(AMS, Opini)
“RIZAL Ramli adalah salah satu sosok penghalang besar yang tak pernah berhenti menghasut dan melakukan perlawanan kepada setiap pemerintah yang banyak berbaik hati kepada kita,” kiranya demikianlah pandangan secara turun-temurun di lingkungan para mafia (seperti mafia Berkeley, mafia beras, mafia, migas, dsb) dan para politisi busuk beserta para begundalnya terhadap diri Rizal Ramli.
Para mafia inilah yang telah berhasil menguasai Indonesia dengan cara menjajah negerinya sendiri dibantu kekuatan luar (negara asing) pasca lengsernya Soekarno.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” demikian sepenggal pidato yang pernah diucapkan Presiden Soekarno.
Secara sadar Soekarno menyatakan hal tersebut, sebab ia sangat mengenal Indonesia sebagai negeri yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah tetapi sangat sulit dikelola oleh bangsa dan rakyatnya sendiri.
Dan dari situ, Soekarno seakan telah mengetahui akan bermunculan para penjajah yang berasal dari dalam negeri sendiri, yakni anak-anak bangsa yang akan berkerjasama dengan sejumlah negara asing untuk kembali menguasai Indonesia melalui pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam di negeri ini.
Bukankah memang kekayaan alam yang terkandung di perut ibu pertiwi inilah yang membuat para penjajah sangat bernafsu untuk menguasai Indonesia di masa silam? Dan ingat, nafsu penjajah (dari negara luar) ini takkan pernah surut walau Indonesia telah berhasil memproklamirkan kemerdekaannya!
Artinya, para penjajah memang sudah menyerah dan takluk di medan pertempuran fisik melawan bangsa Indonesia, namun sesudahnya, para penjajah ini justru berhasil melihat kelemahan bangsa Indonesia di sisi lain. Yakni, bangsa Indonesia tidak punya rasa percaya diri sebagai bangsa yang merdeka, termasuk tak punya kemampuan mengelola negerinya sendiri.
Pada konteks tersebut, Soekarno pun mengingatkan dalam pidatonya pada HUT Proklamasi 1963, bahwa bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, (maka bangsa tersebut) tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Dan hingga kini pada kenyataannya bangsa kita memang belumlah merdeka. Hasil-hasil pengelolaan kekayaan alam yang menggunung beserta dana anggaran pembangunan yang meluap-luap dari tahun ke tahun, nyatanya hanya banyak menumpuk dan mengalir masuk ke pintu-pintu istana dan di gedung Senayan. Yaaa.... para pejabat negaralah yang kini kekenyangan, mereka saling menyuapi dengan para mafia, politisi busuk dan para begundalnya. Dan ketahuilah, itu sudah berlangsung sejak dulu.
Sementara jeritan dan tangisan kesengsaraan si miskin pribumi di emperan-emperan toko dan dari balik gubuk bambu dan tembok-tembok rapuh perumahan kredit dan kontrakan kumuh, hingga kini nyatanya masih terus meraung-raung.
Juga ibu-ibu tua janda miskin, nenek-nenek renta, serta anak-anak yatim-piatu yang juga terus bermunculan menjadi pengemis dan peminta-minta sumbangan, nyatanya hingga kini masih terus berkelana mengetuk pintu door to door (pintu mobil dan rumah), dan masih banyak lagi yang kesemuanya hanya bagai sebuah nyanyian pengantar tidur bagi para pejabat pemerintah di negeri ini. Dan itu sudah berlangsung sejak dulu.
Tapi bukankah Indonesia sudah merdeka? Dengan tegas saya katakan, bahwa kita belum merdeka..!!!! Soekarno memproklamirkan sebuah kemerdekaan yang hanya bermakna pada sebuah keberhasilan mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini, bukan sebagai jaminan bahwa penjajah (negara asing) mampu kita “hilangkan” dari negeri ini. Sebab, mereka pasti akan terus berusaha mencari cara sampai kapanpun untuk benar-benar bisa menguasai kekayaan alam kita untuk kemajuan negara mereka sendiri-sendiri.
Sampai itulah, pernyataan-pernyataan Soekarno di masa lampau pun menjadi benar, bahwa kita saat ini masih sedang dijajah oleh penjajah yang berasal dari dalam negeri kita sendiri. Yakni para mafia, para politisi busuk beserta para begundalnya penjilat kaki dan (maaf) dubur negara imperialis.
Sungguh, Indonesia pasca Soekarno hingga kini benar-benar telah dikuasai oleh penjajah yang berasal dari dalam negeri kita sendiri. Olehnya itu, rakyat dan bangsa ini harus benar-benar sadar dan segera bangkit bersatu untuk tidak membiarkan para mafia, potisi busuk beserta para kaki tangan negara asing leluasa melahap kekayaan negeri ini secara monopoli dan rakus.
Lawan....!!! Inilah kata yang seharusnya ditegakkan di bawah “Panji Perubahan”. Untuk melakukan perlawanan, sebetulnya Soekarno telah memberikan kita sebuah bekal ideologi dan satu ajaran, yakni Pancasila dan Trisakti.
Sayangnya, ideologi dan ajaran tersebut hanya segelintir orang yang bisa menggerakkannya secara konsisten, termasuk boleh jadi anak-anak Soekarno sendiri pun belum tentu seideologi dengan Soekarno. Layaknya ajaran dari seorang nabi di masa lampau yang juga belum tentu bisa diikuti oleh anak-anak atau keluarganya sendiri.
Namun dari segelintir orang yang tetap konsisten berpijak pada ideologi dan ajaran Soekarno hingga saat ini salah satunya adalah Rizal Ramli. Dan hal ini tak dapat dipungkiri, bahwa hingga kini Rizal Ramli memang masih tetap setiap berada pada barisan pergerakan demi mewujudkan Perubahan di negeri ini.
Rizal Ramli yang sudah berstatus anak yatim-piatu sejak usia 7 tahun bukanlah tokoh pergerakan yang baru nongol di era kemarin. Perjuangan pergerakannya telah ia lakoni jauh sebelum para pimpinan parpol yang ada saat ini mengumandangkan kata ajakan “perjuangan untuk rakyat”.
Rizal Ramli tidak hanya mengajak, tetapi sejak dulu sudah berani langsung terjun melakukan perlawanan terhadap “para penjajah” dari dalam negeri sendiri. Statusnya sebagai mahasiswa ITB dari lapisan rakyat bawah, tidaklah menyurutkan nyalinya untuk berdiri di barisan terdepan menancapkan panji perubahan bersama para aktivis mahasiswa lainnya dengan misi membela hak-hak rakyat tertindas, yakni melalui aksi pergerakan mahasiswa guna menuntut, menantang dan mendesak penguasa Orde Baru (Orba) untuk turun dari tahta karena sangat semena-mena kepada rakyatnya.
Sediki “mengenang sejarah” pergerakan perubahan yang telah dimulai oleh Rizal Ramli bersama aktivis mahasiswa angkatan 77/78 lainnya. Yakni, oktober 1977 pada peringatan Sumpah Pemuda oleh DEMA (Dewan Mahasiswa) se-Indonesia di Bandung, menggelar aksi unjukrasa besar-besaran namun berhasil ditekan militer sehingga tidak begitu menimbulkan benturan di lapangan.
Namun aksi itu kemudian berlanjut pada Januari 1978 dimotori DEMA ITB yang dipimpin langsung oleh Rizal Ramli, Herry Achmadi, Indro Tjahjono, dkk. Demo yang digelar di Kampus Ganesha ITB ini merupakan klimaks pergerakan mahasiswa menolak kedikatatoran penguasa Orba
Demo tersebut ditandai dengan diterbitkannya “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978“ berikut pernyataan sikap: “Tidak Mempercayai dan Tidak Menghendaki Soeharto Kembali Menjadi Presiden RI”.
Akibat aksi yang diikuti dengan diedarkannya “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa” berikut pernyataan sikap tersebut, Kampus ITB di Jalan Ganesha 10 Bandung tersebut dikepung dan diserbu oleh militer dengan tindakan represif oleh Kodam Siliwangi dibantu Pasukan Kostrad.
Sejumlah aktivis mahasiswa kala itu tak hanya dipandang selaku provokator tetapi juga sebagai aktor “kekacauan”, sehingga dianggap perlu untuk segera disapu-bersih dari kampus. Sebagian lainnya dikejar meski harus ke “lubang tikus” sekalipun, lalu dijebloskan ke dalam sel tahanan di Sukamiskin-Bandung oleh rezim Orba, termasuk adanya Rizal Ramli.
Langkah itu kemudian diikuti dengan pemberlakuan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh Mendikbud, Daoed Joesoef. Tak sampai di situ, DEMA kemudian dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Panglima Kopkamtib, Laksamana Soedomo.
Seiring waktu berjalan, dan meski harus mendekam dan dibungkam di dalam penjara selama 1 tahun 6 bulan, nyatanya tak membuat jiwa perjuangan Rizal Ramli menjadi rapuh. Semangatnya bahkan terus bergelora dan bergejolak untuk tetap berada pada barisan pergerakan perubahan demi kemerdekaan dan kemajuan negeri ini.
Namun sebagai orang yang tak punya siapa-siapa lagi, termasuk tak punya kedua orangtua sejak kecil, Rizal Ramli tentu sangat menyadari bahwa cita-cita dan idealisme pergerakannya itu tidaklah mudah diwujudkan tanpa ditopang dengan kualitas kekuatan intelektual.
Dan karena semangatnya yang tak mengenal lelah serta dengan niat perjuangan tulus untuk perubahan negeri ini, Tuhan pun menuntun Rizal Ramli mendapatkan beasiswa, lalu berhasil menyelesaikan studinya di Boston University-AS dengan menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) di bidang ekonomi.
Dari situ, jiwa dan semangat Rizal Ramli tentulah makin membara. Langkah dan pergerakannya mulai ia pacu hingga ke titik sebagai seorang pendobrak. Sehingga tanpa ragu, Presiden Abdurrahman Wahid pun “meminang” dirinya sebagai Kepala Bulog, lalu dilantik pada Senin (3 April 2000).
Di sinilah Rizal Ramli kembali memulai pergerakannya. Ia langsung menancapkan Program Restrukturisasi melalui penataan organisasi yang transparan, akuntabel, dengan menitikberatkan pada sikap profesionalisme dan penuh tanggungjawab.
Karena mencium banyak penyelewengan, penyimpangan, permainan yang tidak sehat serta hal-hal lain yang dianggap tidak efektif dan efisien di Bulog, Rizal Ramli pun dengan tegas melakukan banyak terobosan.
Di antaranya, dari 26 Kadolog yang tersebar di seluruh provinsi se-Indonesia, terdapat 24 Kadolog yang langsung dipensiunkan, selebihnya dialur-mutasikan. Bahkan tidak kurang 200 pejabat Kasub Dolog juga ikut dimutasi. Sedangkan yang baik, jujur, dan pekerja keras ditempatkan di Dolog Kelas I dan II. Sebaliknya, yang kinerjanya “memble” dilempar ke Dolog Kelas III. Juga Rizal Ramli sempat memensiunkan-dini 80 pejabat Bulog.
Rizal Ramli mengakui, bahwa sebelum dirinya menjabat Kabulog, ada banyak praktik patgulipat, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai penyimpangan, yang kesemuanya ibarat sudah menjadi sebuah tradisi bertahun-tahun di Bulog.
Misalnya, ada pejabat yang memberikan izin impor beras kepada pedagang, sehingga pedagang itu tak perlu membayar pajak ketka berasnya datang dari luar negeri. Ada pula pejabat yang ‘membantu’ penyelundupan beras. Dan ada banyak penyimpangan kebijakan di lapangan yang merugikan negara serta rakyat kecil, dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Namun di sisi lain, Rizal Ramli tetap mempertahankan mayoritas pejabat dan staf Bulog yang memang mampu bekerja secara benar dan profesional.
Tradisi lainnya, kata Rizal Ramli, para Kabulog sebelumnya jika melakukan perjalanan dinas ke daerah selalu saja seperti rombongan yang sedang ingin bertamasya karena didampingi banyak pejabat di lingkungan Bulog. Akibatnya, tradisi ini mengeluarkan biaya perjalanan yang tidak sedikit, seperti biaya transportasi, akomodasi, konsumsi dan lain sebagainya.
Tradisi bagai bertamasya ketika perjalanan dinas inilah yang kemudian ikut dipangkas Rizal Ramli. Yakni jika berkunjung ke daerah-daerah, Rizal Ramli sebagai Kabulog minta agar cukup didampingi dua orang staf saja. Dan hasilnya, anggaran atau biayanya pun bisa ditekan hingga 70% dari sebelumnya.
Tak hanya sampai di situ, tanpa membutuhkan waktu lama, Rizal Ramli juga berhasil mengubah sistem akuntansi di Bulog menjadi lebih transparan dan akuntabel, atau menjadi Generally Accepted Accounting Practices. Yakni, di antaranya jumlah rekening Bulog dari 119 berhasil diciutkan menjadi 9 rekening saja. Dan yang lebih penting lagi, dana off-budget Bulog yang jumlahnya triliunan bisa menjadi on-budget, sehingga bisa dengan mudah diaudit dan dipertanggungjawabkan.
Karena hanya membutuhkan waktu beberapa bulan berhasil melakukan “bersih-bersih” dan manata ulang peran serta policy sebagai Kabulog, termasuk menertibkan rekening liar, dan dinilai berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani, Presiden Gus Dur pun akhirnya meminta Rizal Ramli masuk ke persoalan yang lebih inti, yakni menata politik ekonomi nasional sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Presiden Gus Dur tentu saja punya pertimbangan khusus mengangkat Rizal Ramli menjadi Menko Perekonomian. Di antaranya, menurut Juru Bicara Presiden Gus Dur, Adhie M Massardi, adalah karena doktor ekonomi lulusan Boston University ini adalah tokoh pergerakan yang memiliki konsep dasar meningkatkan perekonomian domestik, sesuai konstitusi UUD 1945. Apalagi memang ketika itu, Indonesia masih berada dalam cengkeraman kekuatan ekonomi neo-liberal (IMF, Bank Dunia, AS) yang banyak memiliki antek di dalam negeri.
Karena visi dan karakter Rizal Ramli yang kuat dalam keberpihakannya kepada perekonomian domestik, membuat Presiden Gus Dur nyaris tak pernah memberikan instruksi apa pun dalam bidang ekonomi ketika rapat-rapat kabinet berlangsung. Gus Dur hanya cukup menyimak dan memantau dari jauh, lalu memberikan dukungan politik secara signifikan dalam setiap langkah yang dilakukan Rizal Ramli selaku Menko Ekonominya. Termasuk di saat memaksa pihak Freeport dan juga IMF untuk duduk kembali di meja perundingan guna meninjau ulang perjanjian (kontrak) dengan pemerintah Indonesia, di mana sebelumnya karena dianggap tidak adil dan merugikan rakyat Indonesia.
Menurut Adhie Massardi, Presiden Gus Dur memang sangat percaya pada integritas dan kemampuan Rizal Ramli. Bahkan karena merasa sesama orang pergerakan, tak jarang Presiden Gus Dur juga membicarakan masalah perkembangan politik dan keamanan nasional. Misalnya, untuk menyelesaikan persoalan di Aceh dan di sejumlah daerah rawan konflik lainnya, Presiden Gus Dur sangat sering secara khusus meminta Rizal Ramli agar dapat membantu Menko Polhukham Jenderal TNI (Pur) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, Presiden Gus Dur membaca, bahwa persoalan di Aceh bukanlah hanya soal politik dan keamanan semata. Melainkan juga menyangkut masalah ekonomi.
Sebetulnya, kepercayaan Presiden Gus Dur terhadap Rizal Ramli tidaklah berlebihan. Sebab, jika ditengok ke belakang masa pemerintahan Gus Dur, perekonomian nasional nyaris tak ada persoalan, sebab memang di tangan Rizal Ramli perekonomian nasional bisa diatasi dengan baik. Terutama kondidi kehidupan ekonomi para petani (cokelat, kelapa, cengkeh, dll), juga perkembangan industri kecil dan menengah, semuanya berada di titik sehat dan paling meyakinkan. Panen dan harga produk pertanian bahkan sangat menggembirakan.
Kalau pun ada persoalan yang dianggap sangat krusial di era Presiden Gus Dur, maka persoalan tersebut tidak lain terjadi serta berpusar di bidang politik dan keamanan yang digawangi Menko Polhukam, SBY. Dan sungguh ironis malah sang Menko Polhukam inilah yang justru mampu “menjelma” menjadi seorang Presiden.
Kembali mengenai sosok Rizal Ramli, sejak menjabat Menko Perekonomian, tercatat kondisi ekonomi indonesia selama tahun 2000 tumbuh sebesar 4,8%, di atas perkiraan semula yang hanya 2-3% dengan budget deficit yang lebih kecil dari perkiraan semula, yaitu hanya -3,2% dari GDP (perkiraan semula adalah -4,8% dari GDP). Turn around ekonomi Indonesia mulai terjadi pada tahun 2000.
Total ekspor Indonesia selama tahun 2000 juga menggembirakan mampu mencapai US$ 62 miliar, atau naik 27% dari ekspor Indonesia pada tahun 1999. Jumlah penduduk yang bekerja juga meningkat sebesar 1 juta tenaga kerja.
Perbaikan signifikan di sektor riil yang diperlihatkan dengan: (a) tingkat penggunaan listrik oleh sektor industri yang meningkat sebesar 8,5% dibandingkan dengan rata-rata 5% selama krisis, walaupun terjadi kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang cukup tinggi, (b) tingkat penjualan eceran dan tingkat penjualan sepeda motor yang merupakan cerminan dari daya beli masyarakat golongan menengah ke bawah juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 17% dan 71%; (c) sektor konstruksi yang semula stagnan selama 2 tahun terakhir, mulai menunjukkan kebangkitan dengan pertumbuhan sebesar 8,3%.
Terjadi peningkatan pemanfaatan kapasitas terpasang di sektor industri dari sekitar 50% hingga 60% pada akhir tahun 1999 menjadi sekitar 70% hingga 80% pada akhir tahun 2000.
Dalam bidang perbankan juga terjadi perbaikan sejumlah indikator penting seperti menguatnya struktur permodalan, menurunnya rasio non-performing loans, dan membaiknya net interest margin.
Andai saja usia Pemerintahan Presiden Gus Dur bisa satu periode penuh 5 tahun, tentulah sangat banyak yang bisa dilakukan dan dipersembahkan Rizal Ramli sebagai seorang menko. Sayangnya, pergesekan politik yang sangat memanas ketika itu tak memang sangat sulit untuk dapat dihindari.
Dan meski sangat singkat menjabat sebagai menteri, toh Rizal Ramli nyatanya mampu bekerja dan mempersembahkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan untuk kemaslahatan umat banyak. Tetapi lagi-lagi semua yang telah dilakukan oleh Rizal Ramli, tentulah selalu dipandang sinis oleh “para penjajah” yang berasal dari dalam negeri sendiri.
Sebagian dari para penjajah ini bahkan ada yang sengaja berupaya menghalau dan mematahkan langkah pergerakan Rizal Ramli. Sebut saja misalnya, ketika menjabat sebagai Presiden Komisaris PT. Semen Gresik, Rizal Ramli langsung dipecat oleh SBY sesaat usai membela hak-hak rakyat melalui sebuah aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM, di depan istana, 2008 silam.
Dari aksi unjuk-rasa yang dilakukan Rizal Ramli bersama kaum marhaen (para buruh, petani, dan nelayan kecil) ketika itu, harusnya rakyat bisa menilai bahwa sesungguhnya Rizal Ramli tak butuh dan tak gila jabatan. Sebab, Rizal Ramli rela mempertaruhkan jabatannya selaku Presiden Komisaris di BUMN tersebut dan lebih memilih untuk ikut serta memperjuangkan hak-hak rakyat karena merasa senasib dan sepenanggungan.
Kini, Rizal Ramli sebagai ekonom senior malah mendapat tempat sebagai anggota panel ekonomi di badan dunia (PBB). Dan selain membentuk “Rumah Perubahan” sebagai sebuah forum komunikasi dalam membangun strategi bagi barisan gerakan perubahan, Rizal Ramli juga telah mendirikan “Rumah Cerdas” (sejenis perpustakaan plus) di berbagai daerah di tanah air.
Di samping itu, Rizal Ramli bersama “grup” barisan gerakan perubahannya yang tersebar di seluruh tanah air juga banyak menyoroti, mengkritisi, dan mendesak negara, serta mengajak rakyat bersatu agar para mafia dan para politisi busuk dapat segera diberantas karena selama ini telah banyak “menjajah” dan merampas hak-hak rakyat miskin di negara tercinta ini.
Banyak sekali sebetulnya yang bisa diketahui seputar pergerakan perubahan apa saja yang telah dilakukan Rizal Ramli sebelum-atau di saat berada-maupun selepas di dalam sistem, yang memang cukup membuat orang-orang “tertentu” menjadi “sakit hati” seperti para mafia dan politisi busuk beserta para begundalnya. Sebab, setiap gagasan dan pergerakan Rizal Ramli bisa membuat “lahan-lahan basah” mereka berubah kering dan gersang. Sehingga inilah kiranya yang menjadi alasan mengapa mereka secara turun-temurun membenci orang seperti Rizal Ramli.
Para mafia, politisi busuk, dan para begundalnya serta bagi penguasa zalim, sosok Rizal Ramli diterjemahkan sebagai seorang “provokator sekaligus aktor” yang hanya ingin merusak dan menghancurkan “kenikmatan” yang telah mereka bangun di negeri ini.
Sebaliknya, Rizal Ramli justru memandang, bahwa para mafia, politisi busuk, dan para penguasa zalim beserta begundalnya itu sesungguhnya telah membangun “neraka” yang dapat membuat sengsara yang berkepanjangan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sehingga itu, jika saat ini ada kelompok tertentu yang sengaja berupaya menghalang-halangi langkah dan pergerakan Perubahan dari Rizal Ramli atau tidak menghendaki “kehadirannya” untuk berkiprah dalam mewujudkan Perubahan, maka kelompok tersebut sangat patut disebut sebagai “penjajah” dari dalam negeri sendiri, atau dengan kata lain adalah bagian dari para mafia, politisi busuk, dan penguasa zalim.
Dan dari rentetan “perjalanan” panjangg perjuangan pergerakan Perubahan yang dilakukan Rizal Ramli, maka setidaknya dapat ditebak siapa gerangan orang-orang yang dimaksud oleh Soekarno dalam pidatonya ini: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”