisa mati gemetaran jika formasi yang terbentuk adalah seperti ini:
1. Ahok-Djarot = Golkar, Hanura, Nasdem (24 kursi)
2. Rizal Ramli-Sandiaga = PDI-P, Gerindra, PKS, PPP, Demokrat, PKB, PAN (82 kursi)

Atau formasi seperti ini:
1. Rizal Ramli dan Risma = PDI-P, PPP, PAN, PKB (46 kursi)
2. Ahok dan Djarot = Golkar, Hanura, Nasdem (24 kursi)
3. Sandiaga dan ....? = Gerindra, PKS, Demokrat (36 kursi)

Sebetulnya, ada konsep formasi yang lebih seru dan diyakini lebih demokratis karena dapat mewakili dan memenuhi selera di hampir semua kalangan, yakni :
1. Risma dan ....? = PDIP, PAN (30 kursi)
2. Ahok dan ...? = Golkar, Hanura, Nasdem (24 kursi)
3. Sandiaga dan ...? = Gerindra, PKS (26 kursi)
4. Rizal Ramli dan ...? = PPP, Demokrat, PKB= (26 kursi)

Jika para parpol benar-benar mencari calon yang memiliki kualitas sosok (kredibilitas, integritas dan kapabilitas) serta kualitas dukungan, maka Rizal Ramli adalah pilihan utama yang harusnya diperebutkan oleh parpol untuk segera diusung.

Sebab, dari semua figur bakal calon yang ada (baik itu Ahok, Sandiaga maupun lainnya), maka hanya Rizal Ramli satu-satunya sosok yang memiliki dukungan yang benar-benar asli (riil) dan murni dari rakyat beserta dari berbagai elemen dan komunitas masyarakat lainnya (tidak fiktif seperti dukungan KTP Ahok).

Sehingganya hanya parpol-parpol yang berpihak kepada wong cilik, tidak tuli, tidak buta, serta tidak tunduk pada kepentingan asing dan aseng yang akan sukarela serta dengan sukacita mengusung Rizal Ramli sebagai cagub DKI.

Sebab, sekali lagi, meski baru belakangan ini namanya munculnya dalam bursa cagub DKI, dan meski dengan waktu singkat, namun Rizal Ramli adalah satu-satunya sosok yang mendapat aspirasi rakyat secara riil, transparan dan murni dari sebagian besar rakyat, yang juga sampai detik ini masih terus mengalir deras mendesak agar dapat maju dan dimajukan oleh parpol sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI 2017.

Olehnya itu parpol-parpol yang masih tersisa saat ini seharusnya bisa mengikuti kenyataan dan fakta, bukan melawan serta mencoba membalikkan kenyataan dan fakta. Bahwa Rizal Ramli pada kenyataan dan faktanya memang adalah sosok yang paling diyakini bisa memenangkan Pilkada DKI 2017.

Sebab, baik sandiaga, Ahok ataupun dengan figur lainnya, sejauh ini secara fakta belum pernah memperlihatkan diri mati-matian membela kepentingan rakyat bawah, yang ada justru Ahok dengan tegas mati-matian membela pihak pengembang dan kaum kapitalis meski harus menindas rakyat kecil. Dan ini sangat berbeda dengan Rizal Ramli, yang sejak dahulu kala memang tak takut mati hanya untuk berpihak dan membela kepentingan rakyat kecil.

Sementara itu soal wacana Yusril Ihza Mahendra (YIM) dan Rizal Ramli dinilai memiliki peluang bisa diusung PDI-P, tentu saja itu tidak menutup kemungkinan. Tetapi karena PDI-P sejauh ini masih lebih cenderung memprioritaskan kadernya lebih dulu, maka peluang YIM (sebagai kader partai lain) sangat kecil untuk dapat diusung oleh PDI-P.

Sebaliknya, Rizal Ramli malah sangat berpeluang diusung oleh PDI-P. Pasalnya, ideologi yang tertanam di PDI-P sama persis dengan ideologi yang selama ini ditegakkan oleh Rizal Ramli. Pun kedekatan secara moral dan emosional Rizal Ramli dengan Megawati Soekarnoputri sejauh ini memang telah lama terjalin secara harmonis.

Selain itu, Rizal Ramli adalah sosok yang bukan berasal dari salah satu parpol tertentu, atau dengan kata lain bukan sebagai kader dari parpol mana pun. Sehingga, jika PDI-P mengusung Rizal Ramli, maka Rizal Ramli secara “otomatis” bisa disebut kader PDI-P. Dan pandangan seperti ini juga tentunya berlaku pada parpol-parpol lainnya.

Juga diyakini, bahwa parpol-parpol lainnya sesungguhnya tidak akan rugi jika mengusung Rizal Ramli pada momen Pilkada DKI kali ini. Sebab secara politik, “otot-otot” kepercayaan dari rakyat kepada parpol-parpol pengusung Rizal Ramli dalam Pilkada DKI 2107 akan semakin kuat dan kekar pada Pemilu 2019.

Olehnya itu, seluruh parpol sebaiknya tak perlu pura-pura tidak tahu-menahu tentang aroma yang sangat menyengat dalam Pilkada DKI 2017 ini, sebab masyarakat sejauh ini sebetulnya sudah mencium bahwa Pilkada DKI 2017 kali ini sangat jelas terasa adalah sebuah pertarungan RAKYAT Vs MAFIA. Sehingganya, masyarakat tentu akan langsung bisa mengetahui mana parpol pendukung selera mafia dan mana pendukung kehendak rakyat.

Dan hanya parpol pendukung kehendak rakyat (pembela kepentingan rakyat dan wong cilik) yang bisa dipastikan yang akan mengusung Rizal Ramli untuk maju sebagai cagub DKI.

Sehingganya, hanya dengan menjadikan Rizal Ramli sebagai Gubernur Jakarta, rakyat (warga Jakarta) dapat dipastikan tidak akan kehilangan hak-haknya, sebab Rizal Ramli diyakini adalah sosok pemimpin yang telah teruji yang siap mati (pasang badan) demi membela kepentingan rakyatnya.