(AMS, opini)
MESKI dari hasil real count Pileg 2014 bisa sangat memungkinkan munculnya tiga pasang capres, namun skenario politik jelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 kali ini nampaknya berhasil menyeret rakyat untuk hanya memilih dua pasang capres. Dan hal ini tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya.
Menurut analisa saya, kondisi itu memang nampaknya sudah masuk bagian dari “rencana” Partai Demokrat-PD untuk tidak “terkapar” begitu saja dalam periode selanjutnya.
Artinya, secara naluri politik, PD pada suksesi kepemimpinan kali ini sudah pasti tidaklah menginginkan kekuasaannya hilang begitu saja. Paling tidak, jika rencana “A” sulit diwujudkan, maka rencana “B” bisa dijalankan agar bisa tetap “aman”.
Itulah sampai mengapa SBY enggan memunculkan satu paket (pasangan) lagi melalui koalisi yang sedianya sangat memungkinkan untuk ia wujudkan, misalnya koalisi dengan Partai Golkar. Kata SBY, PD lebih memilih untuk menempatkan diri di posisi netral. Dan posisi netral inilah kiranya yang saya anggap sebagai rencana “B” dari SBY.
Pemahaman netral di dalam dunia politik itu menurut saya adalah sebuah pilihan situasi yang dianggap sudah bisa membawa suasana “aman” bagi pihak yang memilih untuk netral.
Perlu digarisbawahi, bahwa keinginan memilih netral sesungguhnya tidak datang dengan sendirinya. Pilihan untuk netral bisa terjadi ketika pilihan utama (rencana A) mengalami mission incomplete. Sehingga, rencana “B” pun harus bisa diupayakan untuk segera diwujudkan.
Sungguh, banyak pihak yang sama sekali tidak menduga beberapa hal yang dapat dianggap sebagai sebuah tanda tanya besar tersendiri pada Pilpres 2014 kali ini. Yakni di antaranya: pertama, publik dikagetkan dengan “ulah” PDIP yang ternyata lebih memilih meminang Jusuf Kalla (“janda SBY” itu) untuk dapat kembali menjadi Wapres.
Kedua, ARB yang hampir dipastikan bisa maju bertarung pada Pilpres 2014 karena mampu menjadikan Partai Golkar berada di posisi kedua dalam perolehan suara Pileg, nyatanya terhempas dan kandas menjadi Capres ataupun Cawapres. Naas bagi Partai Golkar, ARB bahkan hanya bisa “lari menyelamatkan diri” untuk berkoalisi ke salah satu pasangan Capres.
Ketiga, di saat Partai Golkar diketahui lebih intens menjalin komunikasi dengan Gerindra, Prabowo nyatanya malah lebih memilih Hatta Rajasa. Seketika itu muncullah tanda tanya besar yang keempat, yakni: SBY (PD) memilih untuk netral. Padahal SBY sejauh ini dikenal sebagai seorang “petarung” politik. Artinya, mau menang atau kalah, SBY pasti akan bertarung. Namun pada Pilpres kali ini ia memilih netral. Benarkah?
Jangan terkecoh dulu! Sekali lagi, lahirnya pasangan capres yang hanya memunculkan dua paket tersebut adalah tidak terjadi dengan sendirinya. Pada prosesnya, sangat nampak didorong oleh kepentingan besar dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan besar (terutama dana).
Hal tersebut dapat dilihat dari “tingkah laku” para petinggi parpol tengah yang enggan memunculkan sendiri satu paket. Seakan memang sudah ada yang mengarahkan, para petinggi parpol tersebut seakan lebih “tergiur” berkoalisi untuk hanya ikut mendukung salah satu paket sesuai deal-deal yang bisa disepakati bersama.
Boleh jadi SBY adalah “playmaker” di luar arena yang memegang “remote-control” dari semua itu. Dan agar tidak kentara, SBY pun buru-buru menyatakan PD lebih memilih menjadi netral. Dan apabila hal ini benar, maka SBY sudah bermain cantik sebagai seorang politisi tangguh, tidak berkoalisi dan juga tidak oposisi.
SBY bisa dengan santainya mengatakan PD netral terhadap dua pasang capres yang ada saat ini. Sebab, JK adalah mantan Wapresnya. Artinya, ada banyak “kartu remi” di tangan JK dan SBY ketika masih bersama sebagai pasangan presiden-wakil presiden.
Di sisi lain, SBY juga diyakini bisa mendapat “perhatian” lebih apabila pasangan Prabowo-Hatta yang nantinya berhasil terpilih. Sebab disadari atau tidak, secara psikologis, Hatta yang berstatus besan dengan SBY tentulah tidak akan tinggal diam ketika SBY menghadapi sebuah masalah.
Sehingga itu, kedua pasangan yang ada saat ini nampaknya bukanlah ancaman bagi SBY, sampai itu SBY merasa ringan (seakan tanpa beban) lebih memilih netral.
Dan boleh jadi, kedua pasangan yang ada saat ini di mata SBY adalah pasangan yang bisa memberi rasa aman terhadap dirinya. Paling tidak, SBY yang beberapa fakta dalam pengadilan Tipikor sering disebut-sebut namanya, itu tidak akan bisa disentuh secara serius karena siapapun yang jadi Presiden, posisi SBY masih dianggap “aman-aman” saja. Benarkah? Silakan dicermati sendiri!
Bukankah memang dunia politik itu hanya sebagai panggung sandiwara?
———–
SALAM PERUBAHAN 2014…!!!