Ilustrasi/AMS |
(AMS, Opini)
WAJAH politik kita saat ini sebetulnya bagai hutan belantara. Para “penghuninya” hidup laksana tiada aturan, tak ada ideologi, tak ada arah, dan tak ada lagi tata-krama. Yang ada hanyalah nafsu untuk meraih kepuasan sendiri-sendiri. Suara rakyat hanyalah sebuah “komoditas” untuk mendulang kekayaan dalam sistem demokrasi di negara kita.
Para politisi korup benar-benar sudah berwajah “tebal”. Disindir, diperingatkan dan dituding secara langsung pun sudah tak mempan lagi, karena para penghuninya tersebut memang seakan sudah kehilangan rasa malu. Orang Jawa bilang “ndablek”, orang Makassar bilang “tena-siri’na”... (silakan dilanjutkan menurut bahasa di daerah masing-masing).
Dalam kondisi seperti itu, yang sangat nampak ditegakkan hanyalah “hukum rimba” dengan prinsip saling memanfaatkan untuk mangsa-memangsa demi memuaskan nafsu kepentingan sendiri-sendiri dan kelompok tertentu saja.
Hal ini dapat kita saksikan pada setiap ajang Pemilu. Yakni meski bertubuh dan berotak kerdil, namun jika punya kekuatan media yang luas dan uang yang berlimpah, maka dialah “predator” sekaligus sebagai calon pemenangnya. Dan tak jarang para predator ini memasang umpan menawan yang polos, ndeso, tegas, berwibawa dan lain sebagainya demi mendapatkan apa yang selama ini diidam-idamkannya.
Mari kita cermati secara mendalam tentang bagaimana Jokowi dan Prabowo bisa dengan mudahnya “dimunculkan” sebagai capres di saat rakyat sesungguhnya tak lagi percaya kepada partai politik dengan sejumlah figur “central” di dalamnya.
Ada yang menyebut, bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP sebetulnya masih sangat ingin maju bertarung sebagai capres, namun peluang untuk menang dinilai sangatlah tipis.
Sehingga bagai buah yang belum matang (belum bisa disebut berhasil memimpin Jakarta), Jokowi yang belum menuntaskan seluruh tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu pun “dipaksa dijual” sebagai Capres lantaran dinilai memiliki popularitas yang tinggi. Dan Jokowi pun oke-oke saja. Padahal, siapa pun yang berhasil jadi Gubernur Jakarta pada Pilgub kemarin dipastikan bisa langsung tenar dan populer, sebab DKI Jakarta adalah memang “kiblat” di mata seluruh daerah di tanah air.
Sebetulnya, karakter kepemimpinan Jokowi cukup baik. Hanya saja ketika ia dipasangkan dengan Jusuf Kalla (JK) yang disebut-sebut sebagai bekas wapres yang “tak lagi” dibutuhkan pada periode kedua SBY, maka karakter kepemimpinan Jokowi pun jadi hilang.
Pada kenyataannya, JK memang sosok yang tak lagi dibutuhkan oleh SBY pada Pilpres 2009 silam. Artinya, andai saja JK dinilai berhasil dan memuaskan sebagai wapres, maka SBY pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan JK sebagai wapres.
Dari situ tidak sedikit orang berpandangan, bahwa dimajukan Jokowi selaku capres berpasangan dengan JK tak lebih hanyalah sebagai “boneka” untuk pihak-pihak tertentu saja. Artinya, jika Jokowi berhasil menang dalam Pilpres 2014 ini, maka bisa sangat diduga kuat bahwa yang menjadi Presiden (yang jadi pengendali kekuasaan) nantinya salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri.
Sehingga itu, menurut pandangan banyak pihak, memilih Jokowi adalah sama dengan memilih Megawati menjadi presiden, sampai itulah mengapa Megawati tak ingin ngotot maju bertarung dalam Pilpres, ia cukup memajukan Jokowi sebagai Capres.
Pandangan seperti ini memang tak seluruhnya keliru, sebab Jokowi bukanlah “pemilik atau penguasa” partai. Sehingga jika Jokowi menjadi Presiden, maka setiap “pukulan” atau terobosan dan kebijaknnya sangat bisa jadi akan selalu dibawa pengaruh atau kendali dari Megawati Soekarnoputri.
Jika demikian, kondisi Jokowi sebagai insinyur Kehutanan saat ini sepertinya sedang terjebak di dalam “hutan”, yakni hutan “belantara” sebagaimana yang saya gambarkan pada paragraf awal di atas.
Begitu pun adanya dengan Prabowo yang “terpaksa” lebih memilih Hatta Rajasa sebagai Cawapres. Padahal PAN hanyalah berada pada peringkat 6 perolehan suara Pileg 2014 atau jauh di bawah Golkar yang menduduki posisi kedua. Kendati Golkar juga pada akhirnya hanya bisa ikut sebagai peserta koalisi “biasa” mendukung Prabowo-Hatta.
Dengan dipinangnya Hatta Rajasa sebagai Cawapres, banyak kalangan yang menilai dan menduga bahwa hal tersebut adalah memang sebuah “keinginan” kuat dari SBY melalui kubu Partai Demokrat (PD) agar dapat memajukan besannya. Meski awalnya SBY menyatakan PD lebih memilih untuk netral, namun pada akhirnya fraksi Partai Demokrat resmi menyatakan mendukung Prabowo-Hatta.
Dari awal saya sudah melihat SBY nampaknya melakukan “kebohongan” (siasat) dengan menyatakan PD lebih memilihnya netral. Padahal itu dilakukan oleh SBY sangat besar dugaan adalah hanya untuk “menggantung” Golkar agar tidak bisa memunculkan satu paket (pasangan capres) lagi. Sehingga dengan kenetralan PD itu, mau tak mau atau suka tidak suka Golkar harus memilih untuk hanya menjadi peserta koalisi biasa layaknya partai papan bawah lainnya. Dan itulah kepintaran sekaligus “kelicikan” SBY.
Namun apa pun alasannya, pada kondisi seperti itu Prabowo nampaknya cukup jelas sebetulnya juga telah “termakan” dengan “permainan” yang dimainkan oleh SBY. Dan permainan (siasat) seperti itulah yang memang seharusnya dimainkan oleh SBY, tentu saja dengan harapan agar kelak ketika Prabowo-Hatta yang terpilih, PD kembali bisa ikut “aman” hingga 5 tahun ke depan.
Dan jika memang benar demikian, maka Prabowo yang dikenal sebagai “gerilyawan” (dari kalangan militer) itu juga ikut “terjebak” dalam “hutan belantara”.
PEMUKA AGAMA PUN IKUT “TERJEBAK”
Sejauh ini, sistem perpolitikan di tanah air nampaknya memang masih seperti hutan belantara, di mana di dalamnya masih berlaku “hukum rimba” sebagai kekuatan penentu dalam menentukan sikap.
Tengok saja riwayat politik kita dari masa ke masa hingga pada Pemilu 2014 ini. Seluruhnya tak luput dari campur tangan hukum rimba yang di dalamnya terdapat fatamorgana yang amat menggiurkan siapa saja. Ayat-ayatnya mampu menaklukkan falsafah bangsa ini, mampu menenggelamkan teori kebenaran dari kaum intelektual, dan bahkan bisa “menggeser” ayat-ayat kepercayaan beragama. Sehingga siapa saja bisa terjebak di dalamnya. Sungguh mengerikan..?!
Lihat saja, berapa banyak tokoh agama yang mengatasnamakan status dirinya sebagai pemuka agama, dengan terang-terangan telah berani mempertaruhkan “kehormatannya” bergabung bersama para penghuni “hutan” tersebut demi mendapatkan “lahan garapan baru”. Seakan agama kini hanya sebagai “jimat” untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan pribadi-pribadi.
Padahal sebagian besar pemuka agama itu tahu, bahwa penghuni hutan tersebut adalah orang-orang ndablek atau tena-siri’na.
Namun begitulah, pemuka agama kita saat ini kelihatannya lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat duniawi dan materialistis. Sehingga jangan heran, saat ini tidak sedikit pemuka agama yang hidupnya justru lebih mewah dibanding dengan umatnya.
Ya, para pemuka agama kita saat ini nampaknya sudah berbondong-bondong mengejar kepentingan masing-masing. Lihat saja, berapa banyak pemuka agama yang kini secara jelas-jelas terlibat dalam adu tanding memberi dukungan secara ekstrem kepada para pasangan capres pada Pilpres 2014 ini.
Parahnya, para pemuka agama tersebut seakan membiarkan umatnya untuk saling berselisih, serang-menyerang, dan hujat-menghujat satu sama lain. Dan akibatnya, semua itu justru hanya membuka pintu permusuhan lebar-lebar antar sesama umat dengan umat lainnya.
Lalu apakah semua ini yang disebut perubahan...???